Benarkah kita bangsa tempe?
Tak ada orang Indonesia yang tak mengenal tempe. Begitu ngetopnya makanan dari fermentasi kedelai ini setelah nasi. Sudah begitu tempe tak mengenal batasan demografi pula. Tua-muda, kaya-miskin, lelaki-perempuan, Jawa dan non-Jawa menerimanya kehadirannya seperti halnya menerima nasi sebagai makanan sehari-hari.Segitu cintanya kita pada tempe sampai-sampai untuk konotasi negatifpun kita menggunakan kata tempe. Otak tempe, mental tempe atau bangsa tempe.
Sejarah Tempe
Sekalipun kedelai telah dimanfaatkan selama lebih dari 500 tahun, namun pembuat tempe pertama di Indonesia tercatat dalam sejarah adalah nenek moyang orang Jawa. Khususnya mereka yang berada di tatanan budaya Jogjakarta dan Surakarta. Saya baca dari Wiki bahwa dalam manuskrip Serat Centhini, bab 3 dan bab 12, dengan seting Jawa abad ke-16 telah ditemukan kata tempe. Melalui penyebutan sejenis hidangan bernama jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan.
Dari Jawa teknik pembuatan tempe yang kaya serat ini menyebar ke seluruh Indonesia. Sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air. Kisah perjalanan sumber protein murah ini melebarkan sayap ke Eropa, bahkan tahun 1940 tempe diperkenalkan ke Negara Zimbabwe.
Bisa dimaklumi kalau Indonesia jadi negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Konon sebanyak 50% konsumsi kedelai Indonesia digunakan untuk membuat tempe, 40% tahu, dan 10% berbentuk produk turunan seperti tauco, kecap, dan lain-lain. Dari data yang saya kutip dari internet, konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini sekitar 6,45 kg.
Tempe Makanan Impor?
Dari sekitar dua juta ton kebutuhan kedelai pertahun Indonesia cuma memproduksi sekitar 20-30%. Sisanya di impor dari Amerika maupun negara lainnya. Gara-gara ini bangsa kita sering geger karena harga kedelai suka merambat naik tak terduga. Kawan tentu masih ingat baru beberapa bulan di belakang produsen tempe-tahu ramai-ramai mogok berproduksi. Membuat ibu rumah tangga dan rumah makan menjerit-jerit karena tak menemuka makanan keramat ini di pasar. Kalaupun ada harganya tidak identik lagi sebagai makanan murah.
Ini yang mengherankan. Sudah tahu suka tempe, kebutuhannya begitu banyak, mengapa petani tak digerakan untuk menanam kedelai? Benar kah kita bangsa tempe?
Waktu geger kedelai kemarin, seperti biasa pemerintah cuma kasih solusi reaktif. Seperti Pak Dahlan Iskan selaku menteri BUMN akan mencoba menanami lahan-lahan milik BUMN yang menganggur dengan kedelai. Begitu isu kedelai lenyap, senyap pula kabar program tersebut. Saya sih berharap sekalipun harga kedele impor turun Pak Dahlan tak ikutan mengantuk.Kita tetap harus bisa menaikan produksi kedele dalam negeri. Apa lagi jika yang dikemukan adalah kedeleai lokal, pasti jauh lebih baik!
Mengapa harus mengembangkan Kedelai Lokal?
Benarkah kita bangsa tempe? Setidaknya benar kalau melongok ke Majalah Respect 07 Februari. Menurut mereka sebagian besar kedelai impor datang dari Amerika Serikat. Dan itu merupakan hasil perkebunan dengan rekayasa genetik (GMO). Maksudnya di dalam kedelai disisipi berbagai gen, seperti bakteri dan virus, agar kedelai tahan terhadap herbisida, zat kimia pembasmi gulma. Nah kalau teman-teman peduli pada kesehatan keluarga maupun bangsa coba searching bahaya makanan GMO, pasti bergidik.Saya sih kuatir jika kebiasaan makan tempe atau produk turunan kedalai lainnya dari bahan baku seperti ini, suatu hari tak perlu bertanya benarkah kita bangsa tempe?
Berbeda dengan kedelai impor, kedelai lokal berasal dari pertanian tanpa rekayasa genetik. Sebagian besar dipasok oleh petani kedelai NTB. Kedelai yang bulirnya lebih kecil dari impor ini menghasilkan tempe lebih gurih dan legit.Tidak mudah basi dan asam. Itu karena kedelai lokal lebih segar, berasal dari panen musim sebelumnya. Sementara kedelai impor sudah digudang selama bertahun-tahun.
Tempe anyone?
@eviindrawanto