Terletak di dataran tinggi sebelah utara Padang di lembah Agam, kota Bukittinggi atau ‘bukit tinggi’ menjadi garda depan budaya Sumatera Barat. Padang adalah ibu kota dan jadi pusat komersial dan administrasi modern, sementara Bukittinggi adalah kota pasar yang ramai. Alam, iklim dan budaya menjadikan tempat-tempat wisata bukittinggi ramai dikunjungi turis. Sebagai Akamsi (anak kampung sini) pun explore Bukittinggi tak kalah menarik.
Bukittinggi memiliki iklim yang sejuk dan menyegarkan karena ketinggiannya yang lebih dari 900 meter di atas permukaan laut. Meski sering diguyur hujan, tidak cukup untuk menghalangi para pelancong yang datang untuk menikmati kota yang diklaim paling ramah di Sumatera Barat.
Jelajah Tempat Wisata Kota Bukittinggi ala Akamsi
Sebenarnya saya bukan akamsi (anak kampung sini) asli. Sudah lama meninggalkan Bukittinggi sebagai tempat menetap. Namun terlanjur menganggap Bukittinggi sebagai kampung halaman, asal dan tempat kelahiran pada dokumen resmi, secara berkala pulang melepas rindu.
Kalau sudah di kampung terus pura-pura jadi turis ternyata nikmat juga. Mengenang masa lalu lewat jalan, alam, dan makanan. Bahkan aroma Bukittinggi yang khas, pencampuran bau sate padang dengan bau asap dari kendaraan. Maklum Bukittinggi semakin ramai dan lalu lintasnya semakin sembrawut. Aroma khasnya itu bisa-bisanya menyematkan rindu lebih dalam.
Nah sekalipun kamu bukan akamsi, keliling kota, explore Bukittinggi seperti penduduk lokal akan membuat kota terasa lebih unik. Bukan tak mungkin juga meninggalkan kesan yang dalam.
Apa saja yang saya lakukan saat pulang kampung beberapa waktu lalu? Ini beberapa diantaranya:
1. Nongkrong di Depan Taman Monumen Bung Hatta
Tersebutlah beberapa orang Pahlawan Nasional dari Minangkabau. Diantaranya Buya Hamka, Sutan Syahrir, Tan Malaka dan Mohammad Hatta. Mereka semua jadi kebanggan orang di kampung saya. Nama yang selalu disebut saat membanggakan peran penting mereka di masa lalu.
Namun sependek pengetahuan saya, monumen yang banyak didirikan dalam mengenang jasa-jasa pahlawan tersebut hanya Bung Hatta. Di Bukittinggi setidaknya ada tiga monumen yang dijadikan tempat wisata di Bukittinggi bagi Si Bung Kecil. Pertama Istana Bung Hatta, replika bekas tempat tinggal yang sekarang di jadikan museum. Satu lagi sebuah gedung arsip dan perpustakaan yang terletak di belakang Jam Gadang.
Masih di belakang Jam Gadang bersisian dengan gedung arsip, terhampar Taman Monumen Mohammad Hatta yang hijau. Satu alasan yang membuat saya mampir ke sana tiap pulang kampung.
Di depan Taman Monumen Mohammad Hatta disediakan bangku-bangku kayu berangka besi. Saya paling senang duduk di sini saat matahari menjelang siang. Kehangatan mentari yang perlahan menyibak kabut yang membungkus kota, terkadang terlihat mistis.
Biar lebih sip, bawa buku untuk dibaca. Membaca sambil disuguhi panorama kota serta Gunung Singgalan di kejauhan, untuk saya semacam explore Bukittinggi versi duduk.
Baca juga:
- Menyusuri Jejak Bung Hatta di Rumah Kelahirannya
- Rumah Gadang Bukittinggi
- Romansa Bukittinggi Kota Rang Agam
2. Di Bawah Naungan Jam Gadang
Sekalipun wujudnya beda, Bukittinggi adalah kota dan Jam Gadang adalah monumen, namun dua kosa kata ini identik.
Kalau menyebutkan jam gadang, ingatan langsung dibawa ke kota berhawa sejuk yang diapit Gunung Marapi dan Singgalang. Coba saja search Google, Bukittinggi dan Jam Gadang dua kosa kata sepadang. Yang satu melengkapi yang lain.
Begitu pun jika orang menyebut Bukittinggi maka tak mungkin melepaskan ikatan jam gadang darinya, pusaka yang di bangun saat Belanda berkuasa di Sumatera Barat.
Nama Bukittinggi dan Jam Gadang sudah melang-lang dari Barat sampai ke Timur, dari daratan Amerika samapi Eropa. Mereka termasuk satu atraksi wisata wajib bila wisatawan berkunjung ke Sumbar.
Saya dan kakak memutuskan belanja sekalian raun (jalan-jalan) ke Bukittinggi dan duduk di bawah naungan Jam Gadang untuk mengingat masa kecil kami bersama Ibu dan Bapak. Ini lah tempat piknik terjauh saya dari kampung di masa lalu.
Bukittinggi, terutama jam gadang, bagi kami tidak sekedar monumen. Ini adalah tapal di masa kanak-kanak. Bila sampai di bawah kakinya kami sudah merasa melakukan perjalanan jauh sekali. Maklum di masa itu jarak tempuh Magek-Bukittinggi dengan bendi memerlukan waktu 3-4 jam.
Di masa lalu, mencari es lilin paling enak adanya di bahwa Jam Gadang ini.
Baca juga : Dayak Meratus Loksado, Perkenalan di Desa Loklahung
3. Isi Lambung di Pasa Lambuang
Usai mengurai kenangan di Jam Gadang, perut menuntut minta diisi. Kami beranjak ke tempat wisata kuliner Bukittinggi terkenal, Pasar Lereng. Tepat di pojokan sempit adalah tujuan kami, Pasa Lambuang (Pasar Lambung) alias pasar perut.
Pasar Lereng sering longsor tapi pedagangnya kekeuh tak mau pindah. Tak masalah toko dan pedagang kaki lima saling berhimpit. Karena mereka percaya di sini lah rejeki berlari lebih kencang mendatangi mereka. Pasar yang menjual semua kebutuhan. Dari VCD bajakan, tekstil murah, baju dan jeans bekas, kopi, gula, bika panggang. Bahkan kamu bisa menemukan buku dan majalah terkenal dijual di Pasar Lereang. Harga miring, kondisi bekas.
Pasa Lambuang dan Kuliner Kapau
Kalau sudah tiba di tempat wisata Bukittinggi mencari masakan padang itu wajib. Los Lambuang yang terkenal dengan nasi Kapau mengikuti nama sebuah desa di Kabupaten Agam tempat tepat untuk dituju. Lupakan diet kalau sudah di sini.
Hari itu sekalipun masih tergolong pagi, Tek Syam, Uni Lis dan Ni Linda sudah siap di belakang meja masing-masing. Di hadapan mereka panci-panci besar bersusun di atas meja kayu penuh sesak oleh hidangan.
Apa yang kamu ingat tetang masakan ibu, semuanya ada di sini. Mulai daru pangek ikan mas, rendang, tambusu (usus sapi diisi telur), dendeng balado, dendeng batokok, goreng ikan, gula tunjang, dan masih banyak lagi.
Dan tentu saja sayur campur yang menjadi ciri dari nasi kapau: Gulai nangka dimasak bersama rebung, kacang panjang, dan bunga bawang (disebut tombak di Minang).
Melangkah ke dalam pengkolan Pasa Lambung, persiapkan hidung kamu untuk menerima hamburan restoran padang. Yah salah satu atraksi di sini memang menghirup aroma masakan padang yang khas. Karena ke lapak manapun yang di pilih, hamburan legit dari masakan bersantan memenuhi udara.
Awalnya kedatangan kami ke pasar lambung kurang serius. Mampir kesini sekedar pelepas taragak (rindu). Sebab nasi kapau yg disantap saat sarapan rasanya kurang nendang. Mungkin karena cacing dan naga perut belum bangun dari tidur panjang.
Tapi setelah sepiring nasi kapau Uni Lis terhidang, lengkap dengan pangek ikan mas kesukaan, plus sayur rebung dan bubuk rendang, tak pakai lama langsung tandas semua.
4. Romansa Janjang 40 – Piknik ala Penduduk Lokal
Kota Bukittingi dibangun di atas tanah berkontur. Tak aneh jika banyak jembatan dan tangga penghubung antar tempat. Salah satunya Jenjang (Janjang) 40 yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Bawah serta Pasar Banto.
Ohya sebetulnya tangga ini lebih dari 40 anak tangga. Jumlah 40 adalah bagian tangga paling atas, paling curam yang ditandai oleh tanaman di tengah seperti foto di atas. Jadi setelah menyantap Nasi Kapau Uni Lis di Los Lambuang, kemudian harus mendaki seratusan anak tangga, rasanya seperti menyuruh cacing menghentikan makan tiba-tiba. Mereka berontak, bikin perut kejang dan sakit.
Tapi tugas harus tetap ditunaikan. Beberapa barang yang kami butuhkan cuma dijual di Pasar Atas. Sekalipun perut terasa kejang, kaki tetap disuruh melangkah satu persatu.
Janjang 40 juga bagian dari masa kecil kami. Monumen yang dibangun pada tahun 1908 sewaktu Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam, pernah juga jadi momok. Karena tempat ini sering digunakan pengemis beroperasi, kami yang tak mau belajar sering ditakut-takuti bahwa nasib kami nanti tak beda dengan peminta-mintadi Janjang 40.
Tempat wisata sejarah Bukittinggi yang satu ini, bagaimanapun romansanya tak selalu gelap dengan pengemis. Setidaknya tempat ini juga punya romansa menawan. Karena sering dipakai remaja jaman baheula untuk rendezvous.
Selain tempat ajang pertemuan sepasang remaja yang mabuk kepayang , suatu masa, tembok Janjang 40 penuh dengan cerita kenangan, sebagai background foto atau ajang lepas kreativitas dengan dicoret-coret. Tapi sekarang tembok dan tangga sudah bersih. Explore tempat wisata ini dijaga oleh Pemkot Bukittinggi yang juga serius menjaga aset mereka.
Pasar Aur Kuning, Tempat Wisata Belanja dan Kuliner Bukittinggi
Tempat wisata Bukittinggi lainnya adalah Pasar Aur Kuning. Lebih tepat kalau wisata belanja ke sini. Bila di Jakarta kita mengenal Pasar Cipulir atau Tanah Abang sebagai tempat belanja tekstil murah dan lengkap, di Sumatera Barat adalah Pasar Aur Kuning Bukittinggi.
Sebagai akamsi, kami pun punya kenangan pekat di sini. Di sini lah dulu ibu membawa kami untuk membeli mukena bordir, selendang, ataupun pernak-pernik baju lebaran.
Ya di sini lah tempatnya untuk mencari aneka busana muslim, pakaian kasual, mukena, karpet, seprai, hingga tirai jendela ditawarkan dengan harga relatif murah.
Tapi kamu harus jago dalam tawar menawar ya. Sebab kalau tak bisa bisa kena ” pakuak”, alias kantongmu bisa kebobolan karena membeli terlalu mahal dari harga standar. Apa lagi jika kamu menawar dalam Bahasa Indonesia, kamu akan dianggap sebagai turis atau pendatang. Nah harga yang diberikan padamu kadang kurang wajar alias kemahalan.
Jadi lengkapi pengetahunmu saat explore Bukittinggi bahwa calon pembeli di Pasar Aur Kuning Buktinggi harus pandai tawar menawar.
Baca juga : Mengenal Nasi Kuning
Air Tebu Daun Kacang
Dari Pasar Atas kami menggunakan angkot menuju Pasar Aur Kuning. Sebenarnya tujuannya adalah terminal yang akan membawa kembali ke Magek, desa kami.
Tapi di Pasar Aur Kuning selera kembali tergoda. Bukan karena enaknya tapi lebih kepada kenangan masa kecil. Ketika ibu membawa kami belanja di sana. Selain Cendol Pariaman yang berwarna merah muda, penjaja air tebu membangkitkan rasa haus.
Iya ini lah ciri khas Pasar Aur Kuning. Sebagai pasar tektil, tempat wisata Bukittinggi satu ini juga bisa dijadikan ajang hunting kuliner.
Apa lagi matahari kian tinggi. Di cuaca panas seperti itu menyuruput air tebu yang digilas bersama daun kacang panjang sungguh menyegarkan. Menurut Uda penjualnya, daun kacang panjang dalam air tebu tak saja mendatangkan warna hijau sekaligus berkhasiat sebagai obat sariawan.
Sebagai akamsi, explore Bukittinggi tetap menawan. Kamu hanya perlu sedikit menggeser sudut pandang untuk menemukan hal-hal uni. Kalau saya, menyusuri kenangan sudah cukup 🙂
Salam,
–Evi