Kue Lompong Sagu Padang – Kuliner tradisional khas Minangkabau ini terbuat dari sagu. Lebih spesifiknya terbuat dari tepung aren. Di ulen bersama santan, pisang kepok, gula aren dan kelapa muda. Kemudian dibungkus daun pisang, dijepit kedua ujung dengan lidi lalu dipanggang di atas bara. Cara mematangkannya dibakar di atas aran, mirip membakar otak-otak.
Manusia menyimpan kenangan lewat berbagai media fisik: Potongan gambar, aroma dan suara. Sehubungan kuliner tradisional Minang, Lompong Sagu Padang ini saya simpan dalam lagu Ely Kasim berjudul serupa. Suara biduanita asal Sumatera Barat legendaris sering saya dengarkan lewat radio. Suaranya renyah dan mendayu-dayu. Saya yang masih kecil waktu itu mengikuti sambil membayangkan sedang menjual kue. Begini liriknya :
Lompong sagu, lompong sagu bagulo lawang – 2x
Di tangah-tangah, di tangah-tangah karambia mudo – 2x
Sadang katuju, sadang katuju diambiak urang – 2x
Awak juo, awak juo malapeh hao – 2x
Artinya :
Lompong sagu, lompong sagu bergula lawang
Di tengah-tengah, di tengah-tengah kelapa muda
Sedang suka, sedang suka diambil orang
Saya juga, saya juga yang kehilangan
Lagu ini bercerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Syair ditulis berupa puisi lirik dengan sampiran Lompong Sagu. Orang jaman dulu kan memang begitu, tidak mengungkapkan perasaan secara terbuka. Cinta atau benci mengalir ke dalam pantun , puisi, bahkan musik. Namun deskripsi kue Lompong Sagu dalam lagu Ely Kasim itu valid. Pisang dan kelapa muda sudah umum. Sementara gula lawang mengacu pada nama sentra produsen gula aren (merah) di Sumatera Barat.
Hampir Melupakan Kue Lompong Sagu Padang
Sebetulnya saya hampir melupakan kue Lompong Sagu Padang ini. Baik sebagai lagu maupun makanan. Alasannya, Ibu dan nenek tak pernah membuat sendiri. Jadi tak punya kenangan khusus dengannya. Ditambah lagi sudah tak pernah melihat dijual di pasar kalau pulang kampung.
-
Baca juga Manfaat Wedang Ronde
Suatu hari kami melintas di Pecinan – Padang menuju Pondok. Tak jauh dari Vihara Budha Warman saya lihat seorang bapak sedang mengipas-ngipas sesuatu di tepi jalan. Asap tipis keluar dari tungkunya. Saya pikir dia jualan sate. Tapi kok dibungkus daun pisang ya? Langsung deh insting blogger saya bangkit. Saat itu juga memutuskan bahwa yang nangkring di tungku itu kalau bukan palai ikan (pepes) pasti kue Lompong Sagu. Sungguh tak berpikir kala itu jika Padang pun punya otak-otak.
” Stop..stop…!” Pak sopir langsung menepi mendengar instruksi saya.
Aroma enak dari daun terbakar langsung tercium begitu kaki menjejak tanah. Saya kegirangan. Rupanya itu bukan palai ikan tapi Lompong Sagu Padang. Waduh berarti sore itu saya diberi Allah kesempatan mencicipi rasa kue masa lalu.
Dari ngobrol dengan si Bapak penjual jadi tahu sedikit permasalahan kue tradisional ini. Iya sekalipun Lompong Sagu mulai dilupakan tapi tetap punya setia. Selain itu target pasar yang lain ya seperti kami ini, pelalu lintas yang lewat dan terpancing selera jajan untuk mencoba.
Bagaimana rasa Lompong Sagu? Melihat dari resepnya saja sudah terasa gurih, kenyal dan manis. Kan terbuat dari santan, pisang, gula dan tepung aren?
Kue Lompong Sagu Padang, anyone?
@eviindrawanto
25 comments
baru tahu ttg kue lompong sagu ini mbak, sekilas mirip kue pluntir di kampungku sana, yg berbahan parutan ketela pohong 😛
Duh, pasti enak banget
Semua bahan pembuatnya saya suka 🙂
lompong sagu emang mantep untu di santap hehehe.,.,,
santan, pisang, gula, tepung aren, trus dibakar? huwaaaahhhh…ga kebayang rasanya gimana Tanteeeee *penasaran pgn nyicip*
Waktu saya dinas di Sumbar dulu …
saya belum sempat menikmati kue ini …
(atau pernah tapi saya nggak sadar bahwa itu Lompong Sagu ya … )
Salam saya Bu Evi
mirip masakan sulsel… pengen mencoba.
Kayaknya enak dan gurih nih… pengen nyobain juga jadinya mbak 😀
kalau biasa aku dirumah yang dibakar dan dibungkus pakai daun pisang itu bukan sagu akan tetapi yang dibungkus adalah parutan kelapa itu dicampur dengan bumbu dikasih ikan asin hehehe maklum sukanya ikan asin
wah kyknya mntabs nih, kalau biasa aku dirumah yang dibakar dan dibungkus pakai daun pisang itu bukan sagu akan tetapi yang dibungkus adalah parutan kelapa itu dicampur dengan bumbu dikasih ikan asin hehehe maklum sukanya ikan asin
Kelihatannya mirip kue Timus yang terbuat dari parutan singkong ya Mbak. Tapi ini dibakar dan ada pisang di dalamnya ya. Aku suka banget sama kue timus. Ngebayaning ini kayanya mungkin lebih enak daripada timus.. dan aroma bakarnya pasti menggiurkan banget ya.
tepung aren..?
aku malah baru dengar ini bu. thanks infonya tak googling dulu deh. abis di kampung banyak pohon aren, tapi taunya cuma buat disadap niranya doang…
Baru tau kue ini. Tadinya cuma dengar di lagu un. Maklumlah, awak ni Minang gadang di rantau. Kalo ke Padang mau nyari deh.
Ndak gadang di rantau atau di kampuang, lompoang sagu emang jarang ditemukan kok sanak Yosi..Semoga ketemu nanti kalau pulang kampung 🙂
penampilannya mirip lepat ya un.., tapi rasanya pasti beda karena dibakar,
tepung sagu aren ternyata bisa diolah jadi banyak makanan khas daerah, aku baru aja nyoba es goyobod yang dibuat dari gula aren juga
Bah es goyobod baru aku dengar dari membaca komen MM..Semoga aku pun dipertemukan dengannya kelak 🙂
Bagulo lawang dan karambia mudo, pastinya manis gurih ya Uni Evi, kayanya variasi kuliner ranah Minang.
Salam
Betul gurih, Mbak Prih..Semoga kuliner satu ini tetap lestari ya, Mbak 🙂
Oh itu dari sagu ya Kak.
Kalau di rumah bisanya pakek itu jagung yang di lembutkan, biasanya kami menyebutnya Emplek Emplek lo.
Enak banget.
Hemm salam kuliner dari Jember Kakak.
Iya Mas dari sagu aren. Wah pakai jagung..Apa lagi jagung manis pastinya sedap, Mas Imam..Emplek..mirip empek-empek ya 🙂
Aiiih beneran kak Evi .. terbit air liur saya membaca ini jadi pingin merasakannya. Mudah2an kalo teman yang sekarang tinggal di Padang dan beristri orang Minang nanti pulang ke SUl Sel bisa dimintai oleh2 kue lompong sagu …. 🙂
Orang Padang pasti senang kalau bisa membawa oleh-oleh lompong sagu dari kampungnya, Niar 🙂
Perpaduan pisang kepok dan gula aren, pastinya legiit banget. Btw, orang dulu romantis2 ya, Bu.
Mbak Idah, aku pikir mengapa dulu banyak sekali sastrawan salah satu alasannya adalah mereka menumpahkan perasaan lewat karya sastra. Kan jamannya emang belum datang untuk curhat di sosial media 🙂
Baru dengar nama kuenya bun sepertinya enak apalagi ada pisangnya
Iya Mbak Lid..Kue ini emang sudah jarang terdengar 🙂