Pernah jalan-jalan ke Museum Sejarah Jakarta? Menarikah Museum Itu?
Sudah jadi rahasia umum bahwa orang Indonesia tak begitu suka jalan-jalan ke museum. Setidaknya bila minat kunjungan ke Mall dijadikan sebagai titik acuan, piknik ke museum ibarat pergi ke tempat yang dingin, kaku dan berdebu. Apa menarikanya memandangi benda-benda kuno hasil karya manusia masa lalu yang berdiri beku di pojok-pojok ruang. Anak kota, seperti anak saya lebih tahu letak Grand Indonesia ketimbang Museum Sejarah Jakarta.
Frankly speaking jangankan anak-anak, saya juga pernah mencampur adukan antara Museum Fatahillah (nama lain dari museum sejarah jakarta) dengan Museum Bahari. Karena sedikitnya minat, daya pikir saya gagal mengenali dua tempat tersebut. Padahal lokasi penyimpanan hasil budi manusia yang survive dalam perjalanan sejarah itu beda. Museum Sejarah ada di jalan Taman Fatahillah sementara Museum Bahari di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Hei saya Berwisata ke Museum Sejarah Jakarta 🙂
Untuk menebus kesalahan suatu hari saya berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta. Bekas Gedung Balai Kota (staadhuis) Batavia menyimpan aneka peninggalan purbakala. Kita akan berjalan melintasi waktu antara masa kini dan prasejarah.
Dalam Museum Sejarah Jakarta saya melihat perhiasan manik-manik yang pernah digunakan perempuan gua. Perhiasan emas ke erah lebih muda desainnya sungguh menarik. Aneka uang logam jaman VOC, perabot rumah tangga antik yang dibuat dan digunakan pada abad 17 dan 19. Oh keren! Kalau mau melihat lukisan Raden Saleh yang sekarang nilainya sudah tak bisa di takar secara rupiah, datanglah ke museum sejarah Jakarta. Begitu pula bila hendak kenal dengan Gubernur Hindia Belanda yang rata-rata berwajah ganteng, lukisan mereka tergantung dengan rapi di dinding.
Keluar dari museum merasa aneh pada diri sendiri. Seperti baru keluar dari lorong masa lalu kemudian terpaksa menghadapi dunia moderen. Museum menyimpan begitu banyak cerita tapi kok terlewatkan oleh saya ya? Dulu menyukai cerita-cerita petualangan, tapi mengapa tak terbersit mencari lorong-lorong rahasia bawah tanah di sana?
Jadi ingat waktu SD atau SMP (lupa) pernah diajak sekolah jalan-jalan ke museum Gajah dan Tekstil. Kesan yang tersimpan dalam memori sekarang, tempat itu begitu formal.  Kami diharuskan mencatat keterangan yang diberikan seorang Bapak berbaju Safari, kepala botak, berkaca mata dengan wajah dan suara monoton. Kesannya tak ada yang fun ketika itu kecuali beban tugas yang nanti harus diserahkan pada guru.
Jadikan Museum tempat menarik
Mungkinkah pendekatan seperti ini yang membuat museum tak menarik sebagai objek wisata? Kalau saja dibuat pendekatan lain bahwa museum adalah tempat menarik, bukan untuk belajar, hanya untuk mengenal, bukan mencatat, saya yakin suatu saat museum bisa jadi pilihan wisata orang Indonesia ketimbang mal. Apalagi jika guide mengerti apa yang dimaui anak-anak, berbicara dalam bahasa mereka, tanpa disuruhpun mereka pasti merekam pengalaman itu di memori dalam konteks menarik.
Bagaimana dengan dirimu teman? Punya pengalaman berkunjung ke museum?
 Salam,
— Evi