Festival Bau Nyale, Pesta Rakyat Lombok yang selalu berlangsung meriah di Nusa Tenggara Barat. Sebagai tim hura-hura banyak sekali yang saya lihat. Budaya Suku Sasak yang biasanya dilihat dari jauh, dalam Bau Nyale bersentuhan lebih dekat. Melihat mereka berburu cacing nyale memberi pengalaman berharga. Mendapat gambaran budaya, dan dampak ekonomi dari budaya itu. Yang paling seru adalah kesempat melihat cara memasak Nyale. Bahkan hanya demi bisa menceritakan saya ikut mencoba makan cacing juga.
Dalam artikel sebelum ini sudah diceritakan asal-usul cacing warna-warni yang disebut Nyale. Mereka tiap tahun muncul di Pantai Seger Lombok.
Bau Nyale adalah ritual berburu cacing laut lalu dimakan beramai-ramai.
Berawal dari cerita legenda Putri Mandalika yang mengorbankan diri dengan meloncat ke laut. Gara-gara terlalu banyak pangeran yang meminang dan ia tidak mau terjadi perang dan perselisihan, caranya adalah dengan melenyapkan diri. Peristiwa itu terjadi tanggal 20 bulan ke-10 dalam penanggalan Sasak. Atau 5 hari setelah bulan purnama. Sejak itu, di kalender yang sama, menjelang fajar, Pantai Seger selalu dikunjungi ribuan cacing warna-warni yang disebut Nyale. Masyarakat Lombok percaya mereka adalah jelmaan Putri Mandalika.
Maka setiap tahun ada pesta rakyat Lombok berlangsung di sini. Ritual ini disebut Bau Nyale atau berburu cacing ramai-ramai.
Melihat Berburu Nyale Dari Dekat
Saya sudah berada di Pantai Seger sore sebelum puncak acara berlangsung keesokan subuh. Bersama ribuan rakyat Lombok, wisatawan domestik maupun mancanegara, camping bersama di sekitar Pantai Seger. Bukit Seger pada hari biasa sepi. Pada even Bau Nyale dipenuhi tenda-tenda. Pengunjung menginap di sana agar tak ketinggalan saat ribuan Nyale muncul di perairan menjelang fajar.
Menjelang pukul 03.00 pagi laut di Pantai Seger sudah penuh orang. Dengan penerang bulan dan senter di tangan. Dengan takzim menangguk Nyale yang melintas, menyimpannya dalam ember atau kanntong plastik, sambil bercengkerama dengan teman, kerabat maupun yang baru dikenal. Dari atas bukit kerlap-kerlip ratusan senter itu separti taburan bintang di ujung langit malam.
Baca juga :
- Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale 2019
- Cuci Parigi Pusaka di Pesta Rakyat Banda
- Narmada Botanic Garden Wisata Agro Lombok
Saya tidak langsung turun. Bersama dengan ratusan masyarakat lainnya kami nonton dari atas bukit. Di sana saya juga bertemu dengan Lalu Satria yang bersama keluarganya datang dari Lombok Barat. Setiap tahun Pak Lalu datang ke tempat ini untuk merayakan Bau Nyale bersama dengan masyarakat lain. Tahun ini tidak ikut turun karena kakinya sakit. Padahal tahun-tahun sebelumnya ia selalu aktif turun ke laut untuk menangkap Nyale.
Sama seperti semua masyarakat Lombok yang memenuhi Bukit dan Pantai Seger, Pak Lalu percaya bahwa cacing-cacing itu memiliki tuah. Mereka dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya. Akan mendapat malapetaka bagi yang meremehkan. Mereka juga percaya bahwa kehadiran Nyale di Pantai Lombok Selatan ini sebagai tanda keajaiban alam dari Tuhan semesta alam.
Untuk memuaskan rasa ingin tahu saya akhirnya ikut turun ke bawah. Menjelang pukul 04.00. subuh, bulan di atas terlalu pucat menerangi jalan curam ke bawah. Dengan senter dari ponsel saya beringsut selangkah demi selangkah. Melewati mereka yang masih asik bermimpi, beralas tikar, beratap di temaram bintang.
Pengunjung yang sudah bangun terus turun ke laut. Membawa anak-anak juga orang tua, menyigikan senter ke air, menangkap cacing, lalu memasukan ke dalam ember atau kantong plastik.
Baca juga :
- 12 Makanan Khas Lombok yang Wajib Kamu Coba
- Desa Wisata Sasak Ende Museum Hidup di Lombok
- Khasiat Madu dan Kayu Manis : Bau Nafas
Festival Bau Nyale Lombok dan Pemberdayaan Ekonomi
Banyak program yang digelontorkan Kemenpar dan Pemda NTB dalam Festival Pesona Bau Nyale 2019 ini. Festival Bau Nyale Lombok lebih dari sekadar memperingati tradisi budaya. Ada pemberdayaan ekonomi di dalamnya. Apa lagi tahun ini temanya adalah “Kebangkitan Pariwisata NTB” usai benca gempa bumi yang dialami.
Dihelat 17- 25 Februari, menampilkan Aktivitas Pembersihan Pantai, Kompetisi Berselancar dan Voli Pantai, Kompetisi Selfie, Kontes Kecantikan Putri Mandalika, Parade Budaya, Mandalika Fashion Carnaval, dan Bazaar Kuliner.
Puncak Bau Nyale yaitu menangkap cacing ramai-ramai memang hanya berlangsung 2-2,5 jam. Pukul 6 pagi, ketika matahari sudah keluar sempurna, Nyale sudah tak kelihatan. Dan pengunjung pun meninggalkan Pantai Seger satu persatu.
Tapi persiapan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Selama itu mereka membutuhkan banyak dukungan logistik. Termasuk makanan maupun minuman.
Kesempatan ini juga digunakan Pemda setempat untuk mendirikan warung-warung dan Pasar Kuliner. Banyak kuliner unik Lombok saya temui di sini. Mengenai Kuliner Lombok akan saya tulis tersendiri nanti.
Terlihat betapa gerakan ekonomi saat penyelenggaraan Bau Nyale ini tinggi. Minimal di tempat acara puncak. Pengunjung tak mungkin hadir tanpa berbelanja.
Baca juga 4 Pantai Lombok Tengah Menanti Anak Instagram
Festival Bau Nyale Lombok – Pesta Rakyat Ajang Silaturahim
Festival Bau Nyale Lombok ini tepat bila saya juluki pesta rakyat. Jadi media untuk membangun silaturahim antar sesama.
Memang tak bisa dipungkiri Festival Bau Nyale Lombok ini jadi semacam ajang pengikat tali silaturahmi. Bagaimana tidak. Mereka datang dari berbagai daerah, lelaki perempuan, dewasa dan kanak-kanak, berragam latar sosial ekonomi, bersama-sama merayakan kegembiraan. Berburu nyale.
Seperti Pak Lalu Satria yang datang bersama dengan 8 anggota keluarganya. Di sana selain bertemu tetangga juga kerabat yang jarang bersua.
Festival Bau Nyale Lombok secara tak langsung satu bentuk dari pewarisan budaya. Pak Lalu Satria yang bersemangat selain ingin bertemu kerabat juga membawa cucu-cucunya. Ia ingin mengenalkan tradisi Nyale kepada mereka.
Cara memasak Nyale
Setelah melihat bagaimana cara menangkap Cacing Nyale di Festival Bau Nyale Lombok, sekarang bagaimana cara memasak nyale?
Memang bagi Rakyat Lombok Nyale tak sekar jelmaan Putri Mandalika. Nyale tak sekadar berkah dalam kehidupan. Nyale juga adalah santapan lezat. Menikmati daging Nyale, baik mentah maupun diolah, termasuk peristiwa istimewa.
Dalam kesempatan memasak nyale ini saya saksikan di Desa Ende, pemukiman tradisional Suku Sasak di Lombok Tengah.
Cacing-cacing yang sudah terkumpul dicuci bersih. Tanpa diberi bumbu dibungkus dengan daun kelapa muda. Lalu dijepit dengan tangkai bambu.
Nyale sekarang siap dipanggang di atas tungku. Cara memasak seperti ini disebut Te-Lepet. Dilepet artinya dipepes. Proses memepes sampai masak kurang lebih 3 jam.
Memasak Nyale harus dengan api kecil. Yang saya lihat menggunakan bara kayu bakar saja. Alasannya agar daun kelapa sebagai pelindung tidak keburu hangus. Memasak dengan memepes seperti ini memang lama. Tapi orang Lombok percaya bahwa rasanya jauh lebih enak.
Pepes Nyale dinikmati dengan Sambal Kecos. Sambal terasi. Terbuat dari cabe merah, terasi dan bawang merah yang dibakar terlebih dahulu. Diulek dengan garam dan diberi jeruk purut atau jeruk Monti. Karena itu Sambal Kecos disebut juga Sambal Monti.
Nyale yang sudah dibakar bisa digoreng kembali. Di atasnya ditaburi bawang goreng. Bisa juga dimasak dengan santan yang lebih gurih rasanya.
Bagaimana Rasa Daging Cacing Laut atau Nyale ini?
Untuk yang mentah saya tidak berani mencoba. Walaupun sebelum datang ke Festival Bau Nyale saya bertekad mencoba. Tapi setelah menyaksikan sendiri bagaimana cacing cacing menggeliat di dalam ember dan tempat penyimpanan keberanian saya langsung terbang.
Di Desa Ende , saya memberanikan diri untuk mencoba Cacing Nyale Goreng dan Cacing Nyale kuah santan atau gulai.
Karena tak terbiasa, rasanya langsung menyergap seluruh saraf perasa di lidah saya. Bau laut yang terkunyah, rumput laut yang terurai, anyir air laut, dan pasir bercampur jadi satu. Sepertinya rasa tersebut langsung ditolak oleh indra pengecap saya.
Tapi senang banget akhirnya dapat menyaksikan Festival Bau Nyale Lombok ini. Setelah membaca sekian lama akhirnya mencoba Nyale juga.