Wisata Kuching Malaysia – Pesawat Air Asia yang membawa dari Pontianak mendarat mulus di Kuching International Airport. Hampir pukul satu siang waktu setempat. Ada perbedaan waktu 1 jam antara Kuching dan Jakarta.  Kuching Sarawak di Akhir September terasa begitu manis. Wisata Kuching yang akan saya lakukan meliputi Kuching Waterfront, singgah ke Kampung Boyan. Mampir juga ke tempat kuliner Kuching: Top Spot Seafood, lalu jelajah kota tua Siniawan Old Town.
Kuching Waterfront di Akhir September
Sebetulnya ini hari pertama perjalanan ke Sabah namun perlu transit 6 jam di Kuching. Ketimbang manyun lebih baik eksplorasi kota yang lokasinya tak terlalu jauh dari Airport. Ada yang pergi ke mall dan saya memilih ikut Dodon Jerry, blogger keren Pontianak, ke Kuching Waterfront.
Kakak ini mengatakan sunset di Waterfront dapat menyempurnakan sajak-sajak. Aish…Baik lah kebetulan layanan Uber dari Airport tak terkendala seperti halnya di Soetta. Dengan 11 MYR kami diturunkan di taman di tepi Sungai Sarawak. Matahari sudah redup, jadi tak terlalu menyiksa berjalan sambil menggeret koper seberat 21 kilo 🙂 (tak ada tempat penitipan di airport).
Sore yang Romantis di Kuching Waterfront
- Lihat di sini foto-Â Foto Jembatan Darul Hana Kuching Sarawak
Melamun di Tepi Sungai Sarawak
Begitu lah! Esplanade Waterfront Kuching, sekitar tahun 1960 masih merupakan sebuah pemukiman kecil dengan pelabuhan yang selalu sibuk, dermaga dan gudang. Eldorado masa lalu itu sekarang bertransformasi jadi Taman Hiburan Rakyat moderen tapi tetap setia pada sejarahnya.
Mestinya sore itu saya tidak melamun namun tak kuasa menghindar. How come?  Saat di atas meja sudah terhidang segelas Teh Tarik, Laksa Sarawak, teman-teman yang asik menikmati suasana. Seorang pengamen tuna netra melantunkan lagu Berita Kepada Kawan dari Ebiet G Ade. Perjalanan ini Trasa sangat menyedihkan Sayang engkau tak duduk Disampingku kawan. Syair dan getar dawai gitarnya memaksa jiwa melayangkan perasaan jauh melompati Sungai Sarawak. Ya, tanpa kehadiran sunset pun suasana sore itu sudah membuat saya berpuisi.
Sore semakin jingga. Saya dan Indra memutuskan berjalan ke kawasan pertokoan di seberang jalan. Menelisik cerita, mengendus masa lalu kota dari wajah bangunan yang tertinggal. Diantaranya mencirikan kawasan Pecinan dan India.
Kampung Melayu atau Kampong Boyan
Sekembali dari Sabah kembali singgah di Sarawak. Kali ini ke tempat wisata Kuching kampung Melayu atau Kampong Boyan. Letaknya persis di seberang sungai Sarawak. Berhadapan dengan Imperial Riverbank Hotel tempat menginap.
Memang ada banyak Kampung Melayu di Sarawak maupun Malaysia secara umum. Masing-masing punya keunikan sendiri. Salah satunya terlihat di sepanjang Utara tepi Sungai Sarawak, Kampung Boyang.
Tak sulit mencapai Kampung Boyan. Pergilah ke Dermaga Taxi Air (penambang), naik lah ke perahu motor kecil, bayar ongkos 1MYR, dan nikmati bagaimana pengemudi mengarahkan perahu dengan dayungnya.
- Baca di sini tentang:Â Â Melukis Kenangan di Kota Kuching
Di Kampong Boyan matamu dimanjakan oleh beberapa contoh arsitektur tradisional melayu modern.
Lalu ada berbagai jajanan untuk memuja lidah. Mulai dari makanan ringan tradisional Melayu, makanan laut sampai kue lapis. Sekalipun Kampung Melayu atau Kampung Boyan ini terlihat kurang tertata, wajahnya langsung berubah saat mendekatai matahari terbenam. Arahkan matamu ke seberang sungai, lewat jendela gedung dan hotel, cahaya jatuh ke permukaan air seolah selendang bidadari.
Menikmati Kuliner Kuching di Top Spot Seafood
Kali kedua di Kuching ini kami di handle oleh Sarawak Tourism Board. Sejak dari Bandara, tour guide yang kami panggil Kakak Ana, setia menemani.
Karena keasikan main di Kampung Boyan, saya dan Mbak Irene ( sudah pisah kamar dengan Mbak Levi), tergopoh-gopoh menuju hotel. Makan malam akan berlangsung pukul tujuh. Setengah tujuh kami masih dalam perahu untuk kembali ke hotel. Jadi mana lah sempat mandi. Bahkan untuk sekedar cuci muka sudah kehabisan waktu. Sementara di lobby, Kak Ana dan Kak Kevin dari Serawak Tourism Board sudah menunggu.
Baik lah mari kita teruskan wisata Kuching sampai titik keringat penghabisan.
Saya percaya bahwa makanan mampu melekatkan perasaan kita terhadap satu kota. mampu membuat kita menangkap getaran kehidupan yang berlangsung di dalam. Mungkin itu yang terpikir oleh STB kala mereka membawa kami ke Top Spot Food Court yang terletak di lantai 6 sebuah gedung. Jika kamu mencari kombinasi semua makanan lokal yang eksotis, terutama makanan laut , Top Spot Foodcourt Kuching adalah jawabnya. Menaungi lebih dari 10 restoran, beroperasi setiap malam hingga larut.
Sepertinya semua warga Kuching tumpah di sana malam itu. Ramai sekali. Untung Kak Ana sudah memesan tempat, dapat meja bulat yang terasa sempit setelah makanan terhidang. Kak Kevin ternyata memesan banyak sekali menu untuk kami habiskan.
Wisata Kuching – Kuliner Yang Unik
Pakis dari hutan Kuching (Midin),  sayur yang akrab bagi saya dari kecil sampai dewasa . Tidak tahu persis bumbu tumis Midin ini tapi kentara sekali ada jejak bawang putih dan terasi di dalamnya. Ada pancake berukuran raksasa diberi tiram di tengahnya. Lalu Sup Asparagus, Ambal Ginger (kerang bambu masak jahe), kepiting asam manis, udang tepung, cumi kecap, dan tim ikan jahe. Nama menu yang saya sebutkan tidak sama persis namun mewakili dari penampakan.
Ohya ada satu hidangan yang tak boleh lupa direkam bila wisata di Kuching. Namanya Umai masakan asli orang Melanaus, suku asli Sarawak. Terbuat dari irisan ikan mentah, disiram air jeruk, lalu ditaburi meriah bawang merah dan cabai. Kalau boleh disebut, ini lah sashimi asli orang Sarawak. Sebagai penggemar masakan berunsur asam, saya pikir, saya menyukai Umai. Kesegaran air jeruk nipis berpadu dengan, garam, bawang mentah dan rasa pedas cabe membuat Umai lebih mudah ditelan sekalipun saya tahu bahannya daging ikan mentah. Konon Umai termasuk hidangan top di Top Spot.
Wisata Kuching – Kota Tua Siniawan (Siniawan Old Town)
Kota tua Siniawan ini mungkin bisa disebut sebagai Pecinan Kuching. Berjarak sekitar 21 Km dari pusat kota, kawasan telah berusia 100 tahun ini kaya nilai warisan budaya dan sejarah.  Sore, sepulang dari Taman Negara Bako, kami diangkut Kak Ana menikmati momen kota tua Siniawan sekaligus mencari makan malam.
Jalan lurus yang jadi lokasi Pasar Siniawan diapit deretan toko bertingkat yang semuanya tebuat dari kayu. Kak Ana menunjukan beda toko milik orang Cina dan Melayu. Sebelum menyebutkan bentuk jendela awalnya di mataku tetap sama. Semua ruko (rumah toko) tua terbuat dari kayu, di bawah difungsikan berjualan, di atas tempat tinggal dengan jendela-jendela lebar menghadap jalan. Ketika pendingin udara (AC) terlihat bergayut di dinding toko, saya pikir mereka sedikit mencemari aura kekunoan tempat itu.
Seiring turunnya gelap, lampion-lampion yang digantung bersilangan di atas memancarkan cahaya merah. Pengunjung semakin ramai. Sayup-sayup saya menangkap musik karaoke bernada pilu dalam bahasa mandarin. Rupanya datang dari panggung di sebuah kios. Kembali membuat saya sedikit “baper”. Angan kembali terbang ke arah langit yang biru legam menjelang blue hours berakhir. Lalu hujan pun turun, membuat kami berlarian berlindung (terutama untuk menyelamatkan camera :))
Hamparan kios-kios ini menjual barang kerajinan tangan, makanan dan berbagai kue. Lainnya termasuk buah-buahan, sayuran dan kebutuhan sehari-hari. Awalnya teman-teman muslim sempat resah, sejauh mata memandang hanya terlihat chinese food. Kak Ana menenteramkan dengan membawa kami ke kios orang Melayu. Ya rupanya di sini tak melulu menjualan makanan Cina. Setidaknya saya menemukan tiga kios milik orang Melayu dan penduduk asli yang menjual makanan halal seperti makanan laut (sea food), ayam bakar, dan sate ayam.
Tengelam Lalu Bangkit Lagi
Siniawan Old Town ini sebetulnya sempat turun pamor cukup lama. Kemudian dihidupkan kembali oleh sebuah badan pengelola bersama Sarawak Tourism Board guna menarik turis selain penduduk lokal. Maka sekarang setiap hari Jumat dan Sabtu mulai pukul 6:30 sampai 10 malam pasar ini akan ramai.
Akhir September wisata di Kuching kian romantis. Gerimis tidak juga usai saat kami beranjak meninggalkan Siniawan. Seorang Bapak, penduduk lokal, lagi-lagi dengan khusuk menyanyikan lagu romantis di atas panggung. ” Dia menyanyikan lagu apa?” Tanya saya kepada Kak Ana. Karena tahu pertanyaan iseng, Kak Anna menjawab tersenyum ” Hujan dan mungkin juga asal muasal cinta” Katanya. Kak Ana langsung dapat pelukan saya. Kuching Sarawak di akhir September rasanya memang bakal sulit dilupakan
Lampion dengan cahaya redupnya masih berserakan di udara. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada Siniawan tua. Terus lah hidup!
36 comments
Keren banget Golden Bridge-nya uni. Trase jalannya melengkung.
Iya kalau dari atas lengkung esnya kelihatan jelas banget. Dari bawah dan kebetulan ngambil sudutnya juga aku kurang baik, Jadi kesan lengkung nya tidak begitu terasa
Aku belum kesampaian menginjakkan kaki di Malaysia bagian Sabah dan Serawak. Sepertinya menarik 🙂
Aku fokus sama kaleng TIGER-nya hehehe
Lah…fokus ke Tiger…Padahal nyempil banget ituh hahaha
museum kuchingnya mana?
Waktunya terlalu sempit tidak sempat ke museum Kuching. Mungkin kalau balik lagi akan kesana
aku sebenarnya masih betah berlama lama di Siniawan, termasuk pingin eksplore lebih ke Museum Kuching tapi waktu terbatas, jadwal padat dan banyak konser yang kudu di hadiri yaaa..wkwkwkw…btw karya photo mba evi Yahuudd!!!…emang jam terbang gak pernah boong yaaaa….. love you mbaaa….. kamar hotel di Pontianak jangan di umbar yaaa..wwkwkwkwkwkwk
Iya waktu di sampah dan kucing jadwal manggung padat banget ya. Jadi tidak sempat ke sana kemari kecuali mengikuti itinerary fam trip hahaha… Keberadaan seseorang Indra pradya bersama teman-temannya selalu membuat ceria. Terima kasih ya sudah jadi temanku. Dan mengenai kamar hotel di Pontianak, swear tidak akan diumbar-umbar, bisa menjatuhkan Citra itu hahaha
wiih… banyak juga ya tempat yg bisa dikunjungi dalam waktu 6 jam.. udah sekalian wisata kulinernya pula..
Waktu 6 jam transit di Kuching kami hanya di Waterfront. Nah waktu balik lagi baru deh pergi ke siniawan dan menikmati seafood di Top Spot
Dulu saya pernah ke Kuching di akhir 90-an. Udah lama yah. haha. Membaca tulisan ini membuat saya ingin kembali lagi. Karena kunjungan Bu Evi cs, komplit banget jalan-jalannya. Apalagi adegan makan-makannya. Bikin ngileer
Mungkin kucing sudah berubah sejak tahun 90-an, Kang. Jadi wajib datang kembali dan mengeksplorasi kotanya yang bersih dan sarat nuansa sejarah
Wah, ulasannya bikin saya seakan-akan sudah di sana. Terima kasih mba Evi, menarik sekali. Semoga saya memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati udara di sana.
Aku belum pernah ke Malaysia bagian timur ini, apalagi ke Sabahnya. Kalo Kuching ini setauku dekat perbatasan gitu ya mba? agak gloomy dan oldskul gitu yaaaa, tapi aku suka suasananya hehe
Kalau dilihat dari peta kota Kuching jauh juga perbatasannya dengan Indonesia. Wisatawan Indonesia memang kebanyakan datang ke semenanjung sementara Malaysia yang bagian Kalimantan kurang banyak dieksplorasi oleh wisatawan kita. Dengan semakin berdirinya Sabah dan Sarawak promosi satu atau dua tahun ke depan tempat-tempat ini akan seperti Malaka dan Penang, Irham
21 kg tan? Kayak mau naik gunung.
Wah coba aku yg dibawa ke Siniawan, udah aku santap semua itu makanan non halal. Ahahaha
Aku pikir wilayah malaysia yg menyatu dengan Kalimantan itu desa banget lho tanev. Tapi setelah melihat gambaran dari cerita TanEv ternyata daerahnya cukup modern ya.
Wilayah Malaysia yang menyatu dengan Kalimantan ternyata modern loh, Dar. Kalau ke sini awan mustinya Darius ikut, banyak makanan kegemaranmu disana
mau bangett neh kesana… malaysia yg d atas kalimantan sebuah destinasi yang kece
Iya kapan-kapan destinasi Malaysia nya Rizky harus diarahkan ke Kalimantan. Banyak banget yang bisa diceritakan dari sana 🙂
Tante Evi itu beneran sih keknya enak banget sore-sore bengong-bengong di pinggir Sungai Sarawak. Langitnya ampun bagus banget. Di Batak juga ada tuh Tan ikan mentah bumbu asam kek Umai gitu namanya Naniura.
Iya Malam Bun sore-sore di tepian sungai Sarawak ini sekarang indah banget deh, Cha. Pasti banyak inspirasi bermunculan.
Aku pernah makan naniura, tapi dari daging yang mirip ikan mas. Naniura lebih kaya bumbu artinya. Merica bataknya yang membedakan dengan umai
Kok kirain saya Kuching itu desa kecil yg ketinggalan jaman ya, ternyata heboh juga ya. Cekatan ya mereka dgn tren industri wisata yg lagi naik. Serius bgt ngegarapnya.
Sebentar lagi wisata Kuching mengajar saudara kandungnya di Semenanjung, Mbak Ulu. Apalagi air Asia bertambah banyak penerbangannya ke sana
Aduh itu Umainya koq berasa seger banget kak. Dulu di Krabi juga pernah makan kaya gini, tapi lupa namanya apa hehehe
Iya rasa daging ikan yang masih segar mungkin juga bumbu-bumbu yang membuat rasa seperti itu semakin muncul. Cuman kemarin dagingnya memang kurang crunchy sih
Aku selalu suka dengan esplanade, promenade, dan kawasan ramah pedestrian seperti ini. Singapura, Bangkok, Phnom Penh, Vientiane, Ho Chi Minh City, semuanya sudah memiliki area pedestrian di tepi sungai yang rapi. Tinggal Jakarta menyusul nih 🙂
Btw itu kayaknya ada kalimat yang belum rampung di bagian Golden Bridge, mbak.
Setauku desain arsitektur Melayu identik dengan bentuk-bentuk lengkung dan warna kuning atau hijau, cmiiw.
Iya nih ternyata ada bagian kalimat yang terpotong saat edit tidak aku sadari. Terima kasih atas koreksinya Mas Nugi.
Memang kalau lihat pedesterian negara tetangga sih bikin iri. Jakarta suatu saat juga akan seperti itu. Doakan saja
Amin mbak 🙂
Indahnya langit sore disana ya Bun :’)
Perjalanan Kalimantan semakin lengkap ya Bun kalo sudah kesini
Regards,
Dee – heydeerahma.com
Iya perjalanan ke Kalimantan, rumahnya orang Dayak, sempurnakan dengan kunjungan ke Sarawak ini. Mudah-mudahan semakin banyak tempat-tempat di Kalimantan yang bisa aku kunjungi. Wismilak ya Dee
Amiin, semoga kesampaian ya Bun 🙂
Amin. Terima kasih atas doanya Dee
Ke Sabah Sarawak masih dalam listing wish ku Mba. Keren ih 🙂
Amin. Semoga wisatawan Indonesia semakin banyak melihat Sabah dan Sarawak tidak hanya beramai-ramai datang ke semenanjung ya. Sebab Malaysia punya wilayah di Kalimantan sangat unik sekali baik alam maupun budayanya, Teh
Hai kak mau tanya, kalo pesen uber dari bandara kuching bakal susah dan menakutkan kaya di jakarta gak ya? Dan kalau travel disana pakai transporrtasi uber uda oke atau belum kak ya? Juni mau ksana hehhehe…thxxx
Kayaknya Uber sudah gak ada deh Mbak. Pakai Grab saja. Emang di Indonesia menakutkan seperti apa? Di Malaysia juga baik-baik saja kok