Makam Sunan Gunung Jati yang juga dikenal sebagai Syarif Hidayatullah terletak di Cirebon Jawa Barat. Salah seorang anggota Walisongo berdarah bangsawan. Beribu pada Nyai Rara Santang, puteri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Ayahnya Syekh Maulana Akbar berasal dari Negeri Gujarat – India Selatan dan seorang ulama besar. Dan cucu raja Pajajaran ini merupakan satu-satunya anggota Wali Songo penyebar agama Islam di Tatar Pasundan atau Jawa Barat.
Yuk tonton videonya 🙂
Ketika almarhum Cumi Lebay berkomentar tentang Makam Sunan Muria di blog ini, kata-katanya sempat memecik rencana, suatu saat ingin mendatangi semua makam Walingsongo. Terbayang serunya blog traveling ini punya artikel lengkap tentang makam para wali. Tidak bakal menyimpang dari pakem karena kenyataan pos paling banyak dibaca disini mengenai makam keramat. Sepertinya Google dan teman-teman sedang membisikan sesuatu: “Perbanyak lah tulisan tentang makam-makam seperti itu. Banyak yang membutuhkan informasinya”.
Niat ziarah ke semua makam walisongo itu sebetulnya asal “nyaplak”. Lah siapa saya ? Bukan perempuan “ riljius”. Pun pergi ziah berkenaan dengan “meminta sesuatu” atau “menyampaikan sesuatu” di tempat-tempat ke ramat “merasa” bukan gaya saya pula. Nah kalau sekedar agar bisa menulis di blog, berwisata, ambil foto, niatnya duniawi banget kan ya?
Kalau berziarah mendoakan arwah, saya percaya, bisa dilakukan dari mana saja. Jadi tak perlu mendatangi kuburan orang yang akan didoakan satu persatu.
Baca juga tentang makam di Sumatera Barat Makam Keramat di Pulau Angso Duo
Senang Main ke Makam Para Wali
Tapi tetap saja saya bernazar suatu saat dapat menggenapi niat. Terlepas dari niat serius atau bukan. Satu daya tarik mengapa saya senang mengikuti jejak para peziarah berkunjung ke makam para wali, tempat ziarah itu memberi keteduhan pada jiwa. Antara bahagia, haru, dan perasaan dekat pada alam. Semua teraduk jadi satu. Ada yang menyebut saya sudah kena “tulah” makam keramat.
Tak masalah sih. Itu adalah tulah yang baik.
Sekalipun makam kuno itu rata-rata berudara lembab. Mengesankan dingin dan membangun rasa takut. Namun saat berada di sana saya merasa tentram.
Mungkin doa-doa yang dilantunkan pengunjung telah membuat kawasan itu dipenuhi energi Ilahiah. Energi pembasuh batin. Energi yang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang gelisah. Lagi pula tak ada larangan berwisata ke makam wali, bukan? Sepanjang kamu mematuhi semua etikanya, sepanjang itu pula tempat itu akan menyambutmu suka cita.
Kerelaan mengakui kekurangan, mengikuti rasa ingin tahu yang aneh, mungkin satu sebab saya dimudahkan mendekati tempat-tempat seperti ini. (Umrah-nya kapan? Hehehe).
Rasa tersambung pada “energi tertentu” kerap membuat saya ingin menangis di tempat itu. Karena malu dianggap aneh saja seringnya air mata itu ditelan diam-diam. seperti saat berkunjung ke makam Sunan Kudus dan Sunan Muria di Gunung Muria satu dan dua tahun lalu. Saya mengusap air mata yang meleleh tanpa diminta. Sudah diam-diam, tapi ada saja yang bertanya Kenapa? Lah saya sendiri tak mengerti itu air mata untuk apa? Saya tidak merasa sedang bahagia, apa lagi sedih. Saya hanya ingin menangis.
Baca di sini tentang: Makam Sunan Muria di Gunung Muria Masjid Menara Kudus dan Makam Sunan Kudus Jejak Sunan Kalijaga Goa Kreo Semarang
Makam Sunan Gunung Jati Tempat Ziarah di Cirebon
Lalu kesempatan mengunjungi tempat ziarah di Cirebon juga terpenuhi. Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat pun akhirnya di depan mata.
Sayangnya di sini merasakurang khusuk seperti yang sudah-sudah. Mungkin karena niat awal sudah sudah ‘gak beres’: Hunting photo. Coba itu pergi ke makam bersejarah cuma untuk menambah koleksi foto.
Ah tapi sebaiknya saya berprasangka baik saja terhadap diri sendiri. Saat itu mungkin suasana batin kurang mendukung.
Lokasi makam Sunan Gunung Jati Cirebon kebetulan hanya sekitar lima belas menit berkendara dari Hotel Batiqa Cirebon tempat kami menginap.
Turun dari kendaraan di tempat parkir sudah kelihatan cungkup pusat semesta komplek tersebut. Belakangan jadi tahu bahwa tepat di bawah cungkup itu adalah lokasi Makam Sunan Gunung Jati yang asli.
Sementara yang disebut-sebut sebagai Gunung Sembung sudah tak terlihat, tertutup oleh bangunan dan ratusan pusara. Saya menghela napas, terpikir bahwa tempat ini telah berhasil menaikan nama Cirebon ke jagad wisata rohani Jawa Barat. Sebaran citra telah mengundang ribuan peziarah dari seluruh Indonesia dan negara luar setiap tahunnya.
Panas sedang terik saat melangkah di pelataran komplek makam Syarif Hidayatullah yang lahir pada 1450 masehi. Seorang bapak menyambut sambil mengetuk-ngetuk keras kotak sedekah. Dengan menunjuk-nunjuk agar kami memasukan sumbangan ke dalam. Tak mengejutkan sebab sudah membaca tentang maraknya kotak sumbangan di makam Sunan Gunung Jati. Untung lah itu bukan kewajiban. Serelanya. Kami pun dipandu oleh bapak lainnya, memakai baju khas Jawa Barat, berjalan melewati makam-makam yang merupakan kerabat jauh dari sunan sampai akhirnya tiba di pelataran. Di sana sudah terlihat beberapa orang peziarah khusuk berdoa di depan Pintu Pasujudan berwarna coklat tua.
Letak Geografis Makam Sunan Gunung Jati
Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa barat kelilingi makam para kerabat. Semakin dekat lokasinya ke makam inti semakin dekat tali kekeluargaan mereka. Yang menyenangi seni keramik pasti betah berlama-lama di sini. Sebab tembok putih ditempeli keramik aneka corak. Selain berunsur Cina, banyak pula porselen delf-biru bergaya eropa. Memang salah satu keistimewaan Makam Sunan Gunung Jati Cirebon ditebari keramik atau porselen berbagai corak dan ukuran.
Saya bukan pengkoleksi namun menyukai melihat guci-guci kuno. Selain seni hiasnya, benda ini pada suatu masa pernah jadi simbol status sosial seseorang. Nah mata terpuaskan melihat banyak sekali benda seni itu terletak dekat dinding dan diantara pusara-pusara di Komplek Makam Sunan Gunung Jati Cirebon ini. Anggun dan misteri. Seolah menjelaskan kehidupan kebangsawanan yang dijalani Syarif Hidayatullah. Memang lah cucu Prabu Siliwangi ini lebih terkenal sebagai penyiar agama Islam ketimbang menjalankan perannya sebagai Raja PakungWati.
Kebhinekaan di Wali Cirebon
Akhir-akhir ini Indonesia kembali menggemuruhkan Pancasila sebagai landasan negara. Asas seyognya yang sudah dipahami oleh setiap warga negara. Asas yang harus dipegang teguh karena negara kita memang multi etnis dan kepercayaan. Kalau kemudian negara perlu lagi melakukan sosialisasi Pancasila, mungkin ada sesuatu yang membuat pemerintah merasa perlu mengingatkan kembali tentang landasan negara ini. Di komplek makam ini kita akan disapa oleh Bhineka Tunggal Ika.
Pernah membaca bahwa salah seorang istri Sunan berasal dari Cina. Tapi tak urung terkejut bahwa penghormatan beliau terhadap sang istri sedemikian tinggi. Untuk Sang Istri tersedia komplek makam sendiri yang disebut Putri China. Sesuai namanya komplek bergaya Tionghoa. Kalau boleh ditekankan, saya heran melihat meja sembahyang dan hio yang lazim digunakan masyarakat Tionghoa terletak bersebelahan dengan makam muslim. Bukan hanya sebagai pajangan. Melihat kepada sisa lilin dan hio yang masih segar, mestinya alat persembayangan ini biasa digunakan oleh pengunjung keturunan Tionghoa.
Terus saja pikiran iseng muncul: Andai saja yang suka mengkafir-kafirkan orang mampir ke sini dan melihat pembakaran hio dan tahlilan hanya beda ruang, akan kah mereka juga mengkafirkan makam ini? Bisa kah mereka membaca pesan toleransi antar umat bergama dengan telak dihormati di makam Sunan Gunung Jati Cirebon ini? Demi kemaslahatan Indonesia yang damai semoga semua orang menghormati pesan-pesan ini.
Hotel Dekat Makam Sunan Gunung Jati
M
53 comments
Duh…saya malah belum pernah berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati nih mbak.
Jadi sementara berkunjung kesana lewat tulisan dan foto dari mbak dulu saja.
Mungkin satu waktu ada waktu berkunjung kesana. Insya Allah.
Salam,
Kalau nanti ada pertunjukan jazz di Cirebon sekalian datang ke makam Sunan Gunung Jati, Pak Titik
Nah, itu mbak, semoga aja nanti ada festival jazz di Cirebon.
Ah, siapa tahu…
Saya masih belum jadi2 juga ke Cirebon, Un…:)
Padahal mau banget ke sana…
Insya Allah segera berangkat ke Cirebon ya Fis. Ini adalah kota heritik yang banyak memendam cerita untuk kita temukan 🙂
Insya llah Un… Aamiin
Cantik dan terawat ya mba, semoga bisa main ke sini..
Jadi terbayang cerita sejarah zaman dulu ketika Indonesia banyak yang menganut Hindu, kemudian adanya Wali Songo semakin memperluas penyebaran Islam disini. Menarik memang ya wisata religi 🙂
Regards,
Dee –
dinding putih itu ukiran ya mbak?
Bukan ukiran, Ko, tapi keramik yang bercorak 🙂
Itu yang pintu pasujudan fungsi uamanya untuk apa ya? btw, ornamen pintu pasujudan unik, sekilas mirip planet dan benda-benda langit
Pintu pasujudan adalah pintu pertama untuk memasuki lokasi makam yang sebenarnya. Fungsinya untuk apa saya pikir untuk menyaring pengunjung agar tidak bebas keluar masuk. Untuk menjaga kesakralan nya
Kupikir, makam Sunan Gunung Jati itu di Jawa Timur. Ternyata selama ini aku salah. Suka kebalik-balik juga sama Sunan Kalijaga :))
Dulu juga aku suka kebalik balik. Tapi setelah berkunjung tahu 🙂
Aku pernah ke sini sekali, malem-malem, dan masih ramai pengunjung
Banyak banget yang sampe tidur-tidur di kawasan ini mbak
Yang begitu niatnya sekalian cari wangsit kali ya
Kalau peraturan sekarang sepertinya hanya pada hari-hari khusus pengunjung diijinkan menginap di sana. Saya pikir mereka yang menginap itu juga memang punya niat khusus 🙂
aku jadi ingat jaman sekolah dulu, salah satu tujuan karya wisata adalah makam wali2, sayangnya belum pernah kesana. duh jadi pengen kesana nih. semoga liburan bulan depan.
Wah keren juga itu sekolahnya membawa siswa karya wisata ke makam-makam bersejarah 🙂
2 bulan tinggal di Cirebon tapi belum pernah ke Makam Sunan Gunung Djati ini. Ayo, mbak. Aku dukung tekadmu mengunjungi seluruh makam Wali Songo. Nanti bisa jadi seri perjalanan khas dari Jurnal Evi Indrawanto.
Kalo kak Olive tukang kuburan Eropa, mbak Evi jadi tukang kuburan pribumi hehehe
Hahaha terima kasih atas doanya mas Nugi. Semoga beneran saya dibukakan jalan untuk mendatangi semua makam Walisongo. Amin
Bapak saya rajin sekali ke walisongo. Pasti juga perna sampe ke tempat ini,, Saya belum nyampe. huhuhuh…
btw itu seru banget. benda2nya banyak yang vintage… hmmm
Iya benda-benda atau keramik keramik yang diletakkan di Kompleks makam semuanya cantik-cantik dan bernilai seni. Sebuah daya tarik untuk berlama-lama duduk di tempat ini sambil mengamati 🙂
Ke cirebon emang lebih banyaknya wisata relijius. Berkali2 ke cirebon, aku malah nggak pernah ke makam sunan gunung jati ini. Lebih seringnya wisata kuliner dan wisata kraton ya. Sama naik gunung ciremai. Huhu.
Emang sih wisata religi sifatnya sudah khusus banget. Kebanyakan orang datang ke makam Sunan Gunung Jati adalah untuk berziarah yang berwisata seperti saya memang sedikit 🙂
Masih teringat waktu kecil dulu, sering diceritakan mengenai kisah Wali Songo oleh mbah, dan sempat diajak juga ke makam Sunan Gunung Jati. Tapi udah lupa kayak apa, karena masih kecil banget, yang aku ingat cuma makan ini gak pernah sepi pengunjung. 😀
Kayaknya cerita tentang Walisongo sudah gak begitu familiar untuk anak-anak zaman sekarang. Semoga tulisan seperti ini bisa dibaca orang banyak, karena secara gak langsung kan juga ‘mengenalkan’ ke orang-orang yang mungkin belum tahu.
Iya betul makam-makam kuno seperti ini bila terus dilestarikan berguna juga bagi generasi muda berikutnya untuk lebih mengenal sejarah agama Islam di nusantara. Mereka akan menggali sejarah tersebut dan mereka kan dalam buku perjalanan bangsa
Eh, baru tau..istrinya Sunan keturunan Tionghoa., yang teriak “kafir kafir” pasti gak tau sejarah..
Mungkin juga yang teriak-teriak kafir tahu sejarah tapi mengambil faktor tersebut sebagai pertimbangan 🙂
Gak banyak yg tau, salah satu istri Sunan keturunan Tionghoa.. Eh, saya juga baru tau…hehehhe
Iya salah satu istri beliau dan mungkin juga adalah permaisuri berasal dari Cina. Makanya di makam ini ada petak khusus untuk menghormati sang permaisuri
Dulu sekali pernah kesini. Belum ngerti. Kayaknya mesti ke Cirebon lagi buat ikut ziarah sambil reunian sama Nasi Jamblang
Lah iya kalau hendak main ke makam Sunan Gunung Jati sekalian kuliner Cirebon, nasi jamblang dan teman-temannya 🙂
Wahh.. dulu sering diceritain bapak tentang walisongo sih.. tp so far baru pernah ke makam sunan muria di kudus..
Cerita walisongo itu buat sayaa menarik karena akulturasi budaya islam dan jawa yang kental yang mungkin sekarang dikenal sebagai islam nusantara.
Itu lah mengapa Islam bisa masuk ke Nusantara dengan damai, tanpa peperangan yang berarti sebab para penyebarnya memperhatikan budaya setempat dalam syiar, Mbak 🙂
Sunan gunung jati tuh satu2nya Walisongo yang dari Jawa Barat ya? Kalo ga salah beliau jg salah satu pendiri Kesultanan Banten bukan?
Sebetulnya Walisongo itu adalah semacam board of director yang anggotanya tidak hanya 9 orang Tetapi lebih. Cuma yang menonjol dalam sejarah hanya yang 9 orang yang kita kenal sebagai Walisongo. Saya tidak yakin bahwa Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya penyebar Islam pertama di Jawa Barat. Tapi sebagai anggota Walisongo memang beliau yang disebut 🙂
Mbak, terima kasih sudah mengingatkan saya, ternyata ini salah satu makam yang dulu harusnya saya ziarahi. Dulu saya pernah ikut ziarah makam Wali Songo. Karena ada kendala teknis, kami hanya sampai 8 makam. Sampai saat ini, saya belum berkesempatan ke Makam Sunan Gunung Jati. Semoga segera.
Wah sayang banget miss 1 makam ya Mas Edy. Insyaallah dikali berikutnya tersambangi jua makam Sunan Gunung Jati
Wah ziarah ke Makan Sunan Gunung Jati sangat menarik sekali ya, Tante. Banyak cerita yg didapatkan.
Betul Fajrin. Setidaknya untuk menulis lagi kita perlu membaca sejarahnya. Jadi wawasan sedikit bertambah 🙂
Jadi teringat pula sama sahabat lama, cumi lebay. Ada ras kerinduan celetuknya. Oh Sahabatku.
Saya pernah berkunjung ke Makam Sunan Gunung jati, disana ada nilai-nilai ajaran toleransi, itu bagi yang memahami ya ?
Saya juga senang atau punya cita-cita bisa berkunjung ke tempat WaliAllah, menelusuri jejak-jejak perjuangannya. Agar kita bisa memetik hikmah dari pengorbanan dalam menyebarkan agama islam.
Tapi ngomong-ngomong itu yang suka meminta-minta masih seramai yan dulu kah ? Terasa mengganggu saja, lebih baik pakai Tiket Masuk, biar pengunjung juga terasa nyaman dan aman. Tanpa ada rasa risih.
Saya setuju lebih baik di depan diterapkan pungutan karcis ketimbang banyak sekali kotak kotak amal yang bertebaran di semua sudut. Dengan tiket masuk yang dikelola oleh Yayasan semua pengurus akan kebagian tentunya
Wisata ziarah juga menjadi salah satu wisata yang banyak diminati masyarakat Indonesia ya mbak Evi. Jangankan makam walisongo, di Lampung juga ada beberapa makam yang banyak dikunjungi masyarakat luar Lampung.
Beberapa masuk list destinasi wisata kabupaten-kabupaten di Lampung.
Nanti kamu balik ke Lampung pengen juga dong Mas Yo ajakin ke makam-makam tersebut. Yang pernah saya samperin makam kuno Tionghoa di Gunung kunyit. Sayang waktu itu juru kuncinya tidak ada jadi cuma ngintip ngintip pakai drone
Kalo saya lebih suka dan pengen mengunjungi makam pejuang kemerdekaan. Pengen mengunjungi makam Tuanku Imam Bonjol.
Saya juga pengen mengunjungi makam para pahlawan. Pengen juga ke makam Tuanku Imam Bonjol. Dulu waktu ke Manado pernah lewat di depannya tapi tidak sempat mampir, Pak Alris
wah, mbak Ev, aku juga akhir2 ini punya pengalaman yg sama, suka wisata religi gini, ketularan suami. Tapi pas pertama2, dialog dulu sama suami ttg mindset bid’ah dll, sampe googling jg dari referensi2 akunya, haha. Yg udah, baru ke makam Luar Batang, Mbah Priok, sama kemaren di Jember. Kl wali cuma SUnan Ampel nih pernahnya. Jadi pengen nge list juga, TFS mbak^^
Tapi bener loh, dulu pas baca tulisan tante Ev yang makam Sunan Muria jadi pingin ziarah ke sana juga. Jadi, ditunggu ulasan wali lain yang ada di Jawa Timur seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan lainnya hehehe.
Mohon didoakan ya Halim semoga kesampaian. Amin
Tradisi lempar koin di pintu pasujudan masih ada kah ? Dulu saya juga lempar koin dari belakang sampai kena pengunjung yang lagi asek berdua dibarisan depan.
Kebetulan waktu ke sini Saya tidak melihat tradisi lempar koin tersebut, Mas
Saya belum pernah ke sana buk. Saya hanya baru ke Makam Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijogo saja. Itupun yang baru tertulis di blog baru Sunan Kalijogo.
Aku belum pernah ke makam Sunan Kalijaga. Mudah-mudahan suatu saat sampai ke sana. Menarik perhatian apalagi jika disertai dengan membaca sejarah perjuangan mereka 🙂