Cerita jalan-jalan di Bali kali ini terasa istimewa. Karena Pesanggrahan Para Dewata ini tidak pernah membosankan saya. Tak masalah sudah berapa kali datang. Tak terpengaruh walau banyak yang mengatakan bahwa Bali sudah terlalu main stream, terlalu turistik, dan terlalu komersil. Bagi saya tempat ini terlalu eksotis untuk dikenal hanya satu, dua, atau tiga kali kunjungan. Apa lagi tiap kunjungan cuma berbilang hari. Paling lama 7 hari. Jdi masih terlalu banyak hal yang ingin diketahui yang luput dari mata.
Jalan-jalan kali ini dalam rangka mengikuti Hari Raya Nyepi . Saya bagi dalam 4 tulisan. Di mulai dari Cerita Jalan-Jalan di Bali, Upacara Meprani, Parade Ogoh-Ogoh, sampai melihat penduduk Mel Sanur melakukan Ngembak Geni yakni upacara sembahyangan satu hari setelah Nyepi yang diakkhiri mandi suci di laut.
Rencana Reklamasi yang Menggelisahkan
Suasana internasional sudah terasa begitu kaki menjejak kaki di Bandara Ngurah Rai. Sekalipun mendarat di terminal kedatangan domestik, turis dengan berbagai warna kulit dan bentuk mata memenuhi terminal. Belum lagi koper-koper besar dan papan selancar. Bandara Ngurai Rai serasa kampung internasional. Sementara Candi Bentar (gapura) penuh ukiran Bali di gerbang kedatangan menaikan kesadaran tentang budaya yang sebentar lagi kita masuki.
Di pintu keluar sudah menunggu Kenny Mimba. Tuan rumah saya selama berada di Bali
Memasuki Gerbang Tol Ngurah Rai, obrolan saya dan Keny berkisar seputar Tol Bali – Mandara yang megah. Tol pertama di Bali sekaligus sebagai jalan Tol Terapung pertama di Indonesia. Ruas tol yang membentang sepanjang 12,7 km diatas laut ini mengingatkan saya pada Penang Bridge di Malaysia. Uniknya ini lah satu-satunya jalan tol di Indonesia yang menyediakan jalur sepeda motornya di ruas kiri dan kanannya.
Ngurah Rai Tol Gate
Lalu tentang rencana reklamasi Teluk Benoa yang mendapat tantangan dari masyarakat Bali. Pada awalnya saya kurang mengerti mengapa mereka harus menolak reklamasi. Bukan kah itu berarti pertambahan luas daratan Bali dan bisa membangun berbagai infrastruktur di atasnya?
Coba saja lihat tol lintas laut yang sedang dilewati, telah mengurai macet menuju Denpasar dari Bandara.
Kenny guide yang baik. Dia memahami saya tidak mengerti sama sekali apa yang saya bicarakan. Saya tak tahu dampak reklamasi terhadap masyarakat Bali. Atau bencana ekologis apa yang akan menimpa mereka.
Kenyy menjelaskan lewat analogi tentang sebuah batu yang dimasukan ke dalam mangkuk. “Kemana perginya air yang terpindah akibat massa batu tersebut?”
Saya langsung dapat pencerahan: “Artinya sebagian daratan Bali malah akan tenggelam?”
“Sederhananya begitu” Kenny tertawa.
Cerita Jalan-Jalan di Bali – Menikmati Nasi Campur Warung Krishna
Warung Krishna
Selama ini kalau ke Bali saya hanya sebagai turis. Artinya melihat Bali dari luar. Jalan-jalan pun hanya di sekitaran area turis. Makan makanan yang diperuntukan bagi turis.
Maka mumpung sedang jadi tamu orang Bali saya ingin melihat Bali dari dalam. Ikut menikmati makanan yang dinikmati orang Bali sehari-hari. Makanya begitu saya bertemu Tozan (kakaknya Kenny) dan ia bertanya saya mau makan apa, langsung keinginan tersebut saya ungkapkan. “ Saya ingin makan di warung semacam warteg tapi khusus masakan Bali. Ada kah di sekitar sini? ”
Eh ada!
Setelah menaruh koper di Sukun Bali Cottages dengan naik motor Tozan membawa saya ke Warung Krishna. Berbeda dengan warteg yang saya kenal di Serpong, Warung Krishna lapang, bersih, dengan pepohonan rindang mengelilingi. Tersedia dua ruang makan. Di depan warung ada meja kayu dan bangku panjang. Di belakang meja dengan kursi-kursi. Ruang belakang lebih nyaman karena menyerupai teras belakang rumah yang didominasi warna hijau pohon sekeliling.
Warung Krishna hanya menyediakan satu menu: Pecel Ayam Kuah. Tozan menyebutnya nasi campur. Isinya terdiri dari ayam suiran dimasak santan plus diberi irisan kelapa muda. Sekilas mirip opor.
Nasi Campur Bali ini dilengkap kacang goreng, urap, taoge, telur, sambel matah khas Bali, sate ayam lilit. Yang unik Warung Krishna memberi pilihan apakah menu tersebut dinikmati bersama nasi, ketupat, atau bubur. Kebetulan siang itu ketupatnya sudah habis jadi saya memilih nasi. Rasanya enak. Hari pertama saja sudah merasa puas jalan-jalan di Bali.
Alamat Warung Krishna
Jl. Kutat Lestari Nomor 4 Sanur, Denpasar, Bali.
Telepon (0361) 281661.
Menengok Persiapan Upacara Buta Yadnya di Rumah Odah Mangku

Odah Mangku. Perhatikan selendang putih yang melilit pinggangnya. Dikenakan setiap hari sebagai simbol beliau adalah orang suci
Tahun Baru Caka 1938 jatuh pada tangal 10 Maret 2016. Tiga atau dua hari sebelumnya, umat Hindu melakukan Upacara Penyucian. Disebut Melasti atau Melis/Mekiyis. Foto-foto akitivitas ini paling banyak menghias media masa. Begitu pun blog pengalaman liburan di bali banyak membahas tentang Melasti.
Bagai mana tidak? Dengan berpakaian adat putih-putih pria wanita sampai anak-anak, para perempuan dengan Banten di kepala, berbaris membawa segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) untuk diarak ke pantai, danau, laut atau ke manapun yang terdapat sumber air suci (tirta amerta). Mempesona! Foto-foto upacara simbol penyucian atas segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam ini sudah memikat saya sejak kecil.
Sayangnya saya tiba di Bali tanggal 7 Maret. Sementara Melasti masyarakat Sanur sudah dilaksanakan tanggal 6. Tapi tidak kecil hati juga. Jalan-jalan ke Bali kali ini memang penuh berkat. Setelah Melasti ada lagi upacara Buta Yadnya dan arak-arakan Ogoh-Ogoh.
Tentang Upacara Buta Yadnya
Ini kutipan dari Wikipedia mengenai upacara Buta Yadnya tersebut :
Pada “tilem sasih kesanga” (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya. Dilakasanakan di segala tingkatan masyarakat, mulai dari keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya. Membuat salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuan masing-masing. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Nah usai makan di Warung Krishna, Tozan bertanya, saya mau diantar kemana lagi? Kali ini adalah jalan-jalan ke Bali yang istimewa. Langsung terpikir upacara Buta Yadnya ini. Saya ingin dibawa ke rumah penduduk yang tengah sibuk mempersiapkan berbagai keperluan upacaranya.
Untung lah kami tidak perlu pergi jauh-jauh sebab Kakek si Dokter Gigi ini kebetulan seorang Pedande (pendeta) yang disebut Pemangku. Di mana lagi tempat paling tepat melihat persiapannya kalau bukan di rumah beliau?
Cerita Jalan-jalan di Bali – Melihat Kesibukan Odah Mangku Menyambut Hari Raya Nyepi
Simbok yang membantu Odah
Memang lah saat kami tiba nenek dari Tozan yang dipanggil Odah Mangku, beliau sedang sibuk di Bale Dauh. Salah satu bale di rumah tradisional yang berfungsi sebagai tempat kerja, pertemuan dan tempat tidur anak laki-laki. Tangannya sibuk membuat janur untuk hiasan caru.
Sulit bagi saya membayangkan bahwa wanita lembut ini pada masa mudanya pernah menjunjung Banten setinggi satu meter dengan naik sepeda. Ia tergelak saat saya katakan betapa kuat tulang leher dan betapa bagus keseimbangan tubuh Odah.
Tebu, Sambal Matah, dan Bunga yang menunggu giliran penataan
Sementara seorang wanita lebih muda yang dipanggil simbok sibuk menata canang sari (wadah terbuat dari daun kelapa) ke dalam besek. Di hadapan mereka bertebaran daun kelapa muda, canang sari berisi berbagai nasi berikut lauknya, beras, bunga, buah-buahan, air suci, kendi, dan besek-besek bambu. Sambil tetap bekarja mereka menjawab semua keingintahuan saya dengan ramah.
Banten (sesembahan) sebanyak itu akan diletakan di Sanggah dan beberapa tempat suci lainnya di rumah Odah. Mengingat jumlahnya yang banyak saya pikir tadi akan dibawa ke Pura, tapi ternyata tidak. Banten-banten ini hanya untuk keperluan rumah.
Kemudian Tozan memperlihatkan kepada saya Sanggah (Pemerajan) milik keluarganya. Sanggah Kemulan tepatnya. Ini adalah tempat suci di pekarangan rumah, tempat bertahta Sang Bhatara Hyang Guru, dan tempat pemujaan atau pengayatan ajaran Tri Murti. Sanggah kemulan juga merupakan tempat suci untuk memuja Bhatara-Bhatari leluhur atau Dewa Pitara. Oh ya sebuah tempat baru bisa dinamai Sanggah atau Pemerajan bila minimal terdapat Kemulan Rong Tiga sebagai Linggih Tri Murti atau Leluhur, Linggih Sedana Penglurah, dan Gedong Linggih Taksu.
Begitu lah fondasi tradisi budaya Bali yang berakar kuat pada tradisi Agama Hindu. Cerita jalan-jalan di Bali kali ini sungguh membuka wawasan. Orang Bali sejak dalam kandungan sampai kematian menjalani berbagai upacara. Di lakoni setiap hari maupun mengikuti penanggalan.
Ini salah satu alasan mengapa mereka unik. Untuk membuat cerita jalan-jalan di Bali tak sulit mendapat bahannya. Beruntung saya dapat kesempatan melihat Bali dari dalam.
Sanggah di rumah Odah Mangku
82 comments
Jalan tol itu keren. Terima kasih pak Dahlan Iskan yang punya ide brilian dan mengejawantahkannya.
Memang megah benar tolnya, Pak Alris 🙂
Aku dengar2, banyak yg menolak reklamasi karena di teluk Benoa itu ada beberapa titik sakral bagi masyarakat adat Bali, selain merusak ekosistem. Apa Kenny bahas itu juga?
Jadi pingin nyoba juga ke Bali sendirian juga deh.., melihat Bali dari dalam. Terakhir bareng istri dan anak soalnya 😀
Hahaha..Kenny tidak membahas ini Mas Yo. Mungkin dia lihat ibu-ibu di sampingnya kurang informasi. Belakangan saya baca memang begitu, reklamasi akan menengelam sebagian darat yang berarti jika ada tempat suci di sana juga akan lenyap..
Ke Bali sendirian seru Mas Yo..Walau seru bersama mantan juga beda lagi wkwkwkwk…
Waktu ke Bali dulu itu, sama supir mobil sewaan diajak makan siang di warung Krisna. Porsinya besar kalau buat saya 😀
Iya Teh Dey, porsinya besar. Aku juga gak habis kemarin 🙂
Lucky you, mba Ev. Penasaran juga akan Bali di kala Nyepi.
Nanti cobain sesekali Mbak Ratna. Sebelum Nyepi tiba ada banyak upacara adat yang bisa dilihat 🙂
Pertama kali lewatin tol laut itu saya bilang kediri sendiri “duh ini keren!” Seorang kenalan pertama datang ke bali bilangnya juga terlalu turistik mirip disneyland saya bilangnya apapun yg kau sebutkan aku tetap cinta Bali 🙂
Hahaha iyaMbak Ru..Bali tetap yg paling menyenangkan kalau sdh ngomong infrastruktur turis yang lengkap. Untuk menginap saja tiap jengkal ada hotel. Sesuaikan saja dengan isi kantong 🙂
Sampai sekarang, aku belum pernah ke Bali. Dan cuma bisa bilang ‘Bali indah banget ya :” waktu baca-baca ini :’
Semoga kesampaian suatu hati Feb. Amin 🙂
Aamiin Mbak :)) Semoga ya :’) Hihihi
Canang sari nya kayak nasi campur gitu ya mba, penasaran dengan rasanya :D. Aku pernah ke Bali waktu Nyepi, tapi udah lamaaaaa banget, zaman masih sekolah dulu dalam rangka liburan bareng ortu. Yang aku inget, mau cari makan aja sampe nyerah karena pada tutup tempat makannya… hiks.
Pas Nyepi semua usaha memang tutup sih. Biasanya hotel yg akan stock makanan. Maklum kita kan gak boleh keluar…
Canang sari itu wadah untuk menyajikan sesajian Mbak, Molly. Isinya memang campur-campur 🙂
Iya ya kak Evi,,, baru – baru ini Bali di sorot karena masalah reklamasi,,,,
Sempat nggak mudeng juga sieh kak, kalau reklamasi itu benar terjadi berarti kan logikanya bertambah ya? tapi kok malah berkurang…
Tapi aku pribadi kok malah setuju menolak ya? logikanya Bali kan menjunjung nilai religius yang tinggi,,,, konon katanya kalau benar akan di reklamasi malah ada sebagian tempat suci kayak pura yang hilang,,, ah mbohlah malah mumet memikirkannya,,,, Semoga bisa terpecahkan lah masalah ini, dapat win win solution,,,,,
Bali dari dulu memang oke, mainstream nggak apa – apa, semoga tempatnya tetap terjaga 🙂
Iya Mas Anis. Semoga pemerintah dan masyarakat Bali saling mendengarkan ya. Kalau sampai ada pura yg harus hilang demi kepentingan kemajuan ekonomi, tentunya akan sumbang yah…:)
Saya yakin nuansa Nyepi di Bali akan sangat berbeda; karena sangat murni dan adat istiadat dijaga dengan begitu kukuhnya. Jujur saya belum pernah Nyepi-an di Bali dan saya belum bisa membayangkan seperti apa rasanya :hihi (nasib perantauan sejak lahir).
Duh makanannya bikin ngiler… terima kasih rekomendasinya Mbak, saya kini bisa mengajak kawan-kawan di sini juga kalau ingin makan masakan Bali :)). Dan mendadak kangen dengan rumah kalau sudah lihat canang–biasanya saya di rumah yang mebanten–berkeliling dan meletakkan canang-canang itu di pelinggih dan tempat lainnya. Cuma bentuk canangnya beda–yang di foto itu khas Bali selatan, sementara canang di tempat asal saya, Buleleng (Bali utara), jauh lebih sederhana tanpa jangan ulam (kacang, ikan asin, dan telur), sebab canang di tempat saya isinya cuma bunga dan irisan daun pandan.
Ah maaf kalau komentarnya kepanjangan.
Wow..terima kasih sudah memberi informasi tambahan dalam pos ini, Gara. Jadi isi canang antara Bali Selatan dan Utara sedikit berbeda ya.
Semoga suatu hari Gara bisa Nyepi di tanah leluhur. Amin 🙂
Wah saya salut sama mbak Evi sampai peduli ke reklamasi teluk Benoa yang kadang sulit dipahami orang; apa sih salahnya reklamasi? Orang yang menolak reklamasi berpikir; Bali sudah begini adanya, gak perlu ditambah, gak perlu dikurangi.
Lha kalau kita menambah daratan lagi, itu artinya kita siap-siap kehilangan daratan lainnya. Saya khawatir, jika teluk Benoa jadi diurug dengan tanah, abrasi akan menyerang pesisir selatan Bali, yang Jembrana ada pada jalur itu. Saya sebagai orang Jembrana pun merasa keberatan.
Sorry komentarnya jadi panjang. Btw, fotonya bagus-bagus, saya lihat komposisinya maknyus, saya jadi curiga kalau mbak Evi ini fotografer. Salam.
Ternyata masalah reklamasi di Bali memang ruwet ya Bli. Membaca beberapa alasan penolakan saya jadi paham mengapa masyarakat melakukannya. Semoga ada kearifan yang dilakukan pemerintah sebelum memutuskan menjalankan reklamasi.
Ngomong2 tentang fotografer, hahahaha iya saya fotografer Bli. Tapi tambahkan ala-ala di belakang yah..Terima kasih atas pujiannya
Reklamasi memang berdampak lumayan besar sama ekosistem laut, baca2 katanya reklamasi yang lumayan besar yang dilakukan di Manado sejak bertahun2 yang lalu itu adalah salah satu penyebab rusaknya terumbu karang di Bunaken 🙁
Foto-fotonya indah2 sekali mbak Evi dan ceritanya juga bikin terhanyut..hehe…
Iya sekarang pesona laut bunaken sudah tidak seperti dulu ya Jeng Lis. Semoga gak kejadian juga lah di Bali. Sayang banget kan kalau sampai pesona negeri dewata ini terkurangi..
Thanks Jeng…:)
bundaaa… aku blm perna ke bali pas ada acara2 begitu. kalo ke sana, pasti nyarinya yg low season.. jadi enak banget jalan2nya, trus di dompet ramah juga.. hahahha…
oiya, di surabaya juga ada tol yg menyediakan ruas buat motor, jembatan suramadu itu, bunda 😀
Kemarin itu, suami saya nyusul setelah kegiatan festival selesai Mbak Eda. Benar kata dirimu, Bali pas low season ini murah. Aku dapat hotel yang semalamnya 1 jutaan di diskon sampai 50 persen lebih. Terus di tempat lain dapat upgrade kamar. Duh senang banget 🙂
saya belum pernah ke Bali euy! hahaha adooow suka ngeces kalo lihat catatan perjalanan orang ke Bali 😀
Nah memang pesona negeri ini terus saja terpoles oleh berbagai even dan dibukanya destinasi2 baru, Mbak Nurul 🙂
Ah Bali… Saya juga senang dengan Bali. Kehidupan masyarakatnya masih adem, ayem, tentrem beda dengan suasana ibukota.
Begitu juga saya Mbak. Yang paling saya sukai adalah kehidupan relijiusnya…:)
Ah sudah lama saya tidak ke Bali …
Jalan Toll sudah jadi …
Seperti apa wajah Bali sekarang ya …
as ussual … foto-fotonya … bagus !
Salam saya
Menurutku lebih moderen, Om. Sekalipun kehidupan beragamanya tetap kental.
Terima kasih atas pujiannya, Om 🙂
tol suramadu juga ada ruas untuk pengendara motor, bundaa.. malah duluan suramadu keknya dari tol bali inii 😀
Oh iya Suramadu juga ada ya Mbak Eda..Hahaha..Lupa
Bali selalu mempesona. dari segala aspek, dan terima kasih sudah memberikan kita insight dari dalam. saya juga pernah tuh Bu, naik motor sambil selfie dan ngambil video di tol di atas laut itu. cakep hasilnya. hahaha
Membayangkan selfie sambil di atas motor. Apa lagi kalau dibikin video, keren itu pasti Kak Arief 🙂
kulinernya maknyus2 mbak jadi pengen kesana lagi…
Iya. Uniknya Bali ya, Sobat Azmi
Aaaakkkk kangen makan sate lilit >__<
Yuuk ke Bali, Mas Alid 🙂
Mbak, aku pengen banget experience Nyepi seperti ini, pasti lebih berkesan dan dapet spiritnya. Sebenernya gak harus Nyepi sih, tapi semua destinasi dengan perspektif lokal 🙂 #curhat
Hahahaha. .Kapan2 kita traveling bareng yuk Kak Gio, kita cari orang tua angkat di destinasi. Pasti deh banyak banget nemu perpektif lokal
beruntungnya kita diwakili uni melihat sisi Bali dari posisi non turis..
Alhamdulillah, MM 🙂
Wah beruntung sekali Bu Evie bisa melihat secara langsung dari persiapannya 🙂
Ditunggu kelanjutannya.
Insya Allah sudah ada ttg Upacara Meprani untuk kelanjutannya Mas Timo
dari sekian banyak kisah, saya merhatiin masalah penolakn reklamasi, sampe segitu nya yah, saya ga ngerasa efek langsung krn ga tinggal di Bali
Untuk yang bukan orang Bali reklamasi tidak menyentuh secara emosi, Mas Kholis. Tentunya berbeda dengan orang Bali asli 🙂
memang beda rasanya kalau mengunjungi suatu tempat sebagai turis, dan sebagai warga biasa, feelnya bakal lebih dapet jika kita datang sebagai warga biasa, there’s a
Iya, banyak cerita yg kita dapat saat berinteraksi dng warga lokal
pingiin banget berkunjung ke bali..
Semoga kesampian ke Bali Alfatih 🙂
begitulah ya mbak, kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat terkadang harus mengorbankan alam yg entah kapan akan membawa masalah juga buat kita. sementara itu sih dinikmati dan dimanfaatkan aja dlu fasilitas yang ada apalagi sambil menikmati kuliner Bali yg maknyus. itu pecel ayam kuahnya serius bikin ngiler uni 😛
Kalau melihat dari kacamata rakyat Bali memang sebaiknya begitu ya Mbak Muna. Jika reklamasi bisa menimbulkan bencana ekologi sebaiknya memang harus dipertimbangkan lagi 🙂
Bahaya banget kalau sampai reklamasi itu terealisasikan. Berharap Bali seperti ini saja, kalau inget Benoa selalu ingat waktu ke Lembongan.
Iya semoga Bali dibiarkan sendiri. Gak usah lah tanahnya diutak-atik ya Mas Sitam 🙂
menikmati sekali tulisan mbak evi, cerita dan foto2nya eh nggak kerasa udah sampai kolom comment. Reklamasi sekarang ini isu yang sangat meresahkan yaa, apalagi bagi nelayan dan aktivitivis lingkungan. Btw salam kenal mbak evi
Iya Mbak Khairiah. Kalau reklamasi akhirnya merusak keseimbangan alam tentunya meresahkan bagi kita semua 🙂
Beruntung banget mbak bisa melihat masyarakatnya dari dekat. Waktu aku ke Bali, drivernya pun ngobrol panjang lebar ttg reklamasi. Kok seperti ada yg nggak nyambung antara masyarakat & para pembuat kebijakan ya?
Pemerintah melihatnya pada keuntungan ekonomi sajs. Dengan reklamasi mereka bisa membangun infrastruktur yang mendukung industri seperti pelabuhan misalnya. Mbak Lusi 🙂
Wah.. ulasannya lengkap… kereeen
Wow… cerita di balik sesajen sampai reklamasi. engkaaap
Sekalian Mbak Susi, jadi kalau ada cari informasi ttg Bali di sini bisa tercover semuanya
Allhamdulillah sudah merasakan jalan tol diatas laut itu di Denpasar Mbak. Bisa belajar buat sate lilit juga di sana
Wah saya belum pernah bikin sate lilit nih Mbak Lia 🙂
Mbak Eviii..keren fotonya. Ajarin dong bikin foto2 yang blur latar belakanganya kayak foto2 diatas. hehe.
Ngomong2 reklamasi, jadi inget teluk Jakarta juga yang lagi rame masalah reklamasi untuk bikin 17 pulau buatan. Mungkin hampir mirip dengan analogi yang disampaikan di artikel atas ya Mbak? dampak ke lingkungannya. Syerem juga. Sedikit mengerti Mbak, walaupun saya masih ngga mengerti dengan kebijakan2 dan perpolitikan yang ada saat ini.
Saya juga iri dengan Mbak Evi, bisa menyaksikan Bali dari dalam, Saya suka Mbak, travel2 seperti ini. Selama ini saya juga kebanyakan jalan sebagai turis, tapi saya pengen banget bisa mengetahui sampai dalam seperti ini. Kalaupun punya kesempatan ke Bali lagi, kayaknya sulit juga ya Mbak, kalau ngga punya kenalan di Bali yang mengerti adat istiadat Bali. Hiks…pengen. Keren Mbak, tulisannya.
Hahahaha..Mbak Levina, gak susah kok membuat foto-foto bokeh. Yang penting setting cameranya manual, terus kecilin angka di Aperturenya…Kalau saya cuma gitu doang tipsnya…
Iya aktivitas reklamasi selalu menimbulkan pro dan kontra. Karena masing-masing yang berkepentingan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Saya sih berharap reklamasi tidak merugikan siapapun 🙂
Lagi banyak unjuk rasa menolak reklamasi.
Btw kenapa hindu bali di katakan mahal hehe
Agama Hindu mahal, menurut saya, karena dari dalam perut sampai meninggal, terus tiap hari ada upacara Mas Cum. Alat-alat untuk upacara itu kan harus dibeli 🙂
wah bali sudah punya trand mark yg melekat ya mbak… semoga aja tetep damai aman deh…
Posisi branding mereka sebagai surga wisatawan memang sudah kuat, Mas Angki 🙂
Saya sangat riang membaca tulisan ini. Saya merasakan begitu besar peluang bagi saya untuk menikmati Bali dengan sederhana, dari dalam. Menghindari titik-titik turisme, berbaur dengan warga setempat. Saya yakin masih banyak banget titik-titik tersembunyi yang lebih unik dan meluaskan cakrawala berpikir 🙂
Setuju banget Mas Rifqy. Bali tidak hanya cantik di tourism spots tapi pesona sesungguhnya terletak di sebelah dalam. Semoga Mas Rifqy juga dapat kesempatan seperti saya. Amin 🙂
Bali memang selalu mempesona.
Jadi ingat waktu masih mau sekolah SD udah diajak liburan ke Bali.
Sungguh menyenangkan
Yang menggelarinya sebagai Pulau Dewata dulu, melihatnya dalam citra cantik itu Mas Rastaman 🙂
Iya, saya setuju dengan “Bali tidak pernah membosankan”. Satu bulan penuh di Bali pun mungkin gak akan cukup untuk mengeksplore keseluruhan pulau ini. Apalagi kalau cuma datang 3-4 hari.
Na setuju sepertinya sebulan juga tidak akan cukup untuk mengeksplorasi seluruh keunikan yang ada di Bali. Makanya datang berkali kesini pun tidak akan bosan 🙂
Catatan perjalanan yang mengesankan… Itu kenapa kami selalu suka tinggal di Bali 🙂
Iya Bali memang tidak habis-habis pesonanya 🙂
bali memang memiliki sejuta kenangan, pengalaman yang sulit untuk dilupakan, awesome bali bun..
Iya Aura Bali sendiri Memang sudah menarik. Begitu banyak hal yang bisa diceritakan dari dalam 🙂
Halooo..uni Evi 🙂 Wah, Maca tulisan uni rasanya ga habis2 deh. Lengkap banget, apalagi makanannya di Warung Krishna menggugah selera hehehe. Terakhir aku ke Bali tu tahun 2012 deh, jadi aku belum tau riil nya kayak apa Bandara Ngurah Rai yang baru dan jalan tolnya juga. Alhamdulillaah bisa ngebayangin dari cerita uni Evi 😀 Hebat banget terbang sendirian ke Bali dan jadi tamu istimewa di acara tsb. Aku belum pernah coba sate lilit. Setahuku terbuat dari ikan ya, eh ternyata ayam juga ada. Mantap deh. Semoga suatu hari nanti ada momen pas traveling ke Bali lagi. Mkasih uni Evi…mmmuuah!
Halo Mbak Nurul. Terima kasih sudah mampir kesini dan membaca tulisan tentang Bali. Iya saya jarang-jarang travelling sendiri. Begitu dijalani asik juga ternyata