Jembatan Siti Nurbaya Padang | Hampir seluruh anak Indonesia yang sekolah di Indonesia pasti pernah mendengar nama Siti Nurbaya. Entah disinggung guru Bahasa Indonesia dalam kelas atau lewat bacaan. Siti Nurbaya merupakan tokoh paling terkenal dalam novel gendre sastra Karya Marah Rusli sebelum Datuk Maringgih dan Samsul Bahri. – Sejarah-
Nama Siti Nurbaya juga sering dipakai untuk menggambarkan budaya kolot dan ketinggalan jaman. Contohnya kalau mendengar perkawinan yang diatur alias dijodohkan akan keluar komentar: “ Kayak jaman Siti Nurbaya!”. Begitu dalam nama Siti Nurbaya terbenam kedalam ingatan bersama. Dari fiksi jadi legenda kemudian “seolah” jadi kisah nyata dan berkahir Jembatan Siti Nurbaya.
Membangkit Kenangan di Jembatan Siti Nurbaya
“Ngapain lagi ke sana, *Tek?” Tanya Febi, keponakan, saat diminta mampir ke Jembatan Siti Nurbaya sesaat sebelum diantar ke Minangkabau International Airport. Sebentar saya bingung hendak menjawab apa. “Iya ngapain ya ke sana. Kan sudah sering?” Rasa rindu aneh terhadap air Batang Harau butek kehijauan membuat saya menjawab untuk sekedar mampir, mengulang kenangan manis, dan mengambil beberapa foto untuk blog kesayangan ini.
Febi menjawab dengan gelak. Maklum lah berkat kecerobohan sendiri arsip foto dari 2 kali kunjungan ke sini bersama keluarga musnah tak berjejak. Hampir seluruh foto-foto wisata Indonesia yang pernah dibuat juga musnah. Selain kangen juga melintasi jalan Nipah, bagian Kota Tua Padang yang pernah saya akrabi semasa kuliah.
Walau kemudian terbukti bahwa romantisme masa lalu itu kebanyakan cuma bercokol di kepala. Sudah tidak selaras bila disandingkan dengan perkembangan kota. Namun sebagai pecinta romantisme masa lalu tetap merasa terpuaskan kala bersirobok bangunan peninggalan Belanda yang “basalingkik pingkik”(berhimpit) dengan warung, ruko dan rumah penduduk.
Matahari sedang memuncak saat kami sampai di Jembatan Siti Nurbaya. Febi menepi tepat di tengahnya. Entah mengapa siang itu Jembatan Siti Nurbaya terasa hening. Cuma satu dua kendaraan yang melintas, yang memungkin saya dapat berpose sebentar di tengah badannya.
Sungai Batang Arau di bawah pun seperti berhenti mengalir. Cuma ada gelombang lembut saat angin menyapu permukaan air. Di kejauhan, di muka Pelabuhan Muaro, speed boat dan perahu kayu parkir terangguk-angguk menghadap Gunung Padang. Gunung yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir Siti Nurbaya, juga salah satu bukti ketika fiksi berubah jadi legenda kemudian terwujud dalam realita.
Wisatawan yang akan diving atau piknik ke Mentawai pasti akan naik dari Pelabuhan Muaro ini.
Baca juga:
Sejarah Jembatan Siti Nurbaya
Sejarah Jembatan Siti Nurbaya bisa ditarik ke belakang lewat Pelabuahan Muaro. Awalnya adalah pelabuhan alam yang digunakan rakyat dalam menambatkan perahu. Sekitar akhir abad ke17 dikembangkan oleh VOC dengan membangun dermaga di sebelah utara muara sungai.
Seiring waktu dilakukan beberapa kali perbaikan dan penambahan panjang dermaga. Perbaikan dan penambahan yang paling penting terjadi tahun 1850-an dan 1870-an dengan didirkannya sejumlah fasilitas penunjang pelabuhan besar seperti pergudangan, kantor syahbandar, dan menara suar.
Jembatan Sitti Nurbaya membentang sepanjang 156 meter di atas sungai Batang Arau, Kota Padang, Sumatera Barat. Menghubungkan pusat kota dengan Seberang Padang. Di seberang berdiri Gunung Padang yang dipercaya sebagai letak makam bekas tunangan Syamsul Bahri dalam Novel Siti Nurbaya Karangan Marah Rusli.
Baca juga:
Sejarah di mulai dengan dibangun tahun 1995 dengan menghabiskan dana Rp19,8 miliar. Anggaran dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dibantu oleh Asian Development Bank (ADB) dan Overseas Economic Cooperation Fund (OECF).
Penggunaannya diresmikan pada pertengahan tahun 2002, ditandai dengan kehadiran pemeran drama televisi Sitti Nurbaya HIM Damsyik, Novia Kolopaking, dan Gusti Randa.
Keindahan Sungai Batang Arau Dari Jembatan
Saat asyik memotret lamat-lamat terdengar suara ketukan. Saya bergeser dan mencari lewat lensa. Rupanya seorang pekerja yang sedang memaku sesuatu di dermaga kayu di tepi sungai, tak jauh dari tempat saya berdiri. Di atasnya meliuk ranting pohon berdaun rimbun, membuat bayangannya hilang timbul saat angin bertiup. Di ujung satu lagi, ke bagian tengah sungai, seorang temannya juga sibuk memaku sesuatu pada dermaga yang mirip titian kayu.
Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama mengarak sejarah jembatan siti nurbaya dalam kenangan. Lain waktu mungkin akan kembali ke kota Padang – Sumatera Barat ini. Pesawat kami akan take off pukul sebelas lewat. Sebelum kembali ke mobil, saya menatap tiang-tiang lampu panjang yang berjejer seperti memagari tangan jembatan.
Sore nanti saat mentari beranjak turun, di bawah lampu-lampu itu, di jalan setapak di kiri-kanan, akan diisi para pedagang makanan. Di tambah lampu-lampu dari dermaga dan perahu yang bersandar akan merubah tempat ini jadi romantis. Sambil mengudap pisang bakar, kue, mie rebus dan kopi dengan view remang-remang dari Batang Arau entah siapa yang akan berpikir bahwa seorang penulis seperti Marah Rusli adalah pembuat sejarah.
Baca juga:
Cerita Siti Nurbaya yang bersal dari kisah fiksi, berlanjut jadi legenda rakyat dan kemudian terwujud dalam realita.
Siti Nurbaya tak hanya tentang jembatan dan pusara, ia juga menjelma jadi pertunjukan sandiwara, ide drama, film dan kisah sinetron.
Tanpa nama Siti Nurbaya, alat penyebarangan ini akan tetap dibangun pemerintah. Karena masyarakat membutuhkan penghubung antara pusat kota dengan Seberang Padang yang terpisah oleh Sungai Arau.
Namun tanpa nama Jembatan Siti Nurbaya Padang, titian ini tidak akan seikonis sekarang. Dengan hanya menyebut nama Siti Nurbaya orang langsung mengingat Kota Padang. Begitu lah bila pena atau keyboard kalau sudah bicara.
@eviindrawanto