Beberapa waktu lalu terjadi sedikit kehebohan di sosial media khususnya di kawasan travel blogger. Gegara ada media yang menulis tentang beberapa kriteria traveler pemula. Salah satunya yang suka memotret di pesawat. Maksudnya kalau tak mau dianggap traveler pemula jangan memotret selama penerbangan. Dengan bahasa lain kalau tak mau dianggap norak jangan berbuat norak.
Sebab traveler sejati, benaran, veteran, dan berpengalaman tidak melakukan hal seperti itu. Mereka sudah banyak bepergian dengan kapal terbang, sudah melihat banyak tempat yang indah-indah, sudah bosan, jadi pemandangan dari jendela pesawat tidak akan memukau mereka lagi.
Travel Pemula Atau Bukan, Keindahan Itu Hak Semua Orang
Dan saya terbahak karena merasa gue banget, merasa di dalam barisan traveler pemula itu, merasa norak. Namun entah mengapa tetap bangga karena bisa memperturutkan hobi jalan-jalan.
Saya tak berkecil hati. Tahu banget bahwa ngetrip model ibu-ibu seperti saya emang banyak keterbatasan. Berada di luar lebih dari tujuh hari saja sudah bikin termehek-mehek rindu rumah. Belum lagi mikirin duitnye. Advance traveler tidak seperti itu. Mereka tahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di perjalanan.
Yang paling penting masuk dalam barisan traveler pemula pun saya tak kekurangan rasa bahagia. So what gitu loh? Saat membuka komputer dan melihat lagi file foto lama yang dibuat selama penerbangan, berterima kasih pada diri sendiri. Punya koleksi foto lansekap lumayan dari sudut pandang mata burung. Lumayan juga buat update Instagram kapan-kapan.
Walau saat mengambilnya memang ada perasaan sungkan, malu, dan takut disebut norak. Untungnya rasa ingin tahu mengalahkan perasaan negatif tersebut. Malah salah satu penghuni komputer saya adalah bangunan Masjid Raya Sumatera Barat yang dari atas, dari jendela pesawat. Foto ini tertangkap lensa tak sengaja. Sesaat sebelum mendarat di Minangkabau Internasional Airport – Padang tahun 2013, saat asyik motret-motret dan ditegur pramugari agar mematikan camera karena kami segera mendarat, saat itu lah foto ini itu tercipta.
Masjid Raya Sumatera Barat yang ditemukan tak sengaja
Waktu itu tidak tahu bahwa bangunan unik itu adalah Masjid Raya Sumatera Barat. Bahkan tak tahu kalau itu sebuah masjid. Tak ada kubah di atasnya. Untung seseorang sharing posting artikel berjudul Menuju Minangkabau International Airport di Kaskus. Atas komentar member Kaskus baru tahu kalau itu adalah bangunan Masjid Raya Sumatera Barat.
Dan kalau saja saya tidak punya foto itu, saat kembali ke Padang Maret lalu, saat melintas di Jalan Khatib Sulaeman, pasti tidak akan kepikiran untuk mampir. Kalau tak mampir artinya hilang satu momentum yang bisa ditulis di sini : Masjid Raya Sumatera Barat – Keindahan dari Atas Langit. Moral of the story : Selalu ikuti kata hati. Jangan terlalu mudah terintimidasi. Masalah kita dan orang lain berbeda.
Sejarah Masjid yang Dikagumi Traveler Pemula dari Jendela Pesawat
Masjid Raya Sumatera Barat mulai dibangun tahun 2007. Terkendala masalah dana sampai sekarang pun belum selesai. Tak heran sih karena bangunan besar sekali dengan luas 4.430 meter. Konon sanggup menampung 5.000-6.000 jemaah. Untuk motret saja saya sudah bergeser, mepet ke tepi jalan namun tetap tak ter-cover seluruh atap oleh lensa murahan saya. Itu tak menghentikan rasa kagum bahwa saya sudah menginjakan kaki di sini. Jika kelak ia menyandang ikon Pariwisata Sumatera Barat setidaknya saya pernah menulis tentangnya.
Mengenai gaya rancang bangun yang unik dan penuh nuansa sejarah ini itu saya kutip penjelasan dari Wiki :
Arsitektur Masjid Raya Sumatera Barat memakai rancangan arsitek Rizal Muslimin, pemenang sayembara desain yang diikuti oleh 323 arsitek dari berbagai negara. Terseleksi 71 desain yang jurinya diketuai oleh sastrawan Wisran Hadi. Konstruksi bangunan di sesuaikan dengan kondisi geografis Sumatera Barat yang sering diguncang gempa berkekuatan besar. Rancang kompleks bangunan dilengkapi pelataran, taman, menara, ruang serbaguna, fasilitas komersial, dan bangunan pendukung untuk kegiatan pendidikan.
Masjid Raya Sumatera Barat tidak berkubah. Bentang atap bangunan simbolisasi dari kain yang digunakan saat memindahkan batu Hajar Aswad –batu yang diyakini umat Islam berasal dari surga. Ketika Kabah selesai di renovasi, empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berselisih mengenai siapa yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula. Lalu Nabi Muhammad dapat ide dengan meletakkan batu Hajar Aswad di atas selembar kain. Dengan cara itu Hajar Aswad bisa diangkut oleh tiap perwakilan kabilah. Masing-masing memegang tiap sudut kain.
Baca juga:
- Sumatera Barat
- Trinity The Nekad Traveler Movie
- Asal Mula Tahun Baru Imlek ( Chinese Festival)
- Rumah-Rumah yang Ditinggalkan
Bagian dalam Masjid. Foto milik Wikipedia
Bangunan Masjid Raya Padang dipenuhi oleh berbagai simbol adat Minangkabau. Empat sisi kain yang mencuat ke atas menggambarkan gonjong-gonjong rumah adat. Hiasan atau ornamen setitiga pada dinding menunjukkan tali tigo sapilin yang merupakan tiga unsur dalam pemerintahan nagari di Minangkabau: Pemerintah, Alim ulama dan Niniak Mamak. Ada juga segi enam yang merujuk kepada rukun iman.
Kalau saja banyak waktu Masjid Raya Sumatera Barat adalah salah satu tempat terbaik yang bisa dijadikan sumber untuk menggali roh sosial orang Minang. Sayangnya hari itu saya sudah merasa puas dengan motret-motret saja dari luar. Ah pengalaman memang tak bisa berdusta. Ini salah satu lagi ciri khas traveler pemula … 🙂
Berhasil mendapatkan foto Masjid Raya Sumatera Barat dan label traveler pemula, keasikannya saling melengkapi dalam membuat pos ini 🙂