Besok puasa lagi. Memasuki bulan baik begini saya selalu ingat kampung halaman dan masa kanak-kanak yang di habiskan di sana. Menjalani Puasa Disebuah Dunia Pada Suatu Masa ini adalah soal kenangan. Ingat sore-sore menjelang magrib pergi berlimau dengan gadis-gadis anak tetangga. Ingat harum racikan air bunga (dari daun kembang sepatu yang di remas dengan mawar merah jambu) lalu dioleskan pada rambut kami. Ingat bagaimana kampung menjadi begitu dingin kalau mandi sore-sore begitu. Ingat pada nenek. Dan ingat juga pada guru agama yang mengajarkan bahwa manusia dan seluruh isi alam semesta ini adalah ciptaan Allah SWT. Sebelum menciptakan, Allah yang maha pengasih dan penyayang menetapkan beberapa aturan dan norma-norma agar diikuti oleh manusia. Tetapi manusia sering menemui kesulitan dalam menahan keinginan mereka atas benda-benda materi lalu mengabaikan aturan dan norma yang telah mereka buat bersama Allah SWT tersebut.
Waktu itu saya gak begitu “ngeh” apa yang di maksud Pak Abdullah bahwa puasa sebagai salah satu alat untuk mengingatkan manusia tentang komitmen mereka terhadap Allah SWT sebelum datang ke dunia ini. Pokoknya kelengahan manusia membuat Allah mewajibkan puasa setiap tahun, selama satu bulan penuh dan dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Umat Islam menyebutnya bulan suci
Nah yang paling berat berpuasa di masa kanak-kanak adalah saat sahur. Karena berpuasa artinya berhenti makan dan minum sejak imsak sampai buka artinya kami harus bangun sebelum imsak. Kalau hari-hari pertama masih terbawa euphoria awal ramadhan, di colek dikir saja sudah bagun. Begitu puasa berhitung puluh, untuk jaga sahur semakin berat. Rasanya baru tidur kok sudah di colek lagi. Kadang hentakan di bahu juga tidak mempan. Kalau sudah begitu nenek akan berkhotbah soal wajibnya manusia meminta pengampunan atas dosa-dosa dan menjauhkan diri dari dosa-dosa. Belum lagi soal api neraka, panjang lah pokoknya.
Selama Ramadhan sekolah libur begitu pula mengaji. Maka aktivitas paling ramai berpusat di surau setelah magrib. Setelah ngetap tempat dengan meletakan sajadah di baris belakang ( baris depan untuk orang tua atau yang dituakan), anak-anak main di pelataran muka surau. Itu saatnya jajan kacang goreng atau kacang rebus. Walau dari dalam surau terdengar samar-sama ceramah yang mengatakan bahwa puasa akan membuat kita disiplin dan mengikuti jalan seperti yang telah dicontohkan Nabi besar Muhammad(saw), kami anak-anak tetap saja lari-lari dan berbicara dengan suara keras. Kadang ada ibu-ibu yang keluar dengan hush..hush…Setelah ibu itu masuk kami melanjutkan aktivitas, bermain sambil menunggu adzan Isya memanggil.
Anda setujukan dengan saya bahwa tertawa keras-keras dan bisik-bisik tidak menunjukan bahwa kami anak-anak tidak berkomitmen penuh pada Ramadhan dan berpuasa seperti yang dijelaskan oleh Nabi (saw)? Lah buktinya kenang-kenangan seperti itu banyak menyelamatkan saya dari berbagai kegalauan orang dewasa.
Anda juga punya cerita puasa di masa kanak-kanak? Mari berbagi dengan saya