Rumah Kelahiran Bung Hatta terletak Jalan Soekarno-Hatta No. 37. Rumah yang sekaligus berfungsi sebagai museum. persis di belakang pangkalan angkot jurusan Bukittinggi-Pakan Sinayan yang melewati kampung saya. Artinya tiap jalan-jalan ke Bukittinggi pulangnya pasti melewati rumah dominan cat abu-abu ini.
Tapi tahukah Sobat Traveler bahwa baru Desember 2014 kemarin saya masuk ke dalamnya? Keterlaluan kan? Mengaku orang Minang, tahu Bung Hatta, sering pula lewat di depannya, dan paling sering disinggahi wisatawan kalau ke Bukittinggi. Kalau kemudian saya belum pernah bertamu ke rumah beliau, terus apa dong sebutan yang pantas untuk saya? Travel Blogger gak asyik!
Terusik kenyataan betapa kurang pikniknya saya : “Uni, gue merasa kabangetan kalau sekarang gak masuk ke rumah itu !” Tunjuk saya ke rumah kayu bertingkat dua itu kepada Kakak saya.
Akhirnya Singgah di Rumah Kelahiran Bung Hatta
“ Eh emang ada yang larang singgah?” Jawabnya tertawa. Saya terhenyak. Iya siapa yang larang? Untungnya walau sudah hampir pukul empat sore, Ibu Dessiwarti dari Dinas Pariwisata tetap membuka hatinya #eh dengan mempersilahkan kami masuk. Penuh persahabatan beliau mengajak mengobrol, menanyakan asal dan meminta kami mengisi buku tamu terlebih dahulu. Barang belanjaan dititipkan di beranda.
Sambil mencopot sepatu saya berpikir mengapa saya menunggu terlalu lama hanya sekedar menyusuri jejak Bung Hati di rumah kelahirannya ini? Padahal lokasinya tidak sulit dijangkau? Entah lah. Kemalasan emosioanl memang membuat orang selalu berada dalam kegelapan. Untungnya genre blog JEI berbelok arah. Dulu blog gado-gado sekarang blog traveling.
Untuk menopang eksistensinya saya tentu harus lebih banyak mengamati lingkungan disamping membuat photo stocks. Apa lah artinya menulis catatan perjalananan tanpa foto? Katanya sih hoax. Jadi walau kaki sudah sakit saking kelamaan muter-muter di pasar, di sore yang hangat itu bersyukur akhirnya pikiran saya terbuka.
Menyususuri jejak Bung Hatta di rumah kelahirannya tidak berarti saya akan mengenal seluruh perjalanan hidup beliau. Tapi dari rumah ini setidaknya mengenal awal kehidupannya. Apa lagi dua hari kemudian kami akan kembali ke Jakarta. Tak bijak menunda lebih lama untuk memulai menyusuri jejak Bung Hatta di Rumah Kelahirannya.
Tipikal Rumah Kelas Menengah Minangkabau – Bukittinggi Jaman Dahulu
Sebenarnya rumah kelahiran Bung Hatta ini bukan bangunan asli. Ini adalah museum dari replika rumah asli. Bergeser beberapa meter dari bangunan lama yang sudah runtuh. Pendiriannya diprakarsai Pemkot Bukittinggi pada tahun 1994. Selain sebagai bentuk penghargaan pada Sang Proklamator yang lahir di Bukittinggi juga menarik wisatawan agar lebih banyak berkunjung.
Menurut saya rumah kelahiran Bung Hatta ini tipikial rumah keluarga kelas menengah Minangkabau perkotaan Sumatera Barat. Acuannya dari rumah kayu sederhana nenek saya di Magek. Berdinding papan bersusun dan berpanggung. Rumah nenek punya saru ruangan serba guna dengan 3 bilik sempit di belakang.
Sementara Rumah Kelahiran Bung Hatta bertingkat dua. Di lantai bawah terdapat satu kamar tamu yang terletak di samping kiri beranda. Dua ruangan lagi Kamar Mamak Saleh dan Mamak Idris saling berseberangan di bagian dalam. Lay outnya khas tempat tinggal keluarga Minang dimana keluarga besar (extended family) hidup bersama di bawah satu atap. Mereka adalah Kakek-Nenek dari pihak ibu, orang tua dan anak-anaknya, ditambah Om atau Tante (mamak atau etak) yang belum menikah.
Isi Rumah Bung Hatta
Sehelai tikar rotan jadi alas seperangkat kursi tamu dan meja makan yang berhias taplak bersulam. Berdiri anggun di tengah ruangan. Semua perkakas dalam rumah kelahiran Bung Hatta ini diatur menurut rumah asli. Furniture dan lampu gantung yang menjulur dari langit-langit kembali membangkitkan kenangan saya pada rumah nenek.
Ya rumah kami dulu juga ada kursi seperti itu dengan lampu gantung bertudung kaca putih yang bisa dinaikan turunkan. Suatu ketika pernah gempa bumi, lampu bertali rantai panjang itu berayun-ayun kencang sampai membuat kepala saya pening. Foto-foto hitam putih berbingkai klasik berbaris di dinding. Gambar yang mengungkap sebagian kehidupan Bung Hatta yang dikelilingi keluarga besar.
Bangunan di Halaman Belakang
Sebelum naik ke lantai atas pengunjung akan turun ke halaman belakang. Di sana ada dua Rangkiang atau lumbung padi. Sebenarnya rangkiang adalah pusat kekayaan keluarga suku Minangkabau. Jaman yang terus berubah membuat rangkiang sekarang hanya sekedar sapaan dari lalu. Fungsinya sekarang cuma demi pelestarian. Di sebelahnya satu bangunan memanjang dengan pintu-pintu mirip rumah kos-kosan. Paling ujung dari bangunan ini adalah kamar Bujang Bung Hatta. Di susul dapur dan rumah bendi.
Kamar bujang yang terpisah dari bangunan utama kemungkinan simbolisasi dari adat Minangkabau bahwa anak lelaki tidak tidur di rumah melainkan di Surau. Sementara dapur dan balai-balai hadir hanya sebagai representasi saja dari model yang pernah digunakan keluar Bung Hatta di masa lalu.
Istal kuda di belakangnya sekali lagi menggambarkan level sosial keluarga Bung Kecil yang memiliki orang tua pengusaha.
Penjelasan Rumah Kelahiran Bung Hatta
Naik ke lantai dua ruangan semakin personal. Kamar-kamar bergordin oranye mengapit ruang tengah yang lapang. Di tengah diisi meja pertemua keluarga. Kamar Pak Gaek berseberangan dengan kamar Ibu Saleha, bundanya Bung Hatta, yang pada tanggal 2 Agustus 1902 melahirkan bayi laki-laki bernama Muhammad Attar di sini. Anak yang kelak di kenal Muhammad Hatta jadi teladan bangsa atas perjuangannya membantu membawa Indonesia merdeka. Kemudian membangkitkan rasa kebanggasaan bahwa ia jadi wakil Presiden Pertama dari Negara kekuasaan Republik Indonesi.
Museum Bung Hatta
Dalam menyusuri jejak Bung Hatta di rumah kelahiran ini kita sekaligus juga bisa mengenal beberapa alat budaya. Ya tempat ini bisa juga disebut sebagai museum etnis Minangkabau.
Sayang, seperti Rumah Gadang Baanjuang koleksinya sangat terbatas. Selain rangkiang di halaman belakang ada lesung batu penumbuk padi di bawahnya. Bentuk tungku dapur, belanga tanah liat, dan rak piring, adalah perabotan yang bisa saya lihat semasa kecil dulu. Bahkan jika Sobat Traveler masuk ke pedalaman Minangkabau, benda-benda rumah tangga seperti dalam museum Bung Hatta ini masih lazim digunakan sampai sekarang.
Berjalan ke dalam sebelum naik ke lantai dua museum, diatas meja makan terlihat cerek air minum terbuat dari seng. Kami menyebutnya “Kumbuak”. Persis di bawah tangga tertata rapi satuan ukuran beras atau biji-bijian yang lazim disebut Cupak dalam bahasa Melalyu. Sementara di Minangkabau disebut Gantang dan Sukat. Terbuat dari bambu. Gantang untuk beras dan Sukat untuk padi. Kalau saya tidak salah ingat di Kanagarian Magek 1 Sukat = 5 Gantang.
Orang Minang di Sumatera Barat mempunyai tradisi makan bersama atau makan bajamba. 4-5 orang orang duduk mengelilingi satu pinggan besar. Dalam pinggan berisi nasi dan lauk-pauk di tengahnya. Yang boleh kita suap hanya yang berada di depan kita. Sangat tidak sopan jika tangan kita menyeberang mengambil lauk atau makanan di bagian orang lain.
Koleksi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta
Dalam salah satu lemari dalam kamar kelahiran Bung Hatta saya melihat dua pinggan keramik bermotif bunga di tengahnya. Ada pula Sukat berukir yang sepertinya jaman dulu pun digunakan hanya sebagai hiasan. Di dekatnya satu Carano yakni wadah makanan atau perlengkapan sirih-pinang yang digunakan dalam berbagai upacara adat.
Sebelum mengakhiri Menyusuri museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, saya sejenak berkeliling di halaman. Memandang ke dinding rumah yang sebagian terbuat dari bambu. Membayangkan kehidupan Bung Hatta kecil. Memang ia meninggalkan rumah ini sejak usia sebelas tahun menuju Padang untuk besekolah. Tapi awal kehidupan beliau dari sini tampaknya sudah kokoh.
Bung Hatta terbentuk oleh pendidikan agama yang cukup ketat, guru-guru, keluarga, dan buku-buku yang dibacanya. Dalam atmosfir yang tak kekurangan tapi juga tak berlebihan seperti itu rasanya saya sedikit memahami akar intelektualitas dan kerendahan hati seorang Bung Hatta.