Gula aren melayu kopi daun – Bergelimang gula aren (gula semut aren) saat ini, tak berarti affair masa lalu saya kental dengan gula yang terbuat dari nira aren ini. Tahun-tahun yang lewat pasti banyak mencecerkan kenangan. Tapi bagaimanapun menggalinya, suatu fakta bahwa tak banyak kenangan yang bisa dibangkit dari pemanis ini.
Ini mungkin terkait pada kebiasaan orang Minangkabau. Orang di suku kami strichly tidak memasukan gula ke dalam masakan jenis lauk pauk.Pemakaian gula aren paling-paling berunsur rekreasi. Maksudnya cuma ditambahkan pada makanan beratmosfir kegembiraan seperti kue, makanan kecil seperti kolak. Maka kalau mau melihat kegembiraan gula aren datang lah bulan Ramadan ke Sumatera Barat. Segala jenis makanan manis beraroma gula merah dengan mudah ditemui.
Satu lagi, gula aren dan kopi daun jadi pasangan serasi di Sumbar. Jika kawan traveling ke ranah Minang, beberapa kedai khusus menyajikan kopi terbuat dari daun kopi. Ada yang murni kopi daun saja ada pula diberi susu dan gula aren.
Akan saya ceritkan sejarah Kopi Daun ini sedikit.
Daftar Isi
Melayu Kopi Daun
Dalam buku Plakat Panjang, karya Amran Rusli ditulis perangai Belanda saat melakukan tanaman paksa di Sumatera. Mereka menarik garis lurus antara orang Eropa, China dan Pribumi. Karena kopi mahal maka hanya orang Eropa dan Cina kaya saja yang boleh mengkomsumsinya. Pribumi tidak.
Apa boleh buat, orang Minang dipaksa menanam kopi tapi tidak boleh menikmati buahnya. Padahal kaya atau miskin selera kan sama.
Maka terbitlah akal moyang Minangakabau untuk memanfaatkan daun kopi. “You gak boleh kami minum kopi, baik lah, kami punya akal. Tanpa daun mana bisa kopi berbuah. Oke lah. You nikmati buahnya, kami nikmati daunnya”
Maka sejarah tanam paksa di kampung saya melahirkan budaya baru, minum kopi tapi tanpa kopi!
Dari kebiasaan ini muncul kataan baru: Dasar melayu kopi daun!
Cara Membuat Kopi Daun
Cara membuat minuman orang melayu Minangkabau ini tak terlalu sulit.
Ambil daun kopi sedang (tidak terlalu muda dan juga tidak terlalu tua), dibersihkan. Tusuk dengan sebilah lidi lalu digantung diatas perapian sampai kering.
Proses ini dalam bahasa minangnya disebut disangai. Setelah beberapa hari daun kopi yang kering dan getas ini di remas menyerupai rajangan daun teh, dimasukan ke dalam tabung bambu lalu diguyur air mendidih.
Teh dari daun kopi atau kopi daun lah yang disebut kopi daun. Rasanya lebih nikmat kalau ditambahkan gula aren (Sumber: tulisan Mamanda Dave Said di Rantaunet).
Yang memalukan dari karakter kaum pendatang (penjajah) adalah jelas-jelas merampok hasil bumi orang, cari makan diatas tanah orang, derajat sosial penduduknya perlu pula di rendahkan. Kalau perlu diletakan beberapa tingkat di bawah mereka. Maka Belanda yang frustrasi yang menganggap pribumi bodoh itu pembangkang lalu menghardik seperti ini : ” … Godverdomme! Dasar melayu kopi daun zegg ..”
Jadi mereka menyebut kami sebagai Malayu Kopi Daun:)
Sementara orang Minang sendiri menamai teh kopi ini sebagai Aia Kawa. Nama itu diberikan oleh mereka yang pulang dari Mekah. Di tanah Arab memang ada minuman bernama Kopi Gahwa ( Kawa) ( Sumber: westsumatera.com).
Sampai saat ini tradisi minum kopi daun masih ada di Sumatera Barat. Penyajiannya pun masih tradisional, dalam tempurung kelapa beralaskan sepotong bambu.
Minum Kawa – Gula Aren Melayu Kopi Daun
Aie Kawa mengilhami orang minang memberi nama pada ritual menghantarkan makanan ke sawah atau ke ladang. Saya ingat diperempatan atau tengah hari amai-amai (ibu-ibu ) menjujung beban di kepala menuju sawah atau ladang mereka. Beban berupa panci yang dibungkus taplak meja, berisi nasi dan lauk pauknya. Yang lain mungkin berupa ketan, pisang goreng, kalamai atau penganan kecil lainnya. Sebelah tangan menjinjing teko. Hantaran itu untuk menjamu suami atau kerabat yang bekerja disana. Orang menyebut acara ini sebagai Mengantarkan Kawa.
Salam,
44 comments
Belanda/Hollanda/Nederlander menjajah dgn cara yang berbeda drpd British (dan Perancis). British tidak menggunakan sebarang paksaan. Mereka diplomatik dan
ketika memerintah sering guna taktik dan dorongan agar dasar-dasar pemerintahannya dituruti dgn lebih senang hati.
Tidak ada apa yang disebut Kultuur Stelsel (Culture System) sptmnn dipaksakan di tanah jajahan VOC ie Kompeni Hindia Belanda. Maka Malaya/TanahMelayu dll Negeri Malaysia sekarang banyak didatangi orang luar untuk berdagang dan mendapat manfaat bagi penakatan seterusnya kekayaan hayat. Minang Jawa Aceh Bugis Banjar Boyan dari negeri/wilayah/propinsi VOC turut berhijrah seraya membumi di Malaysia sehingga semuanya dikenali sebagai Melayu sahaja. Namun olehkerana tiada sekatan atawa kepayahan menkonsumsi kopi (Coffea arabica / robusta khasnya) atawa apa sahaja lain yang upaya dibeli,asalkan ada duit, tiada adalah Aie Kopi Daun dan seumpamanya yang diperkenalkan di Malaya/Malaysia. Dari perihal yang ditampelkan dalam loop/gelungan bicara sini, saya tidak teringin atawa terdorong untuk mencoba kopi daun.
Hakhakhak.
Walau bagaimana jangan putus berbicara mengenai sebarang topik yang boleh menyerlahkan pengetahuan dan pengalaman saya. Namun hendaklah yang benar bukan palsu atawa penghujahan yang sengaja diada-adakan. Contohnya betapapun popular cerita asal nama Minangkabau yang memperbodohkan penyerang dari Jawa yang alah ‘perang’ via perlawanan proksi haiwan ie secara adu kerbau, yang sebenarnya Minangkabau ialah lokasi pertemuan ie Minanga (=kuala/muara/confluence) dua Sungai, satunya bernama Kabau sempena nama altenatif bagi orang-asal/asli/pribumi/rimba iaitu orang Kubu ikut istilah dan sebutan dahulu kala.
[…] Terbayar sudah penasaran akan kawa daun dari postingan Uni Evi, minum kopi tanpa kopi melalui melayu kopi daun dan kak Monda dalam cara lain menikmati hujan dan kopi. [bener khan yang Uni Evi tulis, postingan […]
[…] bukan berasal dari tanaman cepat tumbuh. Ketan ditanam tidak sebanyak beras cerai. Gula aren atau gula merah di datangkan dari tempat jauh. Sementara kelapa perlu dipanjat dari batangnya yang tinggi. Jadi gak […]
Ah..ada minuman tradisional kopi daun ya mbak… Gambar pohon & buah kopi diatas mengingatkan saya akan kenangan masa kecil bergelantungan di (satu2nya) pohon kopi sambil memakan kulit kopi yg merah2 itu…lalu mengumpulkan biji2 tanpa kulit itu untuk disimpan. Hm..aroma yg menguar saat simbah menggoseng biji kopi itu samar-samar tercium, hehe…
Kebahatan sensorik kita, mereka bisa menyimpan aroma dengan kuatnya ya Mbak Mechta. Mencium kembali aroma di masa lalu rasanya menghadirkan kita kembali ke peristiwa itu..
Aku suka membayangkan suasana ketika si Mbah menggoreng biji2 kopi itu..Aromanya dan lingkungannya..Pasti manis sekali 🙂
kalau di bahasa minang ngin ini disebut “saka” kan Uni???
Faz, saka di minang dibuatnya dr gula tebu. Gula aren disebutnya gulo anau
Ritual yang luar biasa, mbak…mbak Evi juga menuliskannya dengan luar biasa lengkap 🙂
Hehehe..Terima kasih Mbak Irma…
kalau minuman legen itu juga dibuat dari aren ya jeng ??
Belanda memang minta ditaboki.
Dulu gila sekarang sok ngajari ttg HAM.
Tapi saya pernah mengikuti short course di Clingendael Institute Den Haag lho.
Saya termasuk penikmat kopi di pagi dan sore hari.
Salam hangat dari Surabaya
Betul Pakde, legen adalah nira aren yg dijadikan minuman…
Setuju Pakde, Belanda itu rada pantas ditaboki oleh kepura-puraannya sendiri. Sekarang mereka sibuk sebagai penggagas HAM selain untuk mengaburkan sejarah kejahatan masa lalu, tapi lebih karena gak ada lagi negeri yg bisa di jajah…Apa lagi yg seperti Indonesia, 350 tahun…alah makkkk…
gula aren sy pernah coba tp baru tau sy ttg kopi daun ini 🙂
Memang gak begitu menasional sih Mbak Chi…Di Sumbarpun saat ini, penggemarnya juga tak banyak 🙂
Kelihatannya aia kawanya sangat nikmat Mbak Vi, dipadu dengan gula arennya, hmmm…. Pasti segar banget. 🙂
Gak tahu deh Mbak Lia, apakah kadar cafeine kopi daun ini sama dengan bijinya..Tapi enggak kali ya..:)
Uni aku jadi penasaran sama rasa kopi daun ditambah gula aren 🙂
Didaerah Lahat dan sekitarnya kopi disebut kawe 🙂
Letak geografis yang gak jauh, sepertinya memiripkan penyebutan ya Mbak Keke..:)
aku janji akan bikin laporannya langsung dari dangau kawa..
tunggu ya un.. soale nyari yang nemenin susah banget, di dangau kawa isinya parewa semua.. klo emak2 ini masuk sendirian nenteng2 kamera entar jadi perhatian pulak.
makasi uni sudah menuliskan ini.
Bakalan ikut menagih janji pastinya jadi duet postingan kopi daun memikat duo Uni, hayo non Kinan temani eMak ya.
Terima kasih Mbak Prih..Mari kita doakan Uni Adel ada yang menemani (eh tapi pasti banyak yg berminat, Uni Adelnya saja yang pilih-pilih hahaha..) agar kita dapat laporan pandangan mata soal pondok kawa 🙂
taktemeni pa Bun, biar yang jadi perhatian akunya… (^_^)?
Hhahaha..Titik, bikin surat lamaran ke Bundo deh ya…
Benar ya May, aku tungguin..hehehe..Semoga ada yang nemenin..Mumpung pondok kawa masih ada, mari diabadikan lewat lensa..
Duh pengen deh ikut mengantar kawa dan makan di dangau lagi kayak dulu..
saya penasaran sama kpopinyaa hihihih. .
gmana yaa rasanya. . lidah sudah ga kuasa menahan hihihi
Ayo jalan-jalan ke Sumbar Mas..Disana cari kopi daun..dan rasakan sensasi masa lalu pada rasanya 🙂
Kopi rasa daun teh kali ya 🙂
Yes, orang Indonesia itu cerdas mister. Kau larang minum kopi yang tumbuh dari tanah kami, tak kurang akal lah kami. Kopi daun dan kopi luwak lahir dari penindasanmu. Mister lihat kan sekarang, seuprit kopi luwak harganya ratusan ribu. Tapi jangan sekali-sekali jajah kami lagi ya…
Uni, Tt blm pernah minum teh kopi ini…. Penasaran rasanya kaya apa ya??
Tanaman paksa menghasilkan derita tapi juga penemuan ya Tik…Dulu mungkin nenek moyang kita sambil sedih menyeduh kopi yang bijinya berasal dari kotoran musang..Tapi siapa nyana kalau akhirnya disanalah terdapat mutu kopi paling enak sedunia…
Aku sendiri juga sdh lupa gimana rasanya Tik..:)
Baru tau mbak soal kopi daun ini, bikin penasaran rasanya seperti apa…
Penjajah dulu itu betul-betul menjajah ya mbak…gak puas hasil tanahnya diambil, derajatnya pun sampe perlu diinjak-injak begitu…
Kayaknya kalau jadi penjajah itu emang harus ngejajah semua Jeng, dari hati sampai pikirannya..Kalau gak bakal bisa menguasai satu bangsa dengan baik..350 tahun Jeng, bayangin..Kok nenek moyang kita betah ya, diinjak-injak…:)
daun kopi… saya belum pernah coba… terus gula arennya bagus bagus… sudah lama tidak lihat yang dalam bentuk seperit itu…. waktu kecil sering…
Kopi daun memang minuman ciri khas minangkabau Bro. Saat ini memang belum terlihat keluar dari sana. Bukan gak mungkin suatu saat akan kita dapati di Jakarta, mengingat keunikannya 🙂
Saya termasuk beruntung, di desa saya hampir semua penduduk punya kebun kopi sendiri, sehingga tak perlu minum daun kopinya…
Sampai sekarangpun kebun itu masih ada dan dimiliki sepenuhnya oleh rakyat.
Dan kebetulan sekali, saya termasuk yang beruntung karena kakek saya menghibahkan sedikit kebun kopinya buat saya…
Nggak luas, tapi amat sangat berarti buat saya, sampai sekarang.
Kalau di Jawa dulu, tanaman paksanya tebu ya Pak Mars..Beruntung Belanda tak mengganggu kebun kopi penduduk. Dan kebun2 yg ada sekarang itu bukan dibuat setelah merdeka ya Pak Mars?
Kayaknya ada sebelum kemerdekaan Bu…
Karena letaknya dipuncak Gunung dan bukan perkebunan yang luas, maka Belanda nggak menyentuhnya.
Kalau paksaan tanam tebu juga iya, tapi ini di sawah. Kasihan petani, tanahnya rusak gara2 ditanami tebu. Dan itu dipaksa. Kalau nggak ngijinin, langsung di cap sebagai PKI
Nah itu dia wataknya penjajah Mas, suka maksa..Yang tak mau dianggap pembangkang, malah difitnah makar segala…:)
rasanya lebih enak dibanding dengan gula merah biasa ya bun
Menurutku dengan gula aren lbh enak Mb Lid. Tp tergantung selera jg sih, karena gula merah juga punya karakter aroma sendiri 🙂
wah .. aku baru tahu lho mbak kalau daun kopi itu bisa juga dijadikan minuman
Sebuah kreativitas yg lahir dari kesulitan Mb El. Kalau saja Belanda tak melarang orang Minang minum kopi, istilah melayu kopi daun gak lahir. Dan kopi daun pasti juga tak jadi minuman khas rakyat Minangkabau 🙂
model gula dan bungkusnya sama dengan di disini bu Ev… di sisni di jual perkilo.
rasa kopi daun itu bagaimana bu ?? samakah dg rasa kopi yg dari bijinya ??
Bentuk gula aren batok seperti ini khas Banten Kang Yayan, yang pasarannya menyebar ke seluruh Jawa.
Aku cuma sekali mencoba kopi daun ini Kang, waktu kuliah di Padang. Seingatku rasa kopinya gak terasa deh, cuma samar2 saja. Yg terasa ya mirip daun hehe..
ihh..jahat banget itu penjajah Belanda ya..
Saya dengar itu juga yang terjadi di daerah lain,sehingga muncullah Kopi Luwak..
Bless in disguise juga sih Mbak Dani..Kalau gak ada penindasan, kopi enak Luwak itu pasti gak muncul ke permukaan hehehe..Iyah, penjajah dimana-mana emang jahat, menginjak hak asasi orang…