Kompleks Pemakaman Kesultanan Bima Dana Traha salah satu destinasi yang perlu dipertimbangkan bila Sahabat Jurnal Evi Indrawanto (JEI) jalan-jalan ke Bima. Berada di atas puncak bukit, menghadap teluk Bima, jalannya bisa diakses oleh semua jenis kendaraan karena sudah dihotmix. Letaknya di Kampung Dara Kelurahan Paruga Kecamatan Rasanae. “Dana Traha” dalam bahasa Bima artinya tempat peristirahatan (Dana = tanah; Traha = istirahat). Dengan ketinggian sekitar 50 meter di atas permukaan laut ada pula yang memaknai Dana Traha sebagai Tanah Tinggi. Tempat ini penting artinya bagi masyarakat Kabupaten Bima atau siapun yang terkait dengan sejarah Bima. Sebab area ini bisa dianggap salah satu akar identitas kebimaan mereka. Selain komplek pemakaman, Dana Traha pernah digunakan para Ncuhi (Pemimpin) untuk bermusyawarah untuk merintis kelahiran kerajaan Bima. Itu terjadi sekitar abad 10 masehi.
Matahari hampir tenggelam saat kami tiba di Komplek Pemakaman Kesultanan Bima Dana Traha. Jika sahabat JEI bertanya ngapain sore-sore main ke makam? Apa tidak seram? Karena kuburan tak selalu identik dengan semak belukar, suasana mistis, dan cerita-cerita misteri lainnya, jadi Dana Traha jauh dari tipikal kuburan yang biasa digunakan menakut-nakuti kita. Kalau istilah anak muda gak ada angker-angkernya, bok! Selain rutin digunakan sebagai tempat ziarah, pelataran parkir malah digunakan warga sebagai arena rekreasi.
Makam Prabu Hariang Kancana | Goa Safarwadi – Pamijahan | Makam Sunan Kudus | Petilasan Nyi Roro Kidul
Komplek Pemakaman Kesultanan Bima Dana Traha ini memang tertata rapi. Tak terlihat serumpun semakpun di halaman. Tak pula jatuhan dedaunan yang akan merusak pemandangan. Sekeliling dipagar besi bercat putih, mengapit 6 makam utama yang berbaris lurus serta beberapa makam lagi agak ke tepi dan belakang. Pagar kokoh ini memisahkan pelataran terbuka yang digunakan sebagai area parkir dan rekreasi dengan kompleks makam. Yang lebih penting lagi tidak terdapat pedagang asongan maupun pengemis. Pelatarannya biasa digunakan warga berolah raga pagi. Atau seperti sore itu tampak beberapa wisatawan menikmati udara sore yang bertiup halus dari Teluk Bima. Kota Bima di bawah tampak samar-samar. Menara masjid mencuat dari sela-sela atap bangunan.
Anak-anak berlarian. Orang tua mereka duduk di atas sehelai tikar mengawasi. Dua pasang muda-mudi asyik memadu kasih disaksikan matahari yang semakin jingga. Gerobak penjual makanan kecil mengambil tempatnya untuk melayani siapapun yang sedang kehausan. Komposisi harmonis khas pariwisata ini seperti hubungan suami-istri: Kita ada agar saling melengkapi.
Makam Sultan Abdul Kahir
Dalam kompleks makam ini tertanam lah jasad Sultan Abdul Kahir, Sultan Bima I, juga pembawa agama Islam pertama di Bima, dan wafat pada 22 Desember 1640. Menurut catatan sejarah dalam usia sangat belia Sultan Abdul Kahir pernah meninggalkan istana gara-gara perebutan kekuasaan oleh pamannya bernama Salisi. Sang Paman menjalin kerja sama dengan Belanda yang tak menginkan pewaris tahta sah tetap bercokol di istana. Apa lagi setelah Sultan memeluk Islam sekitar tahun 1621, permusuhan kepadanya pun kian meningkat. Karena itu lah sekitar tahun 1623 Sultan hijrah ke Makassar. Di sana ia menikah dengan adik permaisuri Sultan Alauddin Makassar bernama Karaeng Kassuruang. Dari perkawinan ini lahir putra bernama Abdul Kahir Sirajuddin yang kelak menjadi Sultan Bima II. Berkuasa selama 42 tahun (1640 – 1682).
Makam Sultan Abdul Kahir Sirajuddin
Saya mengikuti Pak Alan Malingi memasuki pintu makam sambil mengucap salam di dalam hati. Makam pertama saya lewati sebab sekilas tak terlihat istimewa. Lebih tertarik ke makam nomor dua dari arah pintu masuk. Bertembok semen berundak 6 seperti bangunan candi dengan ukiran huruf arab di sekeliling. Bentuknya mirip dengan makam Sultan Hasanuddin dan makam-makam Raja Gowa yang pernah saya lihat di Tamalate Kabupaten Gowa. Di atas tertanam dua batu nisan bulat –mungkin ciri khas Bima– juga bertulisan arab. Perjalanan waktu dan lumut membuat huruf-huruf itu tak terbaca lagi. Ini adalah makam Sultan Abdul Kahir Sirajuddin yang terkenal akan kegigihannya melawan Belanda. Sultan Abdul Kahir merupakan Sultan ke II menggantikan ayahnya Sultan Abdul Kadir.
Makam Sultan H. Abdul Kahir II
Di sebelahnya, makam ke-3, menurut saya paling bagus. Berada dalam cungkup kayu jati berpernis halus. Ini lah makam Sultan Bima XV. Sultan H. Abdul Kahir II bin Sultan Moh. Salahuddin dengan gelar Ruma Ma Wa’a Busi Ro Mawo. Lahir di Bima 24 Oktober 1925. Wafat di Jakarta 4 Mei 2001. Tembok dan nisannya penuh ukiran. Batu mamernya yang berkilat saat itu sedang disapu petugas. Sehari-hari makam ini dikunci. Mumpung sedang dibersihkan saya meminta ijin masuk agar bisa mengamati lebih dekat. Makam ini berbeda dari yang lain. Saya pikir para keluarga dekat yang berperan dalam pembangunannya. Mengapa makam ini lebih istimewa sementara berjarak satu makam lagi, sama-sama tempat peristirahatan terakhir seorang bangsawan Bima tapi hanya dipagar bambu?
Makam Perdana Mentri Abdul Samad Ompu Lamani
Di sebelah kiri makam Sultan Bima ke-15 berdiri makam bercungkup unik. Sekilas seperti gerbong kereta api atau Rumah Iglo orang Eskimo. Setengah bulat dengan pintu besi yang terkunci di bagian muka. Melongok ke dalam ternyata makamnya ditembok keselurhan seperti kotak sabun. Cuma batu nisan yang menandakan kalau kota semen itu adalah makam. Ini adalah makam bekas Perdana Mentri kerajaan Bima bernama Abdul Samad Ompu Lamani. Beliau meninggal tahun 1701.
Makam Karaeng Popo
Karaeng Popo wafat pada tahun 1681 masehi. Beliau adalah panglima perang Makasar yang datang ke Bima untuk membantu Sultan Abdul Kahir Sirajuddin. Perjuangannya yang tak kenal lelah melawan Belanda di hormati oleh keluarga kerajaan. Itu lah mengapa ketika meninggal dunia ia dimakamkan di Komplek Makam Sultan Bima Dana Traha. Saya pikir makam miliknya adalah yang tadi saya abaikan karena bentuknya yang sederhana itu. Terletak paling dekat dari pintu masuk. Atau bisa juga yang terletak di belakang, sebelah timur makam berpagar bambu kuning. Bentuknya sama persis dengan yang pertama.
Mengutip dari blog Pak Alan Malingi terdapat 25 makam di kompleks pemakaman ini. 21 makam para mubaliq, 4 diantaranya sebagai Sultan Bima dan perdana menterinya. Selain Sultan Bima Pertama, Sultan kedua, Perdana Mentri, di sini juga terdapat kuburan Sultan Nurdin yang memerintah antara tahun 1682 – 1687. Lagi-lagi saya tak bisa mengidentifikasi kuburan tersebut dari foto-foto yang saya ambil.
Cara Menuju Komplek Makam Kesultanan Bima Dana Traha
Akses menuju ke Dana Traha cukup mudah. Dari informasi yang saya kumpulkan terdapat dua jalur bila titik keberangakatan sahabat JEI adalah kantor Walikota Bima. Jalur pertama melalui perempatan di kelurahan Sadia. Jika melalui jalur ini, jarak tempuhnya sekitar 3,1 km. Sedangkan jalur ke dua yaitu melalui Terminal Dara. Jarak tempuhnya sekitar 4,1 km. Semua jalur bisa dilalui kendaraan roda empat maupun dua.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengetahui, merawat, dan belajar dari sejarahnya. Bahwa bangsa yang besar juga tahu akarnya, saya kira cukup pantas jika yang berkepentingan di Kabupaten Bima menjadikan tempat ini sebagai wilayah cagar budaya. Selain demi anak cucu kelak juga demi sejarah Indonesia yang terdokumentasi.