Saya mengerti bahwa alam semesta dan segala isinya bukan konsep abadi. Berapapun umurnya mereka akan berubah mengikuti hukum-hukum yang telah ditentukan. Yang berprinsip “menetap” akan kecewa, sebab masa lalu, masa kini dan masa depan itu sebenarnya tidak ada. Kita hanya melalui sebentuk perjalanan dari satu titik ke titik berikutnya dalam lorong waktu.
Berpuluh tahun lalu ibu dan bapak bertemu sebagai gadis dan bujang. Cinta membuat mereka berikrar dalam pernikahan yang suci, menghasilkan kami berlima, tua bersama dan akhirnya pada 10 Mei 2013 ibu pergi mendahului kami semua.
Semesta yang Rapuh – Mengenang satu Tahun Kepergian Ibu
Kepergian ibu merusak tatanan mapan 52 tahun lebih biduk keluarga Harun al Rasyid. Membuat mata saya semakin terbuka bahwa kehidupan berkeluarga ternyata lebih singkat lagi dari usia kita sesungguhnya. Bertemu, membina kebersamaan, mengasuh anak-anak, hanya sempilan kecil dari perjalana di tengah macro cosmos yang maha luas ini. Seperti bunga liar di padang gurun yang tumbuh dari bibit, membesar, mekar, akhirnya layu dan rontok sendiri ke tanah.
Kalau ada yang mengatakan itu lah hukum alam, itu lah nasib, atau itu lah takdir yang tak terhindarkan, saya setuju. Juga setuju terhadap konsep hidup, lahir, tumbuh, mati dan kemudian dilupakan. Tak ada yang bisa membantah dan tak seorang pun mampu menghindarinya.
Baca juga:
- Selamat Jalan Ibu Tercinta, Ini Dari Anakmu
- Apakah Saya Sudah Menjadi Ibu yang Baik?
- Pilihan Bisnis Gula Aren – Pertanyaan Ibu
Dan kami berenam iklas menerima kepergian ibu. Apa lagi mengingat beliau sudah lama sakit. Namun tetap saja membuat saya amat tercengang. Lah kok tahu-tahu sudah piatu? Bagaimana tidak, sering memang pergi melayat, menghormati terakhir kalinya para kerabat, teman dan tetangga yang terlebih dahulu dipanggil ke sisi-Nya. Saya paham bahwa kematian itu dekat. Tapi rupanya tak terlalu dekat.Sebab mereka yang saya layat itu tak berkaitan langsung dengan kehidupan saya, jadi kesedihan saya untuk mereka tidak seperti saat kehilangan ibu.
Ini lah wanita dengan segala kelebihan dan kekurangannya mencintai saya dan saudara-saudara saya tanpa syarat. Yang mekar kebahagiaannya saat merasa mampu mencukupi kebutuhan kami semua. Yang menelan segala rasa sakit asal anak-anaknya tak merasakan hal serupa. Yang memberi apapun yang terbaik yang bisa ia raih untuk kami berlima.
Nah ketika orang seperti itu menutup mata untuk selamanya saya seperti dibenturkan pada realita dingin tembok sang maut. “Oh akhirnya engkau mendekat” pikir saya dengan perasaan tak kalah dingin pula. Dan untuk pertama kali saya merasa tak berpengharapan terhadap ibu. Sungguh itu menimbulkan lubang dalam jiwa yang entah bagaimana harus menutupnya.
Sebagian jasad ibu saat ini pasti sudah di daur ulang oleh semesta. Kembali menjadi partikel kecil yang nanti akan menyusun ulang kehidupan. Entah dalam bentuk apa, itu tersimpan dalam misteri Tuhan. Namun roh ibu, berdasarkan kepercayaan agama yang diajarkan kepada saya, akan abadi di sisi Yang Menciptakan. Itu lah yang membangkitkan kesadaran bahwa harapan saya terhadap ibu tak boleh ikut mati. Selama roh saya masih di dalam tubuh, selama itu pula roh ibu menanti ungkapan cinta. Iya melalui doa.
Ah membuat catatan ini dalam rangka mengenang satu tahun kepergian ibu ini pun bikin mata berbawang. Takan ada yang bisa mengganti wanita seperti ibu di keluarga kami.
Ibu, ini lah aku anakmu … Be nice there ya …
@eviindrawanto
Yang bekerja lebih baik akan jadi yang terbaik