Masjid Merah Panjunan masuk dalam wishlist karena membaca dari sebuah blog. Alhamdulillah impian untuk merekam mesjid-mesjid kuno dalam blog ini bertambah satu lagi. Suatu ketika kaki pun mendarat di Desa Panjunan-Crebon. Banyak juga yang menyebut tempat ini sebagai Kampung Arab atau Kampung Wali.
Masjid Abang (sebutan dari penduduk setempat) ini tidak begitu jauh dari jalan raya Karanggetas, masuk ke dalam gang, sekitaran 100 meter sudah tiba di lokasi. Bonus jalan kaki masuk ke dalam gang ini adalah kita akan menjumpai beberapa rumah tua yang sampai saat ini masih digunakan, terlihat terpelihara.
Masjid merah Panjunan bangunannya ternyata kecil saja. Terbuat dari kayu dan terlihat ringkih. Tapi siapa sangka bahwa bangunan yang didominasi warna bata merah ini sudah memulai debutnya sejak awal abad ke-15. Sejarah dan legenda bercampur jadi satu di Masjid Cirebon ini. Dan ini lah satu peninggalan sebagai bukti bahwa Kerajaan Islam pernah berjaya di Kota Udang.
Baca juga di sini:
Sejarah Masjid Merah Panjunan Cirebon
Kejayaan masa lalu Cirebon bisa dilihat dari pelabuhan internasional yang masuk ke Jalur Sutera. Di mulai dari Laut Tengah, jalur lalu lintas merayap ke Samudera Hindia. Dari Laut Cina Selatan mengisi jalur pelayaran Selat Malaka yang ramai. Jalur laut Nusantara pun semakin sibuk. Jaringan perdagangan semakin luas.
Kota-kota perdagangan baru bermunculan. Diantaranya adalah Kota Pasai di ujung Pulau Sumatera (Aceh sekarang). Pasai sebagai Kerajaan Islam berperan penting dalam menghubungkan Malaka, Jawa, dan Kejaan—kerajaan Islam lain di Nusantara.
Begitu pun di Pulau Jawa. Jalur Sutera telah membuat kota-kota perdagangan baru bermunculan. Termasuk kota pelabuhan Cirebon. Letaknya yang di tepi sungai sangat strategis karena bisa dilayari kapal-kapal besar sampai jauh ke pedalaman.
Komoditi ekspor Cirebon adalah beras dan bahan pangan lainnya. Sebagai kota perdagangan kota di Pantai Utara ini semakin makmur karena pemerintahannya yang stabil. Ini lah yang mendorong kelahirannya sebagai kota pelabuhan penting tempat berkembangnya perdagangan, agama, dan kebudayaan.
Baca juga di sini:
- Bertemu Nitisemito di Museum Kretek Kudus
- Buka Puasa Bersama Mercure Serpong Alam Sutera
- Romansa di Kota Bukittinggi
Legenda Masjid Merah Panjunan
Benda-benda sejarah yang tak mempunyai bukti tertulis biasanya akan diisi oleh cerita legenda. Seperti Masjid Abang ini konon dibangun dalam waktu singkat. Material yang digunakan diangkut oleh Pedati Gede, kereta besar pengangkut barang yang sampai saat ini bisa dilihat di Keraton Kasepuhan.
Iya halnya Masjid Merah Panjunan, sejarah dan legenda barbaur di sini. Berkaitan dengan migrasi keturunan Arab yang melakukan perdagangan. Dan yang pertama kali tiba di Cirebon berasal dari Bagdad. Mereka adalah Syarif Abdurrahman beserta 3 orang adiknya.
Bila cerita ini diperpanjang kita akan bersua saat Syarif Abdurrahman yang kemudian bergelar Pangeran Panjunan. Jadi murid Sunan Gunung Jati, divalidasi Pangeran Cakrabuana sebagai Nata Cirebon memanggul Keraton Pakungwati. Dari sana kita juga jadi tahu asal-usul nama Panjunan yang berarti tempat pembuatan gerabah dan sekarang jadi sentra produsen benda-benda dari tanah liat.
Sebagai salah satu cagar budaya di Cirebon yang dikenal juga sebagai Kota Wali, tempat ini sudah biasa disambangi para peziarah, penggemar sejarah dan penyuka bangunan tua. Karenanya masyarakat sekitar sudah terbiasa dengan kahadiran wisatawan. Di sana pun saya ditemani oleh salah seorang pengurus Masjid, secara sukarela berbagi tentang sejarah maupun legenda yang membungkus kehadiran Masjid Merah Panjunan ini.
Baca juga di sini:
Berawal dari Surau Al-Athya
Menurut Bapak pengurus, masjid ini awalnya adalah sebuah surau yang bernama Al-Athya. Pada masa Sunan Gunung Jati masjid yang kala itu masih berstatus surau digunakan sebagai tempat musyawarah para wali. Mushola lama yang berukuran 40 meter persegi.
Ketika dilebarkan menjadi 150 meter statusnya berubah menjadi masjid. Nama Panjunan diberikan oleh Panembahan Ratu, cicit Sunan Gunung Jati, yang Beliau juga membangun pagar yang kita lihat sekarang dan disebut Kutaosod. Terbuat dari bata merah dengan tebal 40 cm dan tinggi 1 setengah meter melingkar mengelilingi kawasan masjid.
Genteng atau atapnya menggunakan genteng tanah warna hitam. Tapi sekarang saya lihat sudah tidak seperti itu.
Para wali sebelum dakwah diabsahkan di sini oleh Sunan Gunung Jati. Renovasinya membuat masjid jadi punya dua ruang. Satu ruangan untuk kegiatan ibadah sehari-hari sementara satu ruang lainnya baru digunakan pada hari khusus seperti peringatan Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Selain bata merahnya keunikan lain dari masjid ini adalah pada gerbangnya, seperti gapura candi yang memiliki banyak ornamen di atasnya. Memang benar masjid yang dibangun pada tahun 1480 ini meleburkan 3 kebudayaan dalam arsitekturnya yaitu Islam, Hindu dan Tionghoa.
Saat ini Masjid Merah Panjunan hanya digunakan untuk salat lima waktu, taraweh dan pengajian.
Keramik Tempel di Dinding Masjid merah Panjunan
Bangunan masjid ini memang sederhana tapi bukan berarti tidak unik. Seperti semua bangunan bersejarah di Cirebon, dinding masjid merah Panjunan juga dihiasi ragam keramik. Ada keramik gaya Cina yang berciri warna coklat-putih dan keramik Belanda dengan ciri biru-putih.
Motif masjid merah cirebon ini pun beragam. Dari motif burung merak dampai bangunan suci. Keramik yang bergaya Cina adalah peninggalan istri Sunan Gunung Jati yang memang berasal dari Tiongkok.
Seni tempel keramik juga terlihat pada makam Sunan Gunung Jati, dan Hampir di seluruh bangunan yang dicatat sebagai cagar budaya. Yang menarik adalah Cirebon adalah kerajaan Islam di Jawa Barat. Namun keramik yang ditempel ada juga berisi pesan Alkitab dalam perjanjian lama maupun Perjanjian Baru.
Itu terlihat pada Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dan juga Masjid Merah Panjunan. Keramik bergambar berasal dari cerita Alkitab. Ditempelkan pada gapura paduraksa, menggambarkan Daud sedang memainkan kecapi di hadapan Raja Saul dan disaksikan oleh seseorang yang berdiri di sisi si raja.
Keberadaan beragam jenis keramik ini yang di antaranya datang dari dinasti Qing abad ke 17 dan Belanda Maastrich abad ke 19 karena jaringan perniagaan.