Menyambut Pagi di Kampung Halaman | Yang paling saya sukai saat berada di kampung halaman adalah suasana desa di pagi hari. Dimulai dari subuh ketika adzan berkumandang dari dusun-dusun sekeliling. Gemanya saling bersahutan dan menelusup bersama udara dingin sampai ke tempat tidur. Alih-alih bangun saya berkelumun di bawah selimut, menikmati kehangatannya dan menunggu sampai panggilan suci itu lenyap. Suasana kembali senyap.
Cuma tak tak lama saya bermalasan seperti itu. Tanda-tanda kehidupan pertama  mulai terdengar. Pintu kamar Bapak berderik, lalu langkah perlahan menuju rumah bagian belakang. Beliau  hendak mengambil air wudhu. Senyap lagi. Kemudian jalan di depan rumah pun mulai berbunyi. Derit jari-jari sepeda yang dikayuh, dengung sepeda motor, atau ban mobil yang berderak menginjak kerikil.
Kondisi itu membuat kehangatan bawah selimut jadi tak asyik. Saya pun lantas turun dari tempat tidur. Mengikuti bapak ke belakang mengambil air wudhu.
Rumah almarhum ibu berada di di tepi Jalan Pinang Balirik. Jaraknya sekitar 2-3 kilometer dari Kota Bukitinggi. Kami sebut demikian karena di tepinya ditanami oleh barisan pohon pinang (A. catechu). Walau kampung halaman ini lebih dekat ke Kubang dan tak jauh dari Sawah Ladang (Saladang), secara administrasi ia masuk Desa Ambacang. Jadi secara adat, politis, dan psikologi kami ini orang Ambacang bukan orang Kubang, apa lagi orang Saladang atau Kasiak.
Begitu lah. Sekalipun berada dalam satu Kanagarian yakni Magek dan dibawah satu Kecamatan yakni Kamang-Magek, penting bagi kami mempertegas area geografis. Bahwa adat Minang itu cuma Salingka Nagari ( tata adat yang dipraktekan di selingkar negeri). Itu berarti ada stigma antara -contohnya- orang Magek dengan Orang Tilatang, nagari sebelah. Ini sama persis saat kita berada di luar negeri. Sesama orang Indonesia menganggap diri bersaudara. Sementara di dalam negeri relasi mengecil menjadi propinsi, suku, kelompok, asal tempat tinggal, famili, sampai keluarga inti sebagai unit terkecil.
Suasana Pagi Hari di Desa
Kembali pada suasana pagi hari di kampung halaman. Sekarang hari sudah mulai terang. Hujan semalam rupanya menggumpalkan berbagai aroma alam. Mereka bergulung-gulung masuk rumah saat pintu terbuka. Sekalipun ibu sudah pergi hampir dua tahun lalu, bunga-bunga yang ditanamnya masih di sana. Mereka seolah mengucap selamat bertemu lagi kepada saya. Kelopak Mahkota Duri, Mawar, dan Soka terlihat berat menampung sisa taburan hujan yang bercampur embun. Saya keluar pagar rumah dan berdiri di tepi jalan. Ini lah suasana pagi dari desa yang selalu saya rindukan. Matahari kekuningan keluar dari peraduan. Memuncratkan kemilaunya dari belakang atap rumah, menerangi sawah, dan memantulkan langit pagi pada air kolam. Berkali-kali saya menarik nafas.
Kembali masuk ke pekarangan rumah. Saya kembali menikmati suasana pagi hari di kampung dengan berjongkok di bawah pohon pagar. Sambil memotret bunga-bunga peninggalan ibu dengan camera hp, tak lupa memasang telinga. “Nguping” obrolan mereka yang lewat. Tak lama lewat dua orang bapak yang sama sepuhnya. Yang satu menuntun sepeda dan yang satu lagi berjalan pelan dengan menyelempangkan sarung di leher. Pokok pembicaraan mereka seputar seorang anak yang tak jadi menengok kampung halaman karena sakit. Telinga saya terus mengikuti sampai mereka menghilang di ujung jalan. Ada kegalauan dan kerinduan di sana. Membuat saya sedih karena ingat Bapak sendiri. Beberapa bulan lalu beliau kembali ke rumah ini, hidup sendirian dengan merawat bunga-bunga peninggalan ibu.
Pagi di desa membuat betah. Saya masih memperhatikan bunga Mahkota Duri yang ditanam ibu sampai mentari perlahan memupus air dari kelopaknya. Di tepi jalan, cahaya keemasan menerabas untaian daun pinang. Angkot lewat semakin sering. Dan saya pun bergegas membersihkan diri. Hari ini kami akan jalan-jalan ke Bukittinggi.
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.