Dari bongkar-bongkar arsip ketemu foto lama nenek saya dan ingin saya arsipkan di blog ini. Iya wanita tua berbaju kurung dengan selendang yang dilampirkan di kepala dalam foto ini adalah nenek saya. Namanya Siti Raola, panggilan Ola. Para cucu memanggilnya Biai (ibu) mengikuti anak-anaknya.

Nenek, mantan suami, anak dan cucunya
Biai merupakan anak tertua dari tiga bersaudara yang kebetulan perempuan semua. Tak ingat nama lengkap kedua adiknya kecuali panggilan seperti Nyiak Udo (nenek muda) Ajih untuk adik nomor dua dan Nyiak Udo  Kayap untuk yang bungsu.
Entah seberapa tua Biai diantara orang sekampung. Yang pasti saya jarang mendengar ia dipanggil dengan nama saja. Di depan Ola selalu ada sampiran yang menandakan beliau lebih tua dari si pemanggil. Kakak, Miciak (bibi), Enek (nenek), dan Tuo adalah sebagian himbauan terhadapnya.
Dalam foto lama nenek saya ini beliau berdiri bersama keluarga dari anak sulungnya yang tinggal di Semarang. Sekitar bulan April-Mey 1972. Mereka sedang tur ke Ranah Minang lalu suatu pagi mampir menengok Biai ke Kampung.
Lelaki tua berpiyama adalah suami pertama Biai. Perkawinan mereka dikarunia tiga orang anak. Dua perempuan dan satu lelaki yang tak pernah saya kenal. Paman saya itu wafat dalam peperangan pada usia muda dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Saya ingat namanya karena nenek selalu mengenangnya dalam untaian air mata. Disamping di rumah lama kami dulu juga tergantung sebuah foto lelaki berpeci dan berjas putih dengan tulisan Sjamsir Alam di bawahnya.
Hubungan Kekeluargaan yang Rumit
Setelah bercerai dengan suami pertama nenek menikah dengan kakek saya. Beliau seorang datuk bergelar Datuak Kakando. Di perkawinan kedua ini Biai melahirkan 3 orang putri dan 1 putra. Ibu saya adalah anak kedua.
Rumah bersejarah bikininan Inyiak Aki kami
Kakek atau yang dipanggil Nyiak Aki hanya bayang-bayang dalam ingatan saya. Lelaki kurus yang selalu tiduran di pojok rumah bagian atas. Suatu hari orang berkerumun di pojokan itu dengan isak tangis membahana. Dan setelah itu gelap. Pun tak ada tempat untuk mengenangnya. Karena pusara di Minangkabau tak dirawat atau diziarahi. Begitu seseorang wafat putus amal ibadahnya. Dan dia yang terbuat dari tanah sudah kembali tanah. So what? Seiring pusaran waktu pusara itu lenyap ditelan semak belukar atau habis dipijak hewan yang mencari rumput untuk makan.
Saya tak tahu persis apa yang terjadi di masa lalu. Yang saya tahu relasi atau jalinan hungan kekerabatan dalam kehidupan Biai sangat rumit. Misalnya anak tertuanya dalam foto yang saya panggil Maktuo mengikuti sang Ayah merantau ke Jakarta lalu tinggal permanen di Semarang. Dari penilaian jarak jauh, menurut saya, Maktuo tak menganggap kampung Biai adalah rumahnya. Buktinya seperti dalam foto. Selama nenek hidup hanya beberapa kali mereka pulang kampung. Dan kalau  pulang mereka selalu menginap di hotel dan tak pernah di rumah nenek. Mengunjungi nenek beberapa jam lalu kembali ke Bukittinggi. Walau sekarang saya memahami bahwa rumah nenek tak cukup memadai untuk menampung mereka, mengenang bagaimana wanita tua itu dulu sedih, itu jadi salah satu sebab mengapa saya tak menyukai kemiskinan hingga saat ini. Al fatihah Biai..
Putri Seorang Datuak Terpandang
Nenek adalah putri dari lelaki terpandang di Nagari Magek. Ayahnya bergelar Datuak Samantiko. Namun keterpandangan ayahnya tak sejalan dengan nasib nenek. Kadang saya berpikir bahwa beliau adalah tipikal perempuan Minang yang sepanjang hayatnya selalu hidup dalam kepahitan.
Penyebabnya apa lagi kalau bukan sistem kekerabatan matrilineal, sistem budaya yang dipegang teguh di Nagari Magek saat itu.
Sekalipun ayahnya orang besar dan kaya, sejak kanak-kanak nenek hidup bergelimang kemiskinan. Sebab dalam sistem kekerabatan Anak adalah tanggung jawab Mamak (saudara laki-laki dari Ibu) bukan ayah kandungnya. Sementara mamaknya Biai tak ada yang kaya. Disamping Kakek buyut saya yang terpandang itu kebetulan tampan pula. Tak aneh kan kalau ia diminati pula oleh para mamak dari gadis-gadis lain? Siapa yang tak merasa terhormat dipulangi (dinikahi) oleh seorang Datuk terpandang?
Lagi pula anak-kemenakan dari kakek buyut saya itu tentu tak akan bangga kalau Mamak mereka cuma beristri satu atau dua orang. Jadi lah di tiap kampung Datuak Samantiko punya istri. Entah nenek buyut saya istri yang ke berapa. Yang saya tahu bundanya Biai wafat diam-diam di bawah pohon kelapa saat mencari obat untuk anaknya yang sedang ke Kamang, tetangga Nagari Magek.
@eviindrawanto
21 comments
Aku kok sedih banget baca cerita tentang Biai Ola ini ya. Seperti membaca roman-roman Balai Pustaka yang tragis pada endingnya. Hmm sebagai orang yang memiliki darah minang -meski mungkin tidak diakui, karena yang berasal dari Minang adalah ayah saya- terkadang saya ingin memprotes beberapa system yang dijalankan berdasarkan adatnya, seperti hukum waris, pertanggungjawaban terhadap anak, aturan menikah dan lain-lain. Entah mungkin saya kurang paham atau bagaimana. Tapi dalam pandangan saya, karena orang-orang Minang dikenal sebagai muslim yang taat dan kuat, seharusnya semua hukum adat dikembalikan atau benar-benar murni mengikuti aturan agama, sesuai petitihnya: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” 🙂
Membandingkan kehidupan Biai Ola secara umum dengan yang saya jalani sekarang, kehidupan beliau memang muram banget, Bart. Yang bisa saya lakukan sekarang hanya berdoa semoga Allah mendudukannya di kursi terbaik dalam surga. Amin 🙂
Amiin amiin 🙂
Terbius dalam jalinan penuturan Uni…
Dokumentasi Uni Evi tak hanya tentang pohon keluarga namun juga akar budaya yang hidup pada zamannya. Senyum Biai mengiringi karya Uni Evi. Salam
Semua hal yang bisa disimpan tak simpan saja Mbak Prih..Sebagai bahan cerita yang mewarnai kehidupan saya. Makasih Mbak 🙂
Saya tidak mengerti dengan situasi saat itu, karena mungkin logika berbeda dengan sekarang. Bahwa kehidupan anak-anak menjadi taggung jawab “mamak”, terus kita sendiri mempertanggung jawabkan anak dari keluarga adik/kakak perempuan.
Mungkin karena dalam keluarga saya di Padang (sejak kecil) tidak menjalanan kebiasaan seperti itu.
Saat itu (sampai sekarang) Bapa/Ibu bertanggungjawab penuh terhadap keluarga masing-masing.
Iya Pakded tak semua ayah seperti kakek buyut saya itu. Namun begitulah realita yang dihadapi nenek saya ketika itu, tak begitu diurus oleh bapaknya 🙂
Yang menarik dicermati disini adalah …
seringkali pusara dari nenek moyang di Minang … kadang tidak diketahui …
seiring berjalannya waktu … pusara hilang ditelan semak belukar …
Menurut analisa saya … mungkin inilah cara nenek moyang di Sumatera Barat … sesuai dengan ajaran Islam … agar tidak terjadi “pengkeramatan” makam … meminta hal-hal yang tidak seharusnya … penyembahan berhala dan yang sejenisnya …
Salam saya Bu Evi
(11/3 : 10)
Baca cerita mbak Evi ini, perasaan jadi campur aduk, ada rasa tentram karena memang cerita kampung halaman dan leluhur itu bikin tentram, tapi ada rasa sedih juga, apalagi di bagian akhirnya…
Membaca posting ini saya jadi sedikit mengetahui mengenai adat matrilineal itu. Mbak.
Foto thn 1972 itu masih terawat baik ya Mbak? Luar biasa…
iya benar ya mbak, memang enak tinggal di hotel, tapi lebih mengikat lahir jika menginap di rumah sodara, apalagi jarak jauh, budaya kekerabatan harus saling dijaga. Kalaupun mereka nggak mau minimal dari diri sendiri terlepas mereka mau menganggap kita kerabat atau bukan
nenek dari pihak ibu maupun bapak saya meninggal saat saya masih kecil. Tak ada satupun foto yang tertinggal
foto kenangan seperti ini menyimpan ribuan makna untunglah masih ada fotonya kalau saya tak pernah lihat wajah nenek
Penelusuran mengenai leluhur dan kisah yang sarat tradisi selalu menarik, Mbak. Terimakasih sudah sudi berbagi di sini
Sama2 Mas Krish. Terimakasih juga sdh mampir 🙂
Mba cerita mba yang ini sungguh menarik sekali…
latar belakang budayanya saya suka. Terutama waktu membahas matrilineal..pas sekali saat saya sedang belajar etnisitas.
Walau sedikit semoga membantu Tina 🙂
selalu hanyut kalau uni cerita tentang tanah kelahiran…,
cerita masa lalu yang kalau dikaji sekarang masih banyak menyimpan teka teki..
Hehehe makasih MM, aku tulis the story of my grandma ini buat perbandingan hidupku sekarang. Buat patokan mengembangkan rasa syukur juga
Seperti kata Kak Monda, cerita tentang keluarga sampai buyut, selalu penuh teka-teki. Cerita seakan tak pernah habis, dan tak bosan untuk didengar.
Mungkin karena logika jaman kita dan mereka berbeda ya Mbak Zy, jd perlu jembatan khusus utk memahaminya 🙂