Festival Pesona Bau Nyale 2019 membuka mata terhadap kedalaman tradisi yang dilakoni masyarakat Lombok. Itu berkat berbagai program yang dibuat Kemenpar beserta Pemerintah NTB dalam rangka menarik minat wisatawan. Menumbuhkan ekonomi di sektor pariwisata. Mengangkat brand Lombok secara nasional maupun internasional. Salah satunya Parade Budaya bertema Legenda Putri Mandalika. Ada banyak nilai positif dalam festival budaya seperti Bau Nyale ini. Karena ekspresi budaya tradisional tak hanya berguna sebagai promosi wisata, tapi sekaligus bida digunakan sebagai tansmisikan nilai-nilai dan kepercayaan inti kepada generasi muda.
Parade Budaya jadi bagian dari Festival Pesona Bau Nyale yang digelar pada 24 Februari di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Atraksi seni dan budaya yang mencerminkan Legenda Putri Mandalika. Gadis-gadis cantik mengenakan busana ala putri, lengkap dengan para pangeran, para dayang, dan prajuritnya. Begitu pun penggambaran kehidupan masyarakat lewat matapencarian juga turut tampil. Pokoknya gambaran tentang sebuah kerajaan cukup terasa dalam karnaval ini.
- Baca juga  Festival Budaya Irau Malinau
Dan saya bersukacita dapat kesempatan jadi bagian penggembira. Melongok sekilas ke dalam tradisi suku Sasak yang telah menghuni Pulau Lombok sejak 4000 sebelum Masehi. Bahkan Suku Sasak ini sudah ditulis dalam kitab Nagarakertagama gubahan Mpu Prapanca. Betapa tuanya meraka. Dan betapa “ketinggalannya” saya karena baru mengenal meraka.
Legenda Putri Mandalika yang Melatari Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale
Mandalika adalah seorang putri seorang raja yang adil dan bijaksana. Dilahirkan dari seorang Ratu yang cantik jelita.
Putri Mandalika yang setelah tumbuh remaja juga cantik jelita seperti ibunya. Tak hanya paras tapi juga kepribadian. Tutur katanya lembut, sifatnya baik, sopan dan ramah pada semua orang. Tak heran bila ia memenuhi semua syarat sebagai istri idaman. Para pangeran dan pemuda setempat beramai-ramai melamar Mandalikan untuk dijadikan istri.
Raja dan Aatu tentu saja dibuat bingung. Harus memilih siapa? Akhirnya keputusan terakhir diserahkan kepada sang pemilik hidup, Putri Mandalika disuruh memilih sendiri dengan mengikuti hati nuraninya.
Tentu saja urusan menjadi pelik bagi Putri Mandalika yang santun. Kalau ia memilih satu pangeran dan pangeran pangeran yang lain pasti akan kecewa. Mending kalau hanya kecewa dan patah hati. Bagaimana kalau ada yang tak move on, milih berperang untuk menyelamatkan muka? Pelik kan?
- Baca juga Festival Ogoh-Ogoh 2016 Bale Banjar Semawang
Maka Putri Mandalika pun memutuskan bersemadi, meminta petunjuk, dibukakan jalan untuk solusi terbaik.
Setelah mendapat petunjuk, Putri Mandalika mengundang seluruh pangeran dan pemuda yang tertarik padanya. Mereka harus datang ke Pantai Seger tanggal ke 20 bulan ke-10 berdasarkan penanggalan Sasak. Mereka harus datang waktu pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang.
Seluruh undangan pun hadir ke Pantai Seger Atau Pantai Mandalika pada waktu yang ditentukan. Dengan dandanan super cantik Putri Mandalika datang dikawal oleh kedua orang tuanya, dayang-dayang dan juga para prajuritnya. Ia naik ke atas bukit dan mengucapkan beberapa kata. Bahwa ia menerima semua lamaran dan cinta yang diberikan kepadanya. Tapi sayang dirinya hanya satu tak bisa dibagi-bagi. Ia tak mungkin memilih salah satu diantara mereka tanpa terjadi perselisihan.
Setelah mengucapkan kata-kata terakhir Putri Mandalika langsung terjun ke dalam laut di hadapannya. Dan seketika hilang ditelan ombak.
- Baca juga Cuci Parigi Pusaka di Pesta Rakyat Banda 2018
Semua orang panik dan berusaha mencari Putri Mandalika . Tapi ia tak bersua. Yang mereka temukan kemudian hanyalah cacing-cacing kecil, panjang, warna-warni, dengan jumlah yang sangat banyak. Cacing ini disebut Nyale. Dari sana berkembang ritual adat Nyale, jadi tradisi tahunan masyarakat Lombok. Yang dilaksanakan sekitar bulan Februari sampai Maret tiap tahunnya.
Warna-Warni Tenun Lombok di Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale 2019
Sore tanggal 24 Februari 2019 itu, saya beserta ribuan masyarakat Lombok, berkumpul di tepi jalan Raya Praya. Jalan ini seolah berubah jadi catwalk panjang bagi para model dan peserta yang membawakan aneka kostum bertema Putri Mandalika dan pengiringnya. Mereka datang dari seluruh Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lombok maupun Sumbawa. Berlenggak-lenggok dengan busana karnaval yang meriah, dan terkadang diiringi musik tradisional.
Menarik mengamati pemakaian tenun Lombok khas suku Sasak oleh seluruh peserta. Banyak jenis dan motifnya. Tak ketinggalan juga warna-warni cerah khas katulistiwa. Ada tenun ikat, tenun pelekat, tenun songket, dan tenun sulam. Yang semuanya dikenalan dalam bentuk kain lilit, kain sarung, dan Rimpu dari Sumbawa.
Dalam Festival Pesona Bau Nyale 2019 ini saya juga mengunjungi Desa Sukara di kecamatan Jonggat Lombok Tengah. Dari sini saya mengetahui sedikit tentang teknik membuat kain tradisional yang dikenakan meraka. Setidaknya bisa dibedakan menjadi 4 tehnik:
- Kain Tenun Pelekat. Merupakan kain tenun sarung dengan motif loreng atau bertapak catur.
- Kain Tenun Songket. Mempunya motif hiasan timbul yang terbuat dari benang katun, benang emas, maupun benang perak.
- Kain Tenun Sulam. Dibuat dengan teknik menjahit kain benang warna di permukaan kain berdasarkan pola dan corak tertentu.
- Kain tenun ikat. Pembuatan motif dilakukan dengan cara mengikat bagian-bagian tertentu pada benang. Jadi saat dicelupkan ke dalam warna, bagian yang terikat tidak dimasuki warna.
Keberagaman Budaya Dalam Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale
Mengamati kelompok peserta parade muncul satu persatu, saya melihat bahwa Lombok memiliki keberagaman budaya yang kental. Tampaknya mereka tak berakhir dari sebutan Suku Sasak saja. Setidaknya tercermin dari busana dan kain-kain yang dikenakan. Ada perbedaan sedikit di sana-sni.
Memang kalau membaca dari sejarah, budaya suku Sasak sudah terbentuk mulai sejak zaman Hindu. Sampai masuknya agama Islam mereka berbaur dengan harmonis dan diterima sebagai identitas Sasak sendiri.
- Baca juga Belanja Tenun Ikat Sikka di Pasar Alok
Menurut teman saya, motif kain bentuk tumpal atau pucuk rebung, berasal dari pengaruh zaman Hindu. Bentuknya segitiga mirip dengan deretan gunung berbaris. Pucuk rebung simbol dari Dewi Sri, dewi kemakmuran.
Ketika Islam memasuki Lombok, motif kain pun bergeser. Bentuk tumbuh-tumbuhan banyak digunakan. Ada suluran, pucuk rebung tetap bertahan, pohon hayat, serta bunga-bunga yang disusun menyerupai hewan.
Motif geometri banyak ditemukan pada kain pelekat. Motif hewan yang ada pada masa Hindu, pada masa Islam berganti dengan motif kaligrafi dan motif burung.
Kain Lombok asli memang lebih teksturnya lebih tebal dan tidak mudah kusut dengan pewarna tidak mudah luntur.
Demikian sekelumit pengalaman dalam menonton Parade Budaya Festival Pesona Bau Nyale.