Saya tahu ini adalah hobbi aneh. Salah satu keanehan dari sekian banyak hal aneh pada diri saya (tertawa ngakak sendirian). Saya tuh senang banget memandang langit malam. Apa lagi kalau sedang di tempat sepi dimana tak ada cemaran cahaya, ketika malam benar-benar-benar terasa sempurna, saya akan berlama-lama menegadah ke atas langit. Sering dipergoki keluarga dan ditanyakan apa yang sedang saya lakukan. Pertanyaan absurd sebetulnya karena mereka tahu bahwa saya tidak melakukan apa-apa selain melamun. Atau sedang melambungkan angan yang kata orang langit pun bukan batasnya.
Kebiasaan memandang langit malam ini terbawa sejak kecil. Saya lahir dan besar di sebuah desa. Walau tak terpencil amat yang jelas desa itu tanpa listrik, apa lagi televisi. Satu-satunya benda teknologi di rumah kami hanya sebuah radio yang bentuknya seperti kota sabun diberi tombol. Mereknya Phillips. Radio yang darinya saya kenal lagu-lagu Elly Kasim, Erni Johan, atau Tiar Ramon. Radio yang setiap hari Rabu pagi membuat nenek saya bersandar ke dinding rumah di bawah jendela. Mata galaknya berlindung di balik kaca mata tebal saat itu memandang sayu, jauh ke balik bukit dan awan di sana. Dari radio mengalun saluang klasik Minangkabau yang disiarkan RRI Bukittinggi. Mendayu-dayu, meratap-ratap menggemakan kerinduan kalbu pada hal-hal jauh, pada hal-hal tak terjangkau. Jangankan nenek, saya pun akan turut galau kalau sudah mendengar saluang klasik itu. Entah iramanya entah syairnya yang selalu penuh penderitaan.
- Baca juga   Menunggu di Ruang Tamu Allah
Jadi bagi saya saat itu hiburan paling mudah ditemukan adalah bintang-bintang di langit malam. Saya akan menakar piring raksasa itu lewat imajinasi. Mengira-ngira berapa jumlah bintang, mengapa begitu kecil, apa yang sedang terjadi di sana? Waktu saya memandang langit malam akan semakin lama bila sedang sedih. Atau habis dimarahi nenek. Kemahaluasan, padang gelap gulita dengan taburan kelereng bersinar memincut hati ingin terbang ke langit. Meninggalkan bumi yang penuh gundah gulana.
Kebiasaan Memandang Langit Malam Bukan Berarti Tak Takut Kegelapan
Kesukaan memandang langit malam bukan berarti saya tak takut kegelapan. Saya sering takut. Apalagi ada momok akibat sering ditakut-takuti. Bahwa di bawah kolong lantai (rumah kami berpanggung) seorang  “Inyiak” (harimau) kalau malam selalu singgah. Tak sekedar singgah karena setiap saat ia siap melahap anak-anak nakal tukang ngelawan orang tua. Entah apa urusannya Inyiak ini dengan anak-anak nakal, yang jelas bulu kuduk saya sering berdiri sendiri membayangkan sosoknya. Dengan badan besar, berbulu, cakar dan taring tajam, sekali terkam saya pasti langsung lenyap ke dalam perutnya.
- Baca juga:Â Â Â Aku Bisa Menggambar
Jadi saya takut Inyiak . Tapi bila tidak diawasi, membuka jendela sedikit, tetap saja mencuri-curi mendongak keatas langit malam. Apa lagi sambil “on”,  membayangkan kegiatan penduduk bintang nun jauh di sana. Apakah dalam bintang itu ada juga seorang anak yang sedang menatap bumi? Mengapa kami tak berkenalan saja?
Menatap langit malam membuat saya serasa dalam pusaran arus semesta.
Saya juga senang membayangkan andai saja bisa terbang ke atas bintang. Menari-nari bersama kerlipnya yang kemilau. Kalau di sana saya pasti bisa memandang ke bawah, ke bumi yang juga pasti gemerlap dari kejauhan. Biru dibungkus awan putih di sana-sini. Dari atas bisa mengkotak-kotakan pemandangan sesuai kebutuhan. Contohnya, kalau spektrum itu saya perkecil dan sorotkan kepada hidup sendiri, dengan mudah terlihat posisi saya sebagai anak dan cucu dari seorang wanita tangguh.
Posisi itu kadang yang bikin resah. Mereka meresa serba tahu apa yang harus dilakukan anak-anak. Dari posisi sebaliknya, menurutku, mereka tak tahu apa-apa tentang anak-anak. Makanya lebih suka mengadu kepada bintang atau bulan, dari pada kepada siapapun orang tua yang berkuasa di rumah kami 🙂
Wassalam,
— Evi