Buku dan Mimpi Utopia Saya – Dunia kanak- kanak dan remaja saya adalah buku cerita. Baik komik, novel, cerita silat dan koran bergambar dari POS Kota. Mungkin seperti anak-anak yang sekarang kecanduan pada games di komputer dan internet, buku cerita adalah surga tempat saya menenggelamkan diri. Tidak seperti realitas yang lama sekali berubah sehingga terkesan tidak ada perubabahan, alias begitu-begitu saja, masuk ke dalam buku, saya bertemu dunia yang sama sekali berbeda. Di situ keindahannya!
Fiksi Tak Membutuhkan Logika dan Memang Tak Perlu
Misalnya, dari S.H Mintardja sampai ke Ganes TH. Dari Api di Bukit Manoreh di Jawa sampai Mandala si Buta dari Gua Hantu menaklukan Manusia Serigala di Gunung Tambora.
Mandala si Buta dari Gua Hantu membawa saya pada petualangan yang tidak memerlukan jarak, baik secara geografis maupun pengalaman. Mandala tidak mengharuskan saya menjalani realita bahwa jarak Jawa dan Lombok mungkin perlu ditempuh berbulan-bulan. Tak meminta banyak pengorbanan. Misalnya panas dan hujan, hutan belantara, hewan buas, menyeberangi laut dengan perahu yang mungkin saja ombaknya besar.
Mandala tidak membuat saya berpikir bahwa perjalanan untuk menyelamatkan penduduk kampung dari bahaya manusia serigala atau bahkan letusan Tambora, dalam realita adalah tidak mungkin. Tenaga supernya membuat segalanya mungkin.
Baca juga:
Beralih ke Ko Ping Hoo, saya dibawa naik gunung es, masuk ke kebun-kebun peony, ke kuil-kuil kuno, ikut kerasukan memahami jurus naga mematuk gunung. Saya tak merasa berkenalan dengan pendekar-pendekar bergelar aneh. Si pincang yang dengan ginkangnya naik ke puncak Himalaya tanpa perlu mengatasi gravitasi. Atau ke pendekar pemetik bunga yang ngiler saja tiap lihat jidat licin, tanpa peduli itu merugikan orang lain.
lalu saya pun mengenal hirarki sosial dunia persilatan, intrik-intrik mengalahkan lawan sampai kepada apa yang disebut sebagai sikap ksatria sesungguhnya. Bahwa ketika kalah dalam suatu perkelahian, Anda hanya perlu berlatih lebih keras lagi bukan dengan memelihara dendam untuk menghancurkan diri sendiri.
Buku dan Mimpi Utopia Saya dari Tokoh ke Tokoh
Begitu lah dunia utopis itu. Saya bisa berganti-ganti teman tiap hari. Bila hari ini Winethou dari Apache, mungkin besok adalah Oki dan Nirmala dari istana bunga. Kalau sedang sedih, Zorro, Hercules, dan Superman pria terkuat di muka bumi akan menemani sampai saya lupa pernah sedih .
Saya mencintai mereka semua. Dan mereka pun pernah keberatan jika saya meletakan harapan utopis saya ke pundak mereka. Kalau mereka masuk kuil untuk menyembah dewa-dewa, patung-patung atau api, saya berdiri di pinggir. Jadi penonton. Mendengarkan doa-doa di lantunkan dan memahami mengapa mereka tidak shalat seperti yang dilakukan oleh para kerabat, teman-teman di dunia nyata saya.
Dan cukup berabar smengikuti doa-doa sampai selesai. Saya bisa melihat keindahan bunga berwarna-warni di tiap doa itu.
Ketika Utopis Terpaksa Bertemu Realita
Di kehidupan nyata, dunia tidak bergerak semerdeka dalam buku. Kegandrungan pada wisata pikiran contohnya harus dibayar dengan keajaiban lain, jebloknya hasil ulangan di sekolah. Menerima omelan Ibu karena tidak punya waktu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.
Kalau sudah begitu saya menginginkan ada tangga ke langit. Bisa dipanjat dan menyembunyikan saya dari teman-teman dari negeri dongeng dari Ibu. Tidak tahu juga apa yang akan dikerjakan disana tapi pasti ada yang lebih baik dari sekedar menghayal dan pergi ke sekolah setiap pagi.
Baca juga:
Lalu perlahan-lahan saya tumbuh. Entah karena rasa tidak enak karena selalu perang dengan ibu atau saya merasa aneh dengan buku dan mimpi utopia saya itu, pokoknya perlahan-lahan mereka memudar. Saya menjalani kehidupan remaja, masa pancaroba, masa utopia yang berusaha bertahan tapi dihantam realita.
Jadi saya tumbuh sebagaimana wanita dewasa harus tumbuh. Mandala tersimpan jauh ke belakang karena tak ada lelaki seperti itu yang bisa saya kawini di dunia nyata. Tapi yah tentu saja, saya merasa kering…
Imajinasi Kanak-Kanak Itu Masih Diperlukan – Kembali ke Buku Dan Mimpi Utopia Saya
Dalam kematangan sekarang, ketika menengok kebelakang, saya melihat lebih jernih. Bahwa imajinasi ajaib versi kanak-kanak seharusnya tidak perlu dihapus. Menjadi dewasa tidak harus memakukan orang pada satu identitas terutama bila identitas tersebut mendatangkan kepedihan.
Bukan maksudnya mengganti sama sekali sehingga keluarga menjadi sulit mengenali melainkan menggesernya. Mendefinisikan ulang diri sendiri, menampilkan diri yang hakiki seperti dibentuk Tuhan sebagai mahkluk yang diciptakan dengan otak kanan yang penuh imajinasi.
Kita dapat menciptakan dunia penuh kegembiraan seperti dalam buku cerita sebab penderitaan yang sekarang menggantung dalam jiwa hanyalah apa yang telah kita putuskan untuk di lekatkan dalam diri. Bahwa kita manusia gagal, kita tidak bisa, kita tidak mampu kadang hanya kamufase dari kenyataan sesungguhnya bahwa kita TIDAK MAU.
Dalam dunia kanak-kanak tidak terdapat istilah menyerah, gagal dan tidak mau mencoba lagi. Pada awalnya mungkin menangis ketika jatuh dari sepeda, kalah dalam permainan atau dicurangi teman. Namun setelah itu kanak-kanak bersukacita kembali, merdeka menceburkan diri mengarungi kegembiraan yang ditawarkan hidup. Anak-anak tidak punya masa lalu maka itu tidak pernah memberi cap buruk kepada diri sendiri.
Menjadi orang dewasa berimajinasi kanak-kanak? Bisa kah saya kembali ke buku dan mimpi Utopia? Let’s see…