Teman pernah di potret dengan camera jadul yang langsung jadi itu? Kami pernah! Setidaknya foto polaroid pernah mematri kenangan kami di Bromo. Ini salah satu kenangan yang sangat berharga karena hampir sebagian besar foto-foto kami sekelurga di tahun 2008 ke bawah musnah semua. Foto-foto tersebut disimpan secara digital. Dan suatu ketika komputer penyimpannya crashed! Foto-foto kenangan semasa anak-anak masih kecil ludes semua. Pahit!Pedih! Tapi hidup harus tetap berjalan, bukan
Nah tiga foto polaroid di Bromo ini saya scan langsung dari kertas polaroid yang sudah mulai luntur. Walau sudah pernah mengalami pengalaman pahit tetap saja lebih masuk akal menyimpan secara digital. Karena foto-foto yang dicetak di kertas ini pada akhirnya juga akan rusak.
Baca juga :
Dua Spot Hunting Foto Eksotis di Cirebon
13 Foto Bukit Cinta Rawa Pening Ambawara
Foto Jembatan Darul Hana Kuching Sarawak
Rencananya foto-foto lama yang dulu dicetak akan saya scan semua. Agar kelak anak-anak punya kenangan yang bisa diceritakan pada anak-cucu mereka.
Maklum lah cara kita membekukan kenangan terus berubah. Dulu kita memotret dengan camera film seluloid. Hasilnya harus di cetak diatas kertas di studio foto. Sekarang dengan camera digital hasilnya bisa disimpan selama ratusan tahun tanpa mengalami perubahan warna. Kecuali jika media penyimpannya rusak!
Foto Polaroid di Bromo Tahun 2002
Jalan-jalan ke Bromo ini tahun 2002. Si sulung duduk di kelas 4 SD sementara adiknya kelas 1. Atau sekitar tahun itu lah kalau saya benar menghitungnya 🙂
Walau bawa camera sendiri, dari pengalaman tahu bahwa hasil tukang potret keliling jauh lebih bagus dari hasil jepretan sendiri. Maka sebelum mengelilingi padang pasir Bromo dengan kuda, kita sepakat untuk minta di foto dengan camera polaroid. Waktu itu bakat narsis saya sudah keluar. Habis di potret saya langsung meluncur dari punggung kuda untuk melihat hasilnya. Eh ternyata tidak langsung jadi juga. Mesti diangin-angin sekitar sepuluh menit baru gambarnya muncul. Itu pun berupa gambar buram.
Ya sudah lah ikut nasihat tukang potretnya untuk jalan-jalan dulu, balik ke tempat itu lagi fotonya pasti sudah jadi.
Saat camera digital belum muncul ke permukaan, camera dengan film masih mendominasi, camera dengan logo khasnya garis-garis ini jadi legenda. Paling sering ditemukan di tempat-tempat wisata, disandang olah juru potret komersil.
Sekalipun wisatawan sering bawa camera sendiri jasa tukang potret polaroid ini laris manis. Maklum lah untuk melihat hasil foto camera sendiri kan perlu waktu untuk membawanya ke studio cetak. Sering pula hasilnya kurang memuaskan. Disamping tak bisa melihat langsung hasil jepretan, kita juga berhemat dalam penggunaan film. Jadi momen-momen yang dianggap penting saja yang di potret. Takut filmnya cepat habis.
Untuk Adit dan Valdi
Untuk Adit dan Valdi, jika suatu saat kalian membaca tulisan mama ini, ingat lah kita telah melalui beberapa revolusi digital. Dari camera film selulloid yang tiap jepretannya perlu dihitung, sisa berapa, sampai ke camera DSLR yang tak pernah dihitung sudah jepretan ke berapa.
Tahu-tahu memory cardnya sudah penuh. Jika kalian setua mama-papa saat ini, yakin deh, camera yang kalian gunakan akan lain lagi. Dan kalau itu benaran terjadi coba tulis surat untuk mama di surga ya 🙂
Punya kenangan dengan polaroid juga, temans?