Gulai tengkleng Mbah Galak termasuk kuliner Solo yang sudah jadi buah bibir. Tak hanya faktor namanya yang aneh, Mbah Galak –sering membuat orang bertanya ulang — tapi juga rasa gulainya yang enak. Ini yang membuat orang merekomendasikan tempat ini kepada teman atau kerabat yang berkunjung ke Surakarta, seperti yang saya alami kala berkunjung ke sana beberapa waktu lalu.
Tapi kita tidak akan berjumpa dengan Simbah yang suka marah-mara di sini. Karena berbeda dari sebagian besar orang Solo yang kalau bicara bersuara halus, pemilik warung Mbah Galak bersuara besar, itulah mengapa ia dipanggil Mbah Galak. Sementara itu, berbeda dari julukannya, warung gulai tengkleng Mbah Galak yang terletak di jalan Ki Mangun Sarkoro ini jauh dari kesan namanya. Di sini selalu terdengar celoteh riang, obrolan santai, dan desah enak dari lidah-lidah yang sedang bergoyang. Ruangnya sempit dan panas tidak menyurutkan animo atau membuat mundur lalu mencari warung makan lain. Malah sepertinya sudah ada kesepahaman tak tertulis diantara pengunjung bahwa yang sudah selesai makan harus segera angkat kaki, bergantian dengan mereka yang masih antri di luar.
Gulai Tengkleng Gulai Tulang
Gulai Tengkleng merupakan olahan tulang iga kambing muda yang masih ditempeli sedikit daging. Saya pikir ini salah satu kreativitas dari bangsa Indonesia, memanfaatkan sisa bahan makanan untuk diolah lagi jadi hidangan istimewa. Seperti terlihat dari penampakannya, tengkleng ini mungkin belulang dari sisa sate atau tongseng. Dua menu yang juga jadi andalan top di Warung Tengkleng Mbah Galak. Dengan kata lain gulai tengkleng mbah Galak adalah sop atau gulai dari tulang-belulang kambing.
Porsi Besar
Saya terkejut saat dihidangkan sepiring munjung gulai tengkleng. Ini kambing saudara-saudara! Walau tensi darah saya bersahabat bau daging kambing itu pernah membuat trauma. Apa iya sanggup menghabiskan gulai sebanyak itu? Teman saya menghibur. Penampakannya saja yang menyeramkan, nanti kalau dikudap dagingnya cuma sedikit kok. Untungnya lagi trauma saya terhadap bau daging kambing tak terulang disini. Gulai tengkleng Mbah Galak sedap saudara-saudara!  🙂
Kunjungan ke Mbah Galak di provokasi juga oleh teman tersebut. Menurutnya kunjungan ke kota Pak Jokowi ini tak lengkap kalau tak memasukan Mbah Galak sebagai salah satu destinasi. Tentu saya iyakan dengan memintanya untuk langsung membawa kami  ke sana begitu mendarat di Solo. Rupanya teman tersebut tak sekedar ngecap.

Memasak Tengkleng
Tengkleng dan tongseng yang sudah diracik di dapur belakang dipinahkan ke depan, ke ruang dimana tamu-tamu bisa melihat proses memasaknya. Jadi sebelum dihidangkan tengkleng dimasak ulang diatas tungku barbahan bakar arang batok kelapa. Mungkin ini yang jadi ciri khas Mbah Galak, aroma dari asap arang kelapa ikut menambah cita rasa tengklengnya.
Jadi kalau Anda datang ke Solo cobalah menjambangi Warung Tengkleng Mbah Galak. Tapi sebaiknya jangan lewat dari jam makan siang kalau tidak mau kecewa karena gulai tengklengnya sudah kehabisan.
Salam tengkleng teman-teman 🙂 Siapa yang suka atau tak suka makan daging kambing?
Posted from WordPress Android
eviindrawanto
32 comments
selamat pagi, Evi
wah wah…pagi2 sudah membaca kuliner lezat dr kota Solo 🙂
info yang penting utk yg suka kuliner kambing yg enak…….
bunda sudah beberapa tahun (20an tahun) gak pernah lagi mencicipi bahan makanan berupa daging dan unggas…
salam
Selamat menjelang siang, Bun..Iyah ini lagi diajakin muter2 Solo Bun, melihat dari dekat tata kota yg walau belum maju banget tp tertata rapi Bun.
Mengenai daging, sy mulai menguranginya utk sehari2. Jaga2 untuk situasi seperti ini. Sebab sesekali gak apa2 toh hehe…
Saya juga pernah Mba Evi trauma dengan kambing. Maaan nasi kebuli sepiring langsung ga bisa bangun. Hehehehe.
Tapi makan sate kambing pas sakit jadi sehat. 🙂 hehehe.
Kalo ke solo harus mampir ke mbah galak ya Mba
Kalau traumanya aku masalah bau Mas Dani. Tp bagus jg ya kalau daging kambing jadi obat
saya gak suka kambing bun, tapi lihat gambar itu kok kayanya enak ya 🙂
Kalau yg ini gak bau kambing kok, Mb Lid 🙂
jl mangunsarkoro ki belah mana ya..?
aku biasanya mampir di dapur solo sebelah rel stasiun purwosari
sayang aku kurang suka tengkleng. lebih suka tongseng yang aromanya lebih nendang
Kalau nanya posisi sebelah mana, wah bingung aku Mas Eko. Lah aku cuma ngapalin nama jalanannya 🙂
Konon tengkleng memang masakan untuk ‘memanfaatkan’ sisa tulang kambing yang mana dagingnya dimasak untuk gulai & sate, Uni.. 🙂
Uni lagi di Solo, saya jadi kangen Jogja… 😀
Pinter orang Solo, Tik. Aturan jadi sampah bisa diolah jadi masakan enak. Yah disini bau Jogja sdh mengkreng seklai, Tik hehe…
Wah jadi laper nih…
Emang sedang lapar kali mas 🙂
kalau kambing aku lebih suka disate mbak Evi 🙂
Hm yah, sate kambing pake kecap, bawang segar dan cabe rawit, enak sangat tuh Mb El…
tengkleng memang enak tuh… coba dong yang di omah ijo juga enak loh…
Lain kali minta petunjuk menuju Omah Ijo, Bro. Masih di Tangerang kan?
Dari dulu aku tu penasaran yang mana sih yang disebut dengan tengkleng. Di telingaku, namanya aneh untuk jenis makanan, soalnya kalau di Bali, tengkleng atau nengkleng itu artinya meloncat-loncat dengan sebelah kaki he he..
Oh loncat-loncat satu kaki itu nengkleng Mbak Dani..Kayaknya tulang2 lurus itu mirip tulang kaki yg suka nengkleng hehehe..
ha ha ha..memang tengkleng pakai tulang-tulang kaki juga Mbak?
Saya pikir itu gambar tulang iga..
Sebenarnya sih semua tulang iga, Mb Dani. Namun krn tulangnya lurus2 begitu mrngingatkan saya pd tulang kaki yg lain 🙂
tengkleng rasanya brlum nyoba, tp aku suka kok dahing kambing walau nggak sering
paling suka kari kambing plus roti jala
di Solo aku terkesan dgn soto Nggading, di daerah Gading
rasanya wsktu itu mak nyus banget, apalagi makannya pagi bstu turun dari kereta dan sedang lapar
Kemarin ada juga yg ngomongin soal Nggading ini Mbak Mon..Sayang saja acaranya padat..Gak ada waktu untuk kesana hehehe..Moga2 lain kesempatan aku bisa menjambanginya…
sebenarnya aku kurang suka kambing karena biasanya masih menyisakan aroma khasnya..hehe.. tapi memang sering dengar tentang kelezatan tengkleng itu.. 🙂
Kita emang aneh ya Mbak Mechta, pengen makan daging kambing tapi tak mau mencium aromanya..Untunglaj tengklengknya Mbah Galak berhasil menghilangkan bau aslinya..:)
gulai biasanya juga menjadi masakan andalan ranah minang, tapi saya sendiri berusaha mengurangi konsumsi gulai2an. soalnya say agak jarang olahraga, makanya berusaha menjaga makanan dari yang berkolestrol hehe
Gulai kambing dari ranah Minang, waduh, kayaknya belum ada yg menggantikan Sulung hehehe..
Tengkleng dengan dominasi tulang, keasyikan melepaskan daging dari tulang menjadi daya pikatnya. Salam tengkleng ya Uni Evi.
Iya Mb Prih, glenyer2 digigi saat dilepas dari tulangnya menimbulkam sensasi nagih. Salam tengkleng Mbak 🙂
Jadi ingat gulai kambing di jalan By Pass Padang Uni, klo dulu saya suka minta jeroannya usus, babat, otak dll. Tapi sekarang harus lebih hati-hati, cuma menurut dokter klo kita makan tunjang atau kulitnya ga papa asal tanpa lemak… 🙂
Umur memaksa kita harus bijak dalam makanan ya Pak Ded..Gulai tunjang oh.Saya malah jadi ingat ke Pasa Lambuang..Baru disana ketemu gulai tunjang yg enak 🙂
Gula tengkleng ini tampak enak sekali. Nanti kalau ke Solo saya akan mampir. Terima kasih infonya..