Travelblogger Indonesia | Yang saya maksud dengan museum etnografi Minangkabau ini adalah Rumah Gadang Bukittinggi. Disebut juga Rumah Baanjuang yang berada dalam kompleks Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan atau Kebun Binatang.
Walau koleksi “amat” terbatas, pengunjung yang ingin mengenal sedikit budaya material dari suku yang menarik garis keturunan melalui garis ibu ini akan mendapat sedikit gambaran. Baik tentang komposisi, karakteristik, dan alat-alat penunjuang kehidupan (etnografika) yang pernah digunakan masyarakat Minang pada masa lalu. Rumah Gadang Bukittinggi dibangun orang Belanda bernama Mondelar Countrolleur pada tanggal 1 Juli 1935. Digunakan menghimpun benda-benda sejarah dan budaya Minangkabau.
Museum etnografi Minangkabau: Rumah Gadang Baanjuang
Kompisisi Rumah Gadang Bukitinggi
Saat memasuki halaman Museum Rumah Adat Baanjuang panas sedang terik-teriknya. Namun senang karena diingatkan kembali komposisi bangunan Rumah Gadang. Ada 2 Rangkiang (lumbung padi) di kiri-kanan yakni Sibayau-bayau dan Sitinjau Laut.
Fungsi kedua rankiang berbeda menurut kegunaannya –salah satunya dengan patung gadis-gadis yang sedang menumbuk padi di lesung — Sibayau-bayau untuk membantu kaum yang kekurangan. Sementara yang dalam Sitinjau Laut untuk keperluan upacara adat.
Padi dalam rangkiang Sibayau-bayau milik kaum jadi berada di bawah pengawasan Mamak atau Tungganai. Tapi  kuncinya tetap berada dalam tangan Bundo Kanduang.
Baca juga  Romansa Bukittinggi Kota Rang Agam
Di sebelah kanan juga berdiri Tabuah Larangan (beduk) alat-alat yang akan dibunyikan sebagai tanda agar kaum (kerabat) segera berkumpul. Beduk ini juga akan dibunyikan bila negeri dianggap sedang dalam bahaya seperti kebakaran atau diserang musuh.
Karena tidak pernah tinggal dalam rumah gadang saya tak pernah mendengar guguhan tabuh larangan ini. Kalau pun ada dari Masjid atau Surau yang selain untuk mengawali adzan juga pengumuman kematian. Komposisi Rumah Gadang biasanya juga dilengkapi kolam ikan, sumur, dan dapur di bagian belakang.
Sejarah Rumah Gadang
Saya selalu terpesona memandangi rumah gadang. Di sana seperti tersimpan beratus-ratus tahun kisah yang tak terceritakan. Entah lewat bentuk atapnya, ukiran dinding atau ruang-ruang di dalamya. Seperti pesona yang juga disimpan Museum Rumah Gadang Baanjuang dengan atap ijuk bergonjong tujuh.
Lengkung atap yang tajam ke atas lalu melandai ke bawah menyerupai tanduk kerbau akan selalu mengingingatkan anak Minang. Di manapun berada akan ingat simbolisasi kemenangan pertarungan antar 2 kerbau di masa lalu.
Baca juga  Hotel di Bukittinggi Dekat Jam Gadang
Cerita tambo yang mengklaim kemenangan kerbau milik Pagaruyung atas kerbau milik prajurit Jawa. Entah benar atau tidak yang jelas pada kenyataannya negeri ini pernah jadi ibu kota kerajaan pemerintahan Adityawarman asal Majapahit. Itu kan berarti penaklukan ya?
Saya juga melihat deretan Bukit Barisan pada gonjong-gonjong yang menjulang menatap langit. Dan tak jarang bentuk atap juga menyerupai kapal nenek moyang Minangkabau yang disebut lancang.
Wisata Rumah Gadang Bukittinggi
Wisata Rumah Gadang Bukittinggi Banjuang ini terasa berbeda. Ia terlihat kuno namun elegan. Isinya berbagai koleksi etnografi Minangkabau. Begitu komposisinya menggambarkan sebuah nagari. Ada replika rumah gadang, surau, dan lapau. Sebagian masih saya kenali karena digunakan di masa kecil.
Singkatnya wisata Rumah Gadang penuh muatan edukasi. Dari sana kita dapat belajar kehidupan masyarakat Minang di masa lalu.
Baca juga  Situs Prasasti Pagaruyung Batusangkar
Ada miniatur pedati dan gerobak yang dicantolkan ke badan sapi untuk mengangkut hasil pertanian dari sawah atau ke pasar. Ada alat perangkap ikan bubu dan lukah untuk mencai belut di sawah. Begitu pun alat-alat upacara adat, alat makan seperti pinggan keramik dan talam logam untuk makan bersama. Tak ketinggalan alat minum seperti teko untuk kopi kawa ( kopi daun) terpajang cantik dalam lemari kaca. Begitu juga contoh pelaminan, busana pengantin, dan penghulu yang beragam di tiap nagari, memberi gambaran bahwa adat Minangkabau itu tidak satu namun beragam dengan luas hanya selingkaran Nagari.
Rumah Gadang Sebagai Museum Etnografi
Usai jelajah Rumah Gadang yang dulu bernama Bundo Kanduang saya naik ke atas anjuang (lantai yang ditinggikan) kanan. Tak ada yang berkunjung siang itu kecuali kami berdua.
Kekunoan museum etnografi ini tak tersembunyikan dibalik keanggunan. Ditopang tiang-tiang besar dengan langit-langit tinggi.
Tapi saya berpikir.
Adat Minangkabau akan berubah mengikuti jaman. Saat ini saja rumah gadang hanya digunakan sebagai museum. Penyimpan barang-barang pusaka, simbol perekat suku atau kaum, bukan sebagai tempat tinggal bersama. Sekarang orang Minang lebih suka membangun rumah batu lebih kecil di halaman rumah gadang. Untuk ditempati keluarga inti.
Walau demikian tetap berharap. Semoga Museum Rumah Gadang Baanjuang Bukittingi ini tetap lestari. Ddiperbarui dari waktu ke waktu. Kalau bisa diperbesar, menambah koleksi dan mengeluarkan koleksi tulang hewan-hewan aneh yang tak ada hubungannya dengan deskripsi bangsa Minangkabau. Beberapa generasi setelah saya hanya akan mengenal Minangkabau dari benda-benda peninggalan seperti yang terdapat dalam museum ini.
Foto koleksi Rumah Gadang Bukittinggi – Museum Etnografi
Bagian dalam Rumah Gadang Baanjuang yang dijadikan museum etnografi. Tanpa kamar layaknya rumah gadang biasa.
Peralatan menangkap ikan. Bubu dan keranjang terbuat dari rotan. Lukah yang mirip botol itu untuk menangkap belut dan terbuat dari lidi kelapa yang liat.
Beberapa contoh pakaian para Datuk dan pengantin yang berbeda tiap Nagari. Keberagaman yang melahirkan kalimat “adat salingka nagari”
Al Quran yang ditulis tahun 1700 M di museum etnografi Bukittinggi. Sumbangan dari Bapak Datuk Bandaro Kayo, asal Padang Tarok Baso.
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.
39 comments
tadinya sempat bertanya2 kok emak LJ nggak bawa aku ke sini
ternyata udah didatangi kok.., abis dari benteng Fort de Kock…., walau terburu2 karena sudah ma berangkat ke bandara tapi sempat menikmati isi museum ini
Betul MM, lokasinya dekat Benteng 🙂
makin menguatkan saya untuk bisa jalan-jalan ke padang dan sumatera barat 😀
Iya Sumatera Barat tak boleh dilewatkan oleh pejalan seperti dirimu, Mas Salman 🙂
jadi pengen ke Padang lagi nihhh mba 😀
Kalau mau eksplorasi semua sebulan juga bakalan betah deh Mbak Dita 🙂
Kayaknya wajib kunjungi waktu ke Padang ya Mbak Evi. Lengkap sekali isinya.
Banget Mas Dani..Mengenal keunikan tiap suku bangsa, waaahh menarik banget 🙂
Keren-keren koleksinya… Sebagai pecinta museum, tempat ini langsung masuk daftar kunjung kalo ke Sumbar! Tapi sayang penataannya sedikit acak, andai dibenahi mungkin bisa lebih menarik lagi di mata wisatawan yang nggak suka masuk museum hehe
Iya penataannya emang kurang menarik Mas Halim, tak seperti museum Umum Banjarmasin…Mungkin juga karena ruangnya terbatas…Kalau diperbesar, maksudnya dibangun satu rumah gadang lagi yang lebih besar, pasti menarik banget..Apa lagi kalau ditambah koleksi etnografinya yang meliputi suku-suku yang ada di Minang…Keren 🙂
Kekayaan etnografi Minangkabau itu menurut saya termasuk yang paling unik di Indonesia, terutama karena sekelilingnya punya sistem patriarkat dan Minangjabau sendiri menggunakan sistem matriarkat. Dosen ilmu kebudayaan saya pernah berucap kalau sistem matriarkat terakhir ada di daerah Mohenjo Daro–betapa jauhnya dari barat Sumatera!
Koleksinya lengkap dan bangunannya pun megah, membuat rangkuman etnografi di Museum Nasional seolah tidak ada apa-apanya… :huhu. Semoga suatu hari nanti saya bisa ke sana :haha.
Untuk saat ini sistem kekerabatan matrinial memang jadi unik di dunia, Gara. Sistem kekerabatan paling tua di dunia 🙂
Wah museum rumah gadang itu sudah kinclong. Terakhir ke Bukittinggi sekitar 1995 musemnya masih sederhana.
Iya sekarang kinclong, bersih dan rapi, Pak Alris..:)
Aku ngak suka ke museum, trus kalopun ke museum pasti binggung menikmati nya #galau
Gak apa lah kalau gak suka museum, Mas Cum..Yang penting kan tetap senang mengeksplorasi tempat-tempat unik di Nusantara yang dibagi kepada pembaca blogmu 🙂
Terpukau dengan museum Adityawarman di Padang dengan isi senada yang di Bukittinggi ini ya Uni Evi. Eloknya budaya Nusantara. Terima kasih Uni Evi berbagi kekayaan adat. Salam
Kekayaan budaya Nusantara yang membuat kita bangga ya Mbak Prih. Terima kasih juga untuk selalu menyemangati saya Mbak 🙂
Ajak aku jalan-jalan ke Padang mbak 🙂
Ayuk kita jalan-jalan ke Padang, Mbak Lid 🙂
seperti sangat menarik sekali berkunjung di museum ini ya kak. seperti nya juga museum ini harus dimasukkan ke daftar yang wajib ku kunjungi hehehe, salam dari Kota Medan kak yang beberapa KM dari Padang, Sumatera Barat 😀
Emang! Kalau sudah ke Sumbar sayang banget gak mampir ke Bukittinggi. Dan kalau sudah di Kota Rang Agam ini, jangan lewatkan museum etnografi ini, Sobat Akbar 🙂
Aku pengen ke Padang, ke tempat syutingnya film Tenggelamnya kapal van der wijck deh mbak..hehe
Kereeen banget pemandangannya.
Klo mengenal Padang, aku cuma taunya di museum TMII, di anjungannya itu. 😀
kapan2, semoga ada rezeki bisa menginjakkan kaki ke Padang ah.
Yuk Mel, kapan kalau ke Padang ajakin akuh..Mau kok disuruh mengawani..:)
Budaya nusantara kita memang luar biasa ya mbak dan banyak sekali yang bisa diceritakan dari peninggalan jaman dulu…
Gak akan habis deh, Jeng..Lah tiap pengkolan punya adat-istidat sendiri 🙂
Masukin ke list museum yang pengen dikunjungi deh XD wajib!
Banget itu Mas Fahmi…Ibarat masuk rumah makan padang tapi gak ada rendang tanpa berkunjung ke sini 🙂
koleksinya antik2. penasaran kesini.
Mari datang ke sini, Amey 🙂
Semakin teringin sangat berkunjung..
Koleksi mseunya komplit ya mbak Evi. Jika suatu saat saya berkesempatan jalan-jalan ke tanah minang nggak mungkin ini terlewatkan
Gak begitu komplit sih Mbak Ika. Tapi cukup lah untuk mengenal sambil lalu kebudayaan Minangkabau 🙂
Wah seru banget. Mungkin ini lebih tepatnya sebagai museum yang mengambil bentuk rumah gadang ya? Karena di dalamnya tidak terdapat kamar-kamar seperti layaknya rumah gadang aslinya.
Saya pernah berkunjung ke Istano Basa Pagaruyung di Tanah Datar, dan saya kagum dengan konstruksi anti gempanya, dimana kaki-kaki istana tersebut tidak dipasakkan ke dalam bumi, melainkan hanya diletakkan di atas batu, sehingga jika ada gempa istana tersebut tidak akan roboh melainkan hanya bergeser dari tempatnya. Cuma sayangnya material istana tersebut rawan petir dan api, sehingga beberapa kali ludas terbakar.
Tfs ,,, postingannya membuat saya lebih paham tentang struktur dan denah rumah gadang ala Minangkabau 🙂
Arsitektur rumah gadang menganut filosofi alam takambang jadi guru, Bartian. Rancangannya mulai dari sandi sampai atap dirancang untuk menjawab tantangan alam. Sementara materialnya juga diambil dari alam yang rawan api. Mudah-mudahan suatu saat ditemukan teknologi anti petir yang bisa dipasang di tiap ujung atap rumah gadang sehingga tak perlu berkali-kali mengalami kebakaran 🙂
Kearifan lokal yang luar biasa. Amiiin
Aku suka museum. Dan museum yang cakep ini mesti banget didatangi jika emang berkesempatan ke Bukittinggi nanti. Love 🙂
Iya kalau sudah sampai di Bukittinggi, museum etnografi ini harus didatangi Yan. Kita sedikit banyak akan tahu budaya fisik yang dilakoni orang Minangkabau zaman dahulu 🙂
Siap mbak Evi. 🙂