Masjid Kudus – Saya pernah menulis tentang simbolisasi akulturasi budaya antara Jawa, Islam dan Hindu pada Menara Masjid Kudus. Bentuk menara seperti Candi Hindu Jawa sementara fungsinya sebagai menara Masjid Al Aqsa atau Al Manar di sebelahnya. – Makam Sunan Kudus –
Sudah sering membaca cerita tentang Menara Kudus. Kini saya berhadapan dengannya.
Tinggi menara 18 meter. Bangunan dasar seluas 100 meter persegi, tersusun dari bata merah. Di pinggang terlilit 32 buah piring keramik bercorak putih dan biru. Hiasan ini mengingatkan saya pada dinding pagar Istana Kasepuhan Cirebon. Sebuah kesamaan yang bukan kebetulan. Sebab menara ini merupakan salah satu jejak peninggalan seorang Wali Songo, penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Jika wilayah Cirebon di komandai Sultan Gunung Jati, di Kudus dipimpin oleh Sunan Kudus. Di tambah Demak, kota-kota ini terkait erat secara historis.
Tiga hari lalu saya kembali ke Kudus. Tidak khusus jalan-jalan, mengantar si Sulung yang akan bertugas di RSUD dr. Loekmano Hadi. Tapi sebagai emak lebay yang suka berpiknik kurang sip kalau tidak disertai jalan-jalan, bukan? Jadi saya “memaksa” suami menyisihkan waktu 3 hari agar bisa mengeksplorasi Kota Kudus dan sekitarnya.
Kota Kudus Rumah Bagi Masjid Kudus
Kota Kudus ini kelihatannya kecil. Kalau dijelajahi dengan mobil dari Utara ke Selatan atau dari Timur ke Barat, tampaknya ya di situ-situ saja. Dengan kata lain dari permukaan tak ada apa-apanya, akan membuat kita cepat bosan. Berbeda jika memutuskan menyelam lebih dalam. Melihat dari sisi sejarah, misalnya, akan terlihat bahwa salah ia satu barometer perkembangan Islam di Pulau Jawa. Lalu tambahkan budaya, kuliner atau keseharian kehidupan masyarakatnya, tahu-tahu saya sudah bertemu perpustakaan besar dan hidup dengan pintu selalu terbuka.
Baca juga
- Masjid Jami Air Tiris Kampar Riau
- Masjid Merah Panjunan Cirebon
- Keindahan Masjid Agung Jawa Tengah
- Masjid Terapung Pantai Losari
- Keindahan Masjid Agung Jawa Tengah
Sebetulnya saya bukan tipe penyelam. Saya hanya ibu-ibu lebay yang kalau berjalan sekedar memuaskan rasa. Maka kalau berkunjung ke suatu kota yang pertama terpikir hanya lah yang paling banyak diceritakan orang. Seperti Masjid Kudus dengan Menara Hindu. Ikon kota yang dibangun Sunan Kudus tahun 1549. Dimulai meletakan Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertamanya.
Itu saja saja sudah membangkitkan kegembiraan.
Matahari sedang berkeriaan di siang bulan Juni. Cerah tanpa angin. Langit polos kebiruan membayang di belakang pucuk menara dengan tulisan Allah berbahasa Arab pada atapnya.
Deskripsi Masjid Al Agsa Kudus
Saya memasuki kawasan masjid dengan melewati gerbang dari sebelah kiri. Berhenti sejenak untuk menggagumi piring keramik putih bermotif biru yang menempel di atasnya. Gerbang ini membawa kita ke bagian belakang menara dan halaman samping Masjid Kudus atau Masjid Al Aqsa. Dari sini terlihat anak tangga yang terbuat dari kayu jati menuju teras di menara. Kemungkinan dibangun tahun 1895 Masehi. Di teras tergantung bedug raksasa, menjuntai dari langit-langit. Kayu yang menyangga langit-langit terlihat tua namun masih kokoh.
Baca juga
- Masjid Itje Tasikmalaya
- Bertamu di Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon
- Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
Saya duduk sejenak di serambi Al Aqsa. Mengamati segerombolan santri muda datang dari arah belakang dengan wajah basah. Tampaknya selesai berwudhu. Wajah-wajah yang polos dengan bersarung, berbaju koko dan berkopiah . Mereka juga sesekali mencuri pandang mengamati saya. Apa lagi ketika saya ngesot ke tanah, jongkok di halaman demi foto atau agar seluruh badan menara terlihat lensa. Saya membalas dengan senyum-senyum sambil mengangguk dan memberi salam. Mereka serentak merunduk dan senyum malu-malu.
Sementara beberapa pria dewasa mengawasi dari kejauhan. Mungkin para peziarah yang sedang menunggu sholat Luhur itu heran melihat ibu-ibu berkalakuan aneh ini.
Kompleks Makam Sunan Kudus
Agar tak terlalu lama mengganggu kepada para santri muda itu saya bertanya jalan menuju Makam Sunan Kudus. Mereka menunjuk ke pintu yang barusan dilewati. Ya beberapa meter saja dari sana memang terlihat semacam pos penjagaan. Dan saya pun melapor, minta izin masuk ke dalam Kompleks Makam Sunan Kudus kepada seorang bapak yang mengangguk ramah. Beliau juga mengingatkan agar saya melepas sepatu sebelum masuk ke dalam kompleks.
Baca juga
- Makam Sunan Muria di Gunung Muria
- Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat
- Makam Pangeran Diponegoro
Kompleks ini berisi makam murid-murid, para pangeran dan kerabat Sunan Kudus. Diam-diam saya melantunkan Al Fatihah bagi para arwah yang jasadnya terkubur di sana.
Sementara makam utama, Sunan Kudus, harus mengikuti jalan berbelok, melewati beberapa makam lagi dengan cungkup-cungkup khas Jawa. Suasana sangat hening namun jauh dari kesan mistis dan menyeramkan. Selain karena bersih, kayu penyangga atap makan, dan lantai keramik berwarna pastel serta terakota pada jalan setapak menimbulkan suasana hangat. Apa lagi banyak peziarah yang keluar masuk.
Rasanya malam pun tidak menakukatkan di sini.
Sejarah Sunan Kudus
Menurut literature sejarah Sunan Kudus, nama asli beliau adalah Syekh Ja’far Shodiq. Putra dari Sunan Ngudung atau Raden usman dengan Ibu Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil, putri Sunan Ampel.
Sekalipun kental berdarah santri, toleransinya terhadap kehidupan keagamaan sangat tinggi. Tercermin dari menara Masjid Kudus yang dibangunnya. Selain itu murid Sunan Kalijaga ini memanfaatkan berbagai kearifan lokal dalam menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Seperti tidak mengorbankan sapi yang dianggap sebagai hewan suci. Sapi tidak dikonsumsi. Itu lah mengapa daging kerbau dengan sate kerbaunya jadi salah satu kuliner terkenal Kudus hingga saat ini.
Makam Suna Kudus
Tak beberapa lama, di belakang Masjid Kudus, saya pun bertemu dengan makam terbesar yang diberi kelambu, Makam Sunan Kudus. Sempat tercenung di depan pintu dan ragu untuk masuk. Menatap beberapa orang peziarah yang sedang khusuk berdoa. Entah mengapa jauh dari dalam hati saya merasa tidak pantas berada di tempat itu.
Iya niat pertama saya datang ke sini bukan berziarah melainkan berwisata. Walau bisa dilembutkan jadi wisata rohani tetap saja tak berhasil menyingkirkan rasa tak enak itu. Apa lagi keheningannya begitu menusuk, klik dari shutter camera saya akan terdengar ke sekeliling.
Untungnya itu perasaan saya saja. Setelah memotret beberapa kali tak seorang pun berpaling dan menatap saya dengan aneh. Para peziarah tetap bertekun pada kitab-kitab doa dan Al Quran di depan mereka. Maka saya pun duduk dan mulai membaca surah pendek yang sudah hapal dalam hati. Hanya itu membaca ayat singkat dan berdoa semoga Sunan Kudus dan mereka yang terkubur di sini memperoleh tempat mulia di sisi Allah.
Keluar dari kompleks makam, di bawah naungan sebuah cungkup, kembali memasang sepatu sambil mendengarkan dengkur beberapa peziarah yang tertidur. Komplek Masjid Kudus ini memang teduh.
Saya menggali perasaan tidak enak tadi. Dari mana asalnya? Pada hembusan aroma melati yang entah dibawa udara dari mana, sayup-sayup di seperti terdengar suara ibu, “ Saat berada dikuburan tugas kita hanya mendoakan keselamatan orang-orang yang berada di dalam. Bukan untuk meminta sesuatu. Jika berdoa untuk meminta sesuatu lakukan lah hanya kepada Allah. Tempatnya boleh di Masjid, di rumah atau di mana saja, tapi bukan di kuburan….”
Entah dari mana ibu saya punya pemikiran seperti itu. Yang jelas saya memang tidak ingat pernah melihat kerabat di Minangkabau sana melakukan ziarah kubur. Ziarah bagi mereka hanya kala naik Haji di Mekah.\.Atau saya saja yang tidak tahu? Ah nanti akan bertanya lebih banyak …
63 comments
Ternyata blum banyak yang aku explore masjid ini, tidak tahu kalau di belakang dari masjid itu ada komplek makam sunan kudus. Mau masuk ragu-ragu karena keterbtasan waktu.
Yah ternyata pas aku datang ke masjid Kudus explorenya kurang banyak, mungkin karena keterbatasan waktu. Tidak tahu kalau ada tempat komplek makam Sunan kudus.
Iya makan beliau terletak persis dibelakang masjid tersebut 🙂
Indah dan sangat agamis dan toleran
Wah indah juga ya mbak , seneng saya bacanya tapi sudah sering ke situ , tiap kamis sore. salam dari wong kudus
Tentu sangat menyenangkan kalau sudah bebas dari pekerjaan duduk-duduk di serambi nya ya Mbak Alina 🙂
Ah senang membaca postingan ini. Menyambung cerita dari komen saya yang lain, jadi kakek saya aslinya dari kota ini. Dan rumah keluarga besar kami, terletak tepat di samping kanan kompleks Masjid Al Aqsa -jika menghadap arah qiblat-. Bahkan rumah keluarga kami, berbagi tembok dengan tembok bata yang melingkari kompleks ini.
Sejak kecil sampai dengan SMP, saya tinggal di area sekitarnya. Bahkan terakhir saya tinggal di sebelah kiri kompleks makam Sunan Kudus. Yang saya ingat, dulu area pekuburannya belum tertutup oleh con-block (bener gak ya nulisnya kaya gini), melainkan masih tanah yang dipenuhi oleh rerumputan, dan di beberapa tempat terdapat pohon jambu air yang buahnya kecil dan masam segar. Lalu pendopo sebelum pintu masuknya disebuy tajug. Biasanya setiap minggu malam, kami mengadakan acara berjanjen, semacam alunan shalawat untuk Rasulullah.
ah kenapa saya malah jadi cerita ya? hehehehe …
nice article Ni 🙂
Wah saya bisa membayangkan lokasi rumah keluarga besarnya, Bart. Di jalan itu berderet beberapa rumah dengan tembok dan pintu kuno. Sepertinya sekitar lokasi Masjid al Aqsa termasuk daerah rintisan tempat tinggal atau kota Kudus ya…Saya lihat banyak sekali gedung2 tua dengan atap limasan berukiran yang sangat Jawa banget. Saya suka berlama-lama di sini 🙂
Saya rasa begitu ni. Menurut info Sunan Kudus sangat jatuh cinta pada Darussalaam Al Quds alias Yerusalem, sehingga beliau juga ingin membuat kota bertembok yang mirip dengan kota itu. Dari situ juga lahir nama Kudus. Sayangnya sekarang rumah keluarga besar saya sudah diubah jadi rumah modern. Padahal dahulunya adalah rumah joglo ukiran. Kadang sedih juga sih kalau ingat itu.
Yang beginian emang dilema, Bart. Kita penyuka sejarah menganggap mempertahankan gedung2 kuno itu baik demi terpeliharanya originalitas suatu tempat. Tapi bagi yang tinggal di sana persoalan tentu tidak mudah. Disamping resiko runtuh dan sebagainya merawat gedung kuno untuk tempat tinggal duh pasti berat biayanya..Disini berbenturan idealisme dan kenyataan 🙂
Betul, dan waktu itu kalau gak salah sih karena faktor ekonomi. Ada yg menawar ukirannya dengan harga yang menggiurkan. Karena ukirannya full mulai dari bawah hingga ke atap-atapnya.
Belum kesampaian mau ke Kudus..lihat liputan di blog ini Kudus harus jadi next destination 🙂
Salam kenal ya..
Salam kenal juga Mbak Anita. Terima kasih sudah mampir 🙂
asli kagum ni liat foto-fotonya, keliatan adem dan terawat tempatnya ya.
btw setuju banget dengan yang dikatakan ibu uni…
salam
/kayka
Iya tempatnya terawat Kayka. Ditambah lagi tak seperti tempat ziarah lain, yang banyak peminta-mintanya. Kalau disini bersih 🙂
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Evi… saya pernah melihat satu dokumentari yang dibuat oleh sebuah produksi filem dari Malaysia tentang Makam Sunan Kudus ini. Banyak sekali makan yang ada di sana ya. Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 🙂
Waalaikumsalam Mbak Fatimah. ..
Memang banyak banget Mbak..Selain keluarga dekat, ada pula prajurit dan pengikut Beliau 🙂
bener banget, mbak. DI banyak kota kalo nggak “menyelam lebih dalam” ya cuma dapat permukaan yang biasa aja. Jadi tahu banyak kalau mau eksplore lebih jauh. Tulisan Mbak Vie, bagus… dan foto2nya tentu saja #teteup
Menyelam dan mendengar dari dekat ya Mbak Don, hanya dengan cara itu kita baru bisa menjaring banyak cerita. Makasih ya Mbak Don 🙂
masjidnya indah banget mas 🙂 kapan yah aku bisa jalan-jalan ke kudus hehehe
Jika diniatkan Insya Allah sampai juga di Kudus Mbak Ipah 🙂
Dulu saat mahasiswa pernah masjid dan makam Sunan Kudus. Kepingin ke sana lagi, tapi belum keturutan.
Insya Allah keturutan lagi agar sampai di sana, Pak Azzet. Amin 🙂
Mengulas cerita dan kisah dibalik megahnya Masjdi Menara Kudus dan Makan SUnana Kudus Demak memang sangat mengasyikkan. Apalag banyak hal yang bisa dipelajarai dan dikupas bukan hanya untuk sebuah perdebadatan akan sebuah prinsip perbedaan, namun menjadi sebuah khasanah pesan yang tersirat dari pesan sejarah dan tradisi.
Karena di dalamnya bila dikupas lebih jauh kita akan menemukan keunikan antara masa transisi di titik-titik tertentu yang memberitahkan kepada kita bahwa dengan tradisi dan kearifan lokal yang tersimpan sejak dulu terdapat hikmah untuk membangun sebuah negeri yang pernah menjadi salah satu motor atau pun pusat Islam yang ada di tanah Jawa hingga menjadi sebuah ekonomi besar.
Salam wisata,
Sunan Kudus menyebarkan kepercayaan baru menggunakan akal emosinya yang cerdas, ya Pak Indra. Tidak asal main tubruk dengan prinsip pokoke saya yang benar. Cara kepemimpinan yang bisa dicontoh oleh siapapun 🙂
Selamat bertugas ya Mas Sulung………
Keagungan masjid menara Kudus terekam di foto2 Uni Evi. Kudus kota yang sungguh hidup Uni Evi, beberapa pabrik termasuk uang dan elektronika besar ada di sini. Pesatnya perputaran ekonomi sejalan dengan kehidupan agamawi dan budaya lokal. Salam wisata
Terima kasih Mbak Prih…:)
Ya Kudus tampil ke permukaan dengan berbagai nama industri pendukungnya Mbak , Jenang dan Kretek 🙂
masjidnya bagus banget embak 🙂 jadi inget pas ziarah wali songo… hehe
Bagus dan penuh cerita sejarah 🙂
Sebagai anaknya orang Kudus, iyaaa.. ibuku orang Kudus,
sudah pasti aku pernah berkunjung beberapa kali ke masjid ini. Namun baru kali ini aku melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Terlepas dari keyakinan kita,
wisata rohani ini membawa berkah untuk penduduk sekitar ya, mbak Evi
Kelihatanya begitu Mbak Amel. Di sekeliling selain membuka penginapan untuk peziarah banyak toko oleh-oleh. Beratus tahun setelah wafatnya Sunan Kudus tetap membawa kebaikan pada semua orang 🙂
Saya liat foto makam’a aja udah merinding, gmna kalo datang langsung kesana yah
Kayaknya bakal tambah merinding Chisana 🙂
Nganterin orang sekalian jalan-jalan berziarah tentu menyenangkan sekali, bisa mengingatkan kembali budaya zaman dulu… Makam nya terawat ya, Saya belum sempat ziarah kubuk ke kudus, Hanya ziarah ke makam yang terdekat aja…
Saya gak ngantar orang, Mas Ahmad. Datang sendiri 🙂
Jadi pengen ke Kudus mba, saya belum pernah kesana dan ingin lihat mesjid kudus 🙂
Kalau sudah sampai di Kudus pakai peta Google saja Mbak Nur. Gampang nyarinya 🙂
pernah mampir tapi cuma sekali waktu masih kecil.. 😀
Nanti kalau datang ke Kudus lagi, mampir lagi Mas 🙂
Berarti Sunan Kudus cucu Sunan Ampel ya Uni.
Kalau kita di kampung emang hampir ngga ada ziarah kubur seperti di Jawa ya Un…
Kalau membaca dari catatan sejarah, Sunan Kudus memang cucu dari Sunan Ampel Firsty 🙂
Fotonya selalu bagus2, belum pernah ke kudus kalo dengar nama ini selalu yg terbayang menara masjid bersejarah ini, kalo makanannya dodol kudus & soto kambing ya? Bukan sapi 🙂
Ah terima kasih Mbak Ru…Kemarin bukan soto kambing sih Mbak tapi soto kerbau 🙂
Asik kali ya, menelusuri jejak 9 wali 🙂
Iya pengen banget begitu Mbak Lusi, menyusuri jejak 9 wali. Entah kapan bisa tercapai 🙂
Sekali mendayung ya, Mbak. Jalan2 juga. 😀
Lha itu malah tertidur. Capek perjalanan kalok ya, Mbak. Usai ziarah pada bobo. 🙂
Kayaknya mereka di sana sejak subuh deh Mbak Idah. Karena gak ada kegiatan lain sambil nunggu shalat luhur ya ngegoleran di pendopo sampai tertidur 🙂
Seru Mbak Evi jalan-jalannya. Trus saya baca komen pertamanya, padahal artikel njenengan juga gak ada yang gimana-gimana. Hihihi. Tapi memang makasih aja nasihatnya ya. Makasih ya Mbak Evi.
Begitu lah Mas Dani. Punya blog ternyata bikin jalan-jalan tambah seru. Karena kita tak hanya mendatangi suatu tempat saja namun juga harus memperhatikan lebih detail buat modal nulis nanti. Terima kasih juga Mas Dani 🙂
Menara masjid itu sudah melambangkan kearifan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama.
Kalo di Minangkabau tradisi ziarah ini tidak sekental di pulau Jawa uni. Kalaupun ada ziarah setau saya cuma ke makam Syekh Burhanudin di Ulakan Pariaman, biasanya cuma sekali setahun, kalau gak salah tanggal 10 Muharram (mengenang peristiwa padang karbala).
Iya saya ingat sekarang dan pernah mendengar kegiatan ziarah ke makam Syakh Burhanudin. Terima kasih sudah mengingatkan Pak Alris 🙂
Fotonya bagus mbak Evi. Belum pernah ke Kudus saya sampai sekarang.
Terima kasih Mas Ryan. Jelajah wilayah pantai utara dan sekitarnya memang sangat menyenangkan. Area ini penuh unsur budaya yang bisa ditelisik unruk mengenal siapa diri kita 🙂
Foto2nya soo stunning mba 🙂
Soal ziarah itu yaa, emg msh bnyak yg salah kaprah. Di Banten Lama pun bgitu, bnyak aja yg ziarah tgh mlm, semedi pula
Terima kasih Mbak Noe…;)
Iya di beberapa tempat makam dijadikan tempat mistis yang terkadang menyalahi prinsip kepercayaan terhadap agama ya…
Iya, bentuk menaranya memang saat ini sudah agak berubah, tapi masih agak mirip dengan yang digunakan di Bali sebagai Bale Kulkul. Dan menurut saya memang demikian, suatu kepercayaan akan lebih mudah diterima masyarakat kalau ada kemiripan dengan kepercayaan asal masyarakat itu: sebagai contoh Islam dengan budaya Jawa, atau Hindu dengan kepercayaan megalitik masa itu.
Untuk wisatawan non-Muslim apa diperkenankan memasuki lingkungan makam? Sebab di Masjid Agung Demak ada papan pengumuman yang bilang kalau wisatawan non-Muslim tidak diperkenankan untuk masuk :hehe.
Memang penetrasi agama baru di Indonesia memang melewati akulturasi budaya, Gara. Untunglah demikian. Mengerikan jika gara-gara agama kita harus berperang..
Di makam Sunan Kudus saya tidak melihat ada tulisan yang melarang non-muslim untuk masuk, Gara. Jadi saya tidak tahu apakah non-muslim diperkenankan atau tidak datang ke tempat ini 🙂
aku belum pernah jalan-jalan ke kudus mbak. masjidnya bagus juga ya
Majidnya bagus. Dan menaranya itu selain artistik sepertinya kita langsung terhubung dengan masa lalu deh Mbak Lid 🙂
wah asyiknya jalan2 di kudus 3 hari. sempet wisata kuliner juga ga mbak?
aku malah belum pernah masuk masjid ini lho, cuma lewat2 tok la abisnya klo pas lewat selalu rame para peziarah jadi ga leluasa menikmati keindahan masjidnya. tapi kayanya itu pas sepi ya mbak
Wah sayang atuh cuma lewat doang, Mbak Muna. Mungkin karena situasi ramadan ya, dan masih pagi pulak, jadi tak begitu banyak peziarah saat saya ke sana. Kudus di bulan ramadan sepi kuliner Mbak. Namun di malam hari, duh, meriah 🙂
Assalamu a’laykum wa rohmatullahi wa barokatuh. Terkait artikel masjid sunan kudus dan peninggalan budaya campuran, saya hanya megingatkan bahwa Allah melarang melakukan pencampuran yang HAQ dengan yang BATHIL .WA LAA TALBISUL HAQQO BIL BATHILI WA LAA TAKTUMUL HAQQO WA ANTUM TA’LAMUN. “Jangan kamu campur adukan yang HAQ dengan yang BATHIL dan jangan kamu sembunyikan yang HAQ padahal kamu mengetahui”.QS.2:42. Semoga menjadi manfaat dan kita dijauhkan dari pegaruh syaithon yang bisa masuk lwat aliran darah kita dan bersemayam didalam hati kita. Syaithon yang telah bersemayam dalam hati kita senantiasa membisikan kita sesuatu yang buruk tapi dianggap baik. Namun kita tidak menyadarinya. Wallahu taa’l a’lam wa barokallahu fikum.
Waalaikumsalam Pak M Shofwan.
Terima kasih atas nasihatnya. Insya Allah kita terhindar dari segala bisikan setan yang tak bermanfaat 🙂