Surga Kecil di Pojok Indonesia – Suatu pagi perjalanan kami menuju desa terpencil yang terletak di lerng gunung terhenti di bibir lembah. Gara-gara semalaman diguyur hujan, permukaan jalan yang menghubungkan desa itu dengan dunia luar jadi luar biasa licin. Di tambah lagi taburan kerikil dan batu yang bertonjolan di sana-sini sempurna menggalaukan hati saya.
Kalau jaraknya sekilo atau dua kilo tak masalah. Saya pasti bisa menyeberang. Lah ini masih sekitar 10 Km lagi. Biasanya kalkulasi “sekitar” itu bisa meregang sampai 15 Km. Sementara satu-satunya transportasi cuma ojek motor. Nah membayangkan naik ojek di jalan seperti itu timbul pertanyaan bagaimana kalau nanti ban selip? Kemungkinan cuma dua: Meluncurkan kejurang yang berada di sisi jalan atau patah tulang di bagian tertentu . Sekalipun harus menguji ketahan dengkul akhirnya diputuskan bahwa lebih aman mencapai desa itu dengan berjalan kaki.
Meski tertatih dengan khidmat saya ikuti kontur jalan yang seperti pita membalut pinggang gunung. Mendaki – menurun, membelok, kemudian mendaki dan menurun lagi. Ketika sampai pada sebuah jembatan kelelahan jadi tak berarti. Menatap kebeningan air sungai yang terantuk pada bebatuan menimbulkan desiran bahagia dalam dada. Dan itu membuat saya egois. Selain saya semoga kapitalisme tidak pernah menemukan jalan ke surga kecil di pojok Indonesia ini.
Soalnya ingat pada Sungai Batang Agam di kampung sendiri. Industri dan ketidak pedulian lingkungan membuat Batang Agam tak lagi aman untuk mandi. Apa lagi sebagai sumber ekonomi, fungsinya sudah lama punah. Jadi sekalipun saya bagian dari kapitalisme tak berharap seorang mengotori kemurnian air yang mengalir di bawah kaki saya saat itu. Saya tak ingin kemusnahan terjadi pada pokok pohon aren yang tumbuh dikiri-kanan sungai. Berharap suara burung yang saya dengar tetap berkicau di telinga beberapa generasi masa depan kampung ini. Biarkan surga kecil di pojok Indonesia ini tetap lestari.
Tak lama kami berpapasan dengan seorang bapak yang menyandang dua tabung lodong di bahu. Tentu saja tak menolak ditawari soft drink alami : nira segar. Karena tak punya gelas, pemandu berinsiatif membacok dua lembar daun keladi dari tepi jalan. Dengan mengerucutkan daun talas pun berubah jadi gelas.
Saya sudah beberapa kali mencoba nira segar. Yang baru turun dari pohon itu memang lebih nikmat ketimbang nira yang sudah didiam kan selama beberapa jam. Atau karena saya sedang kelelahan dan haus? Tak tahu lah. Yang jelas sebelum lenyap seluruhnya di perut, terlihat sisa cairan bening dari nira berguling-guling di permukaan daun talas. Dari sinilah peribahasa “Seperti Air di Daun Keladi” itu berasal.
Ternyata desa itu tak sesunyi perkiraan saya semula. Terlihat saat berpapasan lagi dengan seorang Bapak yang memanggul bulir padi di bahu. Pagi buta dia sudah turun ke sawah. Usai membersihkan sawah pulangnya membawa bulir padi yang yang akan disimpan di lumbung.
Dua jam kemudian kami sampai di desa yang dituju. Dengan napas tinggal satu-satu saya tak mau membayangkan perjalanan pulang. Lebih suka merebahkan badan pada dipan bambu dan menikmati kekinian surga kecil di pojok Indonesia. Merasakan usapan lembut udara udara pegunungan dan belajar menajamkan telinga pada bunyi-bunyian alam sekitar.
@eviindrawanto untuk tulisan daur ulang 🙂
53 comments
Seger dan damai banget liat hijaunya daun2 + sungai nya jernih abis 🙂
Seger dan damai banget liat hijaunya daun2 + sungai nya jernih abis 🙂
Mba evi, apa kbr? Maaap uni baru mampir lagi ^^
Tampak masih asri sekali ya mba…
Biasanya klo perut laper, makan ato minum, jadi enak semua rasanya hehe
sungainya masih jernih ya Mbak. Jalanan itu kok mengingatkan saya pada daerah di Sukabumi selatan ya Mbak Evi. Serupa begitu. Sudah digeladag pakai kerikil, tapi belum di aspal. Sehingga kalau hujan-hujan menjadi teramat licin.
Alam teryata menyediakan gelas juga ya he he he..
Lingkungan yang bener-bener alami seperti itu, duhai… seger banget nggih, Bu 🙂
Iya Pak Azzet, tinggal di tempat ini nyaman ya
Wahhhh melihat aliran sungainya yang jernih..kalau saya pasti langsung istirahat mandi mbak…hihih bapak yang menggendong nira itu kalau di foto gaya belakang pasti keren mbak..nunggu liputan berikutnya saat menikmati alam memanjakan jiwa 🙂
Hahaha iya Bli. Nanti kalo ketemu lagi tak foto dari belakang deh
aiih… melihat sungai nan jernih itu, jadi pengen nyemplung.. hehe… mbak Evi..apakah ikut BN di Jogja?
Tadinya mau Mbak Mechta. Tapi belakangan gak jd karena ada acara lain 🙂
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Evi…
Walau susah perjalannnya, tetapi disaji dengan keindahan alam dan nikmat air nira segar yang sukar diperolehi di saat lain kehidupan. Demikianlah Allah SWT membawa kehidupan kita untuk memerhati kewujudan kebesaran-NYA dalam kaca mata kita.
Selamat berlibur mbak Evi dengan tenang dan damai.
Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 😀
Waalaikum salam Mbak Fatimah 🙂
Iya hati kita sangat mudah menemukan ujud kebesaran-Nya di tempat seperti ini. Terima kasih Mbak. Selamat libur juga dari sini dan salam manis selalu 🙂
jalannya sempit ya bebatuan cuman ojek pula, menyeramkan memang kalau keselip di jalan. 15 km jauh amat tuh. Pemandangannya tapi indah ya, sungai nya itu bersih amat. salam
Membayangkan kalau keselip itu lah mengapa jalan kaki harus ditempuh sejauh itu, Mas Mamix 🙂
perjalanan 10 km di jalan yang meliuk-liuk, sangat tak terbayangkan betapa melelahkan, naik motor pun bagi saya terasa ngeri belum lagi pasti lutut akan ngilu atau bahkan sampai kesemutan
Seperti itu yang saya rasakan Mas Narno. Mungkin faktor U kali ya hehehe…
wah, habis jalan2, bisa istirahat di tepi sungai yg jernih dan segar airnya, mbak
Betul Mas Yudhi. Menghirup kesejukan udara, sambil menikmati pemandangan asri 🙂
Wuiihhh.. 15 kilo jalan kaki. Lumayan banget itu, Bu. Jadi ikut ngos-ngosan rasanya 😀
Etapi sebanding dengan surga kecil nan cantik itu ya, Bu 🙂
Tak sekedar ngos2an, Mbak Akin. Bisa kehabisan nafas 🙂
refleksi dengan alam. Sungguh sangat menentramkan hati ya. 🙂
Betul Mas Hanif. Karena pada dasarnya kita bagian dari alam kali, ya 🙂
Asyik sekali bisa jalan-jalan di alam seperti itu ya Mbak, bisa lepas dari stress mikirin kerjaan dengan bonus badan jadi sehat juga 🙂
Murah meriah pula, Mas Krish 🙂
2 Jam dengan medan seperti itu berarti mungkin nggak nyampe 10 KM itu bu, *sok tahu 😛 *
Kapitalisme belum, tapi kaos partainya udah masuk desa itu ternyata ya? Hehehee…
Nah iya begitu. Partai politik sdh nyampe duluan hehehe…
Sepakat, jika kapitalisme tidak menemukan jalan ke kampung itu. Sepertinya masih alami banget tuch? Bahaya kalau sudah tersentuh kapitalisme serakah itu…salam mbak Evi?
Dan semoga juga kapitalisme serakah tidak tumbuh dari dalam ya, Mas..
Iri lihat uni bisa minum air nira dr tangan pertama
Glk………glk…. #telan ludah#
Pernah saya berjalan 12 KM, ketika berniat merenggut keperawanan Curug Si Pawon, Mba. Tapi apalah daya, hampir sampai tujuan, tidak ada jalan setapak pun, apalagi Nira. Hiks.
Berhenti di ujung perjalanan dong, Mbak Idah. Sayang banget ya sudah capek-capek tapi terhenti karena gak ada jalan 🙂
wah nanti bisanya blusukan kayak bapak gubernur jakarta jokowi hehehe
Blusukan beda kelas ya hehehe..
Waduh, 2 jam perjalanan? Lumayan juga ya. Langsung lemak2 terbakar habis.
Saat jalannya lemak terbakar. Tapi sampai di tempat tujuan lemak tersebut kembali, Mbak Zizy..Makan tambah lahap soalnya 🙂
Melihat pemandangan alami dengan kejernihan air sungai itu pasti menghilangkan penat yang mendera. Semoga kapitalisme serakah tidak menemukan desa itu.
Amin. Semoga kelestarian lingkungan seperti ini tetap terjaga. Kapitalisme serakah semoga tak menemukan jalan ke sini 🙂
Jalanannya menyusuri sungai dan pepohonan, sekali2 nggak apa bu untuk menyehatkan badan 😀
Semangat terus dalam menjalankan aktivitas
Betul Mas. Selain menyehatkan badan, menyehatkan kantong pula. Karena jalan-jalannya murah-meriah..
pemandunya uni akale pinter, minum nira pake daun talas.. xixi, om indrawanto gitu loh.. 😛
semua ceritamu ini, uni.. semata bertujuan membuatku iri sampai langit ke-tujuh..!
Hahahaha..Ngirinya kurang tinggi, May, cuma di langit ke-7. Tapi yuk ah kita jalan-jalan…
15 kilo jalan lempeng saja sudah bikin otot kaki gempor semua, apalagi di topografi pegunungan tentu menguras energi, namun jika kita bisa menikmati semua akan terbayar dengan kelegaan rasa di speanjang perjalanannya
Memang Pakies, kelelahan itu terbayar dengan lingkungan alami. Yang tak cuma cantik dipandang tapi juga memberi kita perasaan dekat kepada alam
Kalau jalan petualangan melalui medan seperti ini, sebuah bale merupakan kasur empuk yang dapat membantu kita untuk melempengkan pinggang.
Salam
Setelah badan di dera derita, ketemu bale itu seperti musafir menemukan mata air Pak Indra 🙂
Kalo udah haus,, memang enak banget minumnya kali ya Bun…
Pasti, Mas 🙂
wah jauh juga jalannya ya bu… hahaha. kebayang dah mikirin pulangnya gimana… 😛
Kalau mikirin pulang saya pasti gak semangat menikmati suasana desanya, Ko. Makanya pulang jadi kumahak engkek hehehe..
bonus menikmati keindahan dari kesukaan blusukan nih Uni Evi. Salam
Kalau gak demen blusukan emang gak bakal nemu yang beginian, mbak Prih 🙂
dipan bambu di kota-kota besar jarang bisa ditemui ya bun
Iya Mbak Lid. Padahal buat tempat istirahat nyaman banget ya 🙂