Eviindrawanto.com – Bogyoke Aung San Market, dulunya bernama Scott Market adalah sebuah  bazar besar, terletak di kotapraja Pabedan di pusat kota Yangon, Myanmar. Terkenal dengan arsitektur kolonial dan jalan berbatu di bagian dalam. Tempat ini adalah surga wisata belanja. Didominasi barang antik, toko kerajinan dan perhiasan, galeri seni, dan toko pakaian tradisional Burma yang disebut Longyi. Pasar Bogyoke juga dikenal sebagai pasar gelap penukaran mata uang. Tidak hanya bagi wisatawan, pasar ini juga tempat belanja pembeli lokal, yang menjual obat-obatan, bahan makanan, garmen, dan barang-barang asing. Yang senang memotret ini adalah tempat terbaik hunting human interest dengan kesibukan dan bangunan kuno di latar belakang. Pasar Aung San tutup tiap hari Senin
Daftar Isi
Yangon Kota Moderen
Pernah kah membaca jika  Yangon yang pernah jadi ibu kota Myanmar ini belum semodern kota Jakarta? Kalau dibanding Indonesia yang sudah lama merdeka, memang negara ini belum seberapa. Mereka baru saja tampil di kancah pariwisata internasional, membuka diri setelah usai konflik politik junta militer berakhir
Sebagai turis yang mengaku travel blogger saya pernah singgah beberapa hari. Artinya kenal kulit luarnya doang. Saya berpendapat lain tentang kota yang dulu bernama Rangoon ini.
Betul  Yangon tidak ditumbuhi mal dan gedung-gedung pencakar langit di tiap jengkal. Tapi kehidupan di sana mewakili ciri-ciri kota moderen.
Parameter saya adalah jalan raya yang lebar, tidak terlalu macet, mobil-mobil melaju di jalurnya dengan tertib. Tak terlihat kehadiran sepeda motor yang kalau di Jakarta saling menyodok seolah cuma dia yang ingin cepat sampai. Trotoar lebar tapi tak seorang pun menumpangkan gerobak kaki lima atau mengalihkan fungsikan sebagai tempat parkir kendaraan.
Di mata saya Yangon bak gadis yang suka berdandan tapi tak berlebihan karena dasarnya dia sudah cantik.



Di depan balai kota sebelum ke pasar
Bonyoke Aung San Market Attractions
Tak dikepung mal bukan berarti Yangon bukan tempat seru untuk belanja. Tempat tinggalnya Aung San Suu Kyi ini punya Bogyoke Aung San Market wahai shop-pers maniac! Bentuk bangunan tak perlu keren, mirip ITC Mangga Dua, tapi di sini lah kalian, bahkan turis yang mengaku tak suka belanja akan mati-matian melawan diri sendiri. Kekepin dompet? Tidak akan berhasil! Bogyoke Aung San Market attractions terlalu menggode!
Ada sekitar 2000 toko yang menawarkan apapun pernik khas Myanmar. Kecuali memutuskan tak berkunjung sama sekali, menyusur Bogyoke Aung San Market atau Scott Market dulunya, “hati perempuan normal” dijamin kebat-kebit.
Jalan sedikit, konter perhiasan yang terbuat dari berbagai bebatuan dan logam mulia. Kerlipnya mengalahkan Jang Keun Suk aktor drama Korea itu. Melangkah lagi ada toko tekstil. Warna-warni dan desainnya minta-minta untuk dijamah. Terus berbagai barang antik dan galery lukisan.
Kalau cuma mau lihat-lihat saja memang harus banyak berdoa agar diteguhkan hati. Pesona buah khuldi (apel) terlalu kuat tergantung di atas Bogyoke Aung San Market .
Cara Menuju Bogyoke Aung San Market
Ngomong-ngomong bagaimana cara menuju ke Bogyoke Aung San Market? Kebetulan sekali selama di Yangon saya menginap di hotel yang lokasinya tak jauh dari City Hall, beberapa langkah dari Sule Pagoda. Mau belanja ke Bogyoke Aung San Market tinggal jalan kaki.
Jadi lah suatu pagi menjelang matahari tinggi, menyisir trotoar, berlindung dari panas Yangon yang menggigit di bawah bayang-bayang kanopi gedung atau sejumput pohon, saya sampai di tempat itu dengan semangat 45. Selama perjalanan mata disapa oleh gedung-gedung tua berarsitektur kolonial. Ditambah lagi melihat sebuah logo bank milik Indonesia, BNI di dinding sebuah gedung, hati jadi penuh kehangatan.
Baca juga Belanja di Kampung Batik Pesindon
Mengangguk atau melempar senyum kala bersirobok mata dengan penduduk kota. Lelaki-perempuan menggunakan longyi. Dendan keasikan seperti itu tahu-tahu sudah sampai di gerbang pasar yang beralamat di jalan Bogyoke Aung San Road itu.
Tentang Longyi Kain Tradisional Myanmar
Mumpung di Myanmar kamu harus kenal Longyi! Pakain tradisional Myanmar yang mirip dengan sarung di Indonesia. Selembar kain dengan panjang sekitar 2 meter,  lebar 80 cm, di pakai dengan cara dililitkan pada tubuh bagian bawah.
Singkatnya longyi itu adalah kain sarung yang dipakai setiap hari oleh lelaki maupun perempuan. Menilik ke dalam kitab suci para pejalan bahwa makna traveling-mu meningkat bila belajar hidup seperti penduduk lokal. Maka kami para perempuan dalam trip ini bangkit rasa “kemiyanmarnya” dengan beli longyi untuk foto-foto! Iya sesederhana itu niat kami, beli kain untuk foto-foto. Apa lagi merasa bahwa kulit dan bentuk wajah tak beda jauh dengan wanita-wanita Yangon. Cocok lah jalan-jalan menyisir pagoda dengan longyi sebagai pelengkap busana. Yeay!
Baca juga Foto Sunrise dari Popa Mountain Resort
Dan memilih longyi tidak sederhana mengagumi kecantikannya. Tak menyangka terlalu banyak pilihan! Baik dari sisi harga maupun warna, dan corak. Kami sempat menyinggahi beberapa toko sampai akhirnya mentok pada satu toko yang punya koleksi beragam dan harga tidak terlalu mahal.
Di sini pun Paradox of choice kembali terjadi. Benaran deh more is less itu membuat gelisah! Bagaimana tidak? Sekalipun bentuknya tetap longyi, variasi warna dan motif, saking menariknya membuat saya kehilangan akal sehat. Kalau saja tak ingat hari itu hari pertama perjalanan, saya ingin beli beberapa lembar.
Setelah meninggalkan Yangon pun, di pasar Mingalar Market – Nyaung Shwe deman longyi masih berlanjut. Ibu-ibu ini sampai rela nongkrongin penjahit Longyi sampai malam. Untungnya kegilaan saya dihentikan oleh budget.
- Baca Juga:
- Wisata Yangon Myanmar, Aku Terpana
- Night Market Phnom Penh, Goyang Lidah Dengan Makanan Lokal
Ohya penduduk Myanmar menggunakan longyi untuk kegiatan apapun. Bahkan olah raga. Tapi jangan kira bagi pemula semudah itu. Perlu latihan atau keterbiasaan agar longyi tetap ditempat sekalipun digunakan untuk melompati parit. Untungnya bagi turis tak perlu belibet karena toko-toko menyediakan yang sudah dijahit. Seperti rok tinggal dililitkan saja dipinggang.
Myanmar Jade – Kerlap-Kerlip Bebatuan di Bogyoke Aung San Market
Myanmar terkenal sebagai produsen batu mulia seperti ruby, giok, dan safir. Harganya pun sudah terkenal mahal di pasar lelang internasional. Terutama batu-batu yang berasal dari wilayah Mogok atau yang dikenal juga sebagai Lembah Rubi. Kilauan, kemurnian dan warnanya yang cemerlang sampai-sampai dapat julukan sebagai Batu Darah Merpati. Dan tentu saja kedigdayaan batuan berharga Myanmar disokong oleh sejarah mereka yang panjang. Karena penambangan batu berharga di daerah ini sudah berlangsung sejak akhir 1500-an ketika para Raja Burma menguasai seluruh kekayaan negara termasuk kandungan mineral di dalam tanah.
Tapi bukan jenis batu mulia tersebut yang saya cari di Bogyoke Market. Cukup batu akik yang pasarnya pernah mencuat di Indonesia. Di sini lah ribuan butir batu alam dirangkai menjadi ragam perhiasan untuk lelaki dan perempuan. Mulai dari anting, kalung, gelang, dan cincin.
Sekaya jenis batu yang ditawarkan begitu pun ragam desain, warna, dan media pengikat mereka. Dari yang melibatkan logam mulia seperti emas dan perak sampai kepada benang biasa . Tentu saja mutu, polesan, model, dan kecemerlangan batu jadi penentu harga. Mutu bebatuan ini pun beragam. Ada yang asli ada pula yang palsu.
Jadi kalau kamu belanja di sini perlu juga berhati-hati karena tak semua pedagang mengatakan hal sebenarnya mengenai mutu barang yang dijual.
Pasar Aung San Yangon- Jade Bracelet, Batu Giok dan Barang Antik
Pecinta barang-barang vitage, punya nostalgi dengan benda-benda dari masala lalu, tertarik mengoleksi barang antik, Bogyoke Market menyediakan tempat untuk kalian. Lokasi mudah dicari karena terletak di tepi jalan, beberapa meter saja sebelum masuk pasar. Banyak juga ragamnya. Mulai dari lonceng dan hiasan meja terbuat dari loga berjejer rapi di seling oleh batu-batu dan perhiasan lain.
Meja pajangan yang penuh benda-benda seni dengan bentuk mewakili waktu mereka dibuat tak pelak membuat saya agak lama tercenung. Kebisaan diam-diam menyelam ke bawah permukaan, tak pelak membawa angan melayang ke masa lalu. “Suatu masa benda-benda itu pernah jadi milik seseorang, lalu kisah apa yang membawa mereka sampai ke sini? “ Pikir saya.
Sekalipun kurang percaya kepada tahyul, pikiran seperti itu membuat saya agak lama berpikir sebelum memutuskan membeli sebuah gelang batu giok cantik namun harga murah. Soalnya ingat saat menelisik tentang Tian-Zhu, Batu Akik Tibet, ada yang bercerita sebaiknya jangan pernah membeli batu bekas. Kita tidak tahu mungkin saja nasib buruk sang pemilik terdahulu tersimpan di dalamnya. Ngeri kan?
Tapi kengerian itu saya tepiskan. Beli juga satu bracelet jade seperti foto di atas. Bukan tertarik sih yang utama, tapi kasihan kepada pedagangnya. Mukanya melas banget. Mudah-mudahan perasaan saya ini menganulir semua karma buruk dalam gelang giok itu jika memang ada.
Berikut beberapa barang-barang antik di Pasar Aung San Yangon yang berhasil saya foto :
Pariwisata merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia serta sumber utama devisa dan lapangan kerja bagi banyak negara berkembang. Memasuki abad ke-20 , bahkan, industri ini diakui sebagai fenomena ekonomi dan sosial yang penting.
Terkait hal itu, mengembangkan destinasi belanja seperti yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Bogyoke Aung San Market tentu seperti bunyi peribahasa “sekali mendayung dua-tiga pulau terlampui”: Memperkenal budaya dan seni negara Myanmar ke turis mancanegara juga membantu menaikan taraf ekonomi masyarakat.
Yuk ke Myanmar…
77 comments
Wadaaawww, lihat kain2 kayak gitu dompet saya dijamin jeboooollll mbaaaa 🙂
Pokoknya kalau sudah melihat kain kayaknya, kekepan dompet tidak akan mempan Mbak. Kayaknya seperti manggil-manggil, terus ngomong, Ayo beli Nanti nyesel loh 🙂
Warna kain-kainnya cantik sekali! Kalau aku di sana pasti yang akan dibeli duluan adalah kain dan gelang batu dan manik-manik itu…. 🙂
Perempuan itu satu gelombang kalau sudah menyangkut fashion dan pernak perniknya ya Mbak Zy. Habis bagaimana lagi otak kita diciptakan jatuh cinta untuk barang-barang cantik 🙂
Liat Yangon seperti throwback Jakarta tempo dulu ya mba. Yangon ini ibukota Myanmar bukan? Sebelum baca tulisan ini saya kira kotanya ada gedung-gedung bertingkat layaknya kota besar sebuah negara. Kalo mau kesana sepertinya harus sekarang ya supaya bisa melihat bagaimana kota modern itu terbentuk hehe
Btw, pasarnya lebih cocok buat kaum wanita ya…dari kain sampai perhiasan ada hehe
Iya kalau mau melihat Jakarta sekitar tahun 70/80 and bisa dilihat di Yangon, Mas Jonathan. Tidak terlalu banyak gedung-gedung tinggi dan kalaupun ada gedung tinggi adalah bangunan kolonial, Jadi kesannya standing out banget.
Iya aku pikir pasar ini lebih cocok untuk wisatawan perempuan ketimbang laki-laki. Tapi kalau di potret dari sisi bisnisnya tentu saja laki-laki lebih banyak terlibat di sini 🙂
Tarian keyboard Uni Evi yg selalu bikin pengin ikut nyicip wisatanya. Semoga wisatawan manca juga rela ngantri jahitin kain batik kita yo Uni. Ngayal bisa jalan bareng Uni Evi hehe…
Iya mbak Prih. Tapi sudah banyak juga kok wisatawan mancanegara jatuh cinta dengan batik dan kebaya kita. Kapan ya Mbak kita bisa jalan-jalan bareng?
Iiih, mupeng mbaaa, mupeeenggg!
Ayo datang Mbak, datang
Keren Mbak…perjalanan dan foto-foto Mbak selalu keren dan enak dibaca…
Itu Mbak, lihat longyi bergantungan begitu saya mah jadi inget ke pasar tanah abang.
Salam,
Terima kasih Pak Titik.
Iya toko tekstil nya mirip Tanah Abang ya. Ragam dan corak tekstil nya saja yang berbeda 🙂
Aku beberapa kali ke Myanmar dan selalu kalap beli Longyi hehehe…suka dengan warna dan motifnya ya mba. Plus, jangan lupa oleh-oleh gelang jade :)..pernah dapet mata kalung akik hitan bentuk naga cakeeeep banget di sini 🙂
Iya aku ada beli sebuah kalung batu giok,bak Indah. Nah kemarin itu aku tidaklah Apakah ada batu akik hitam. Kalaupun ada pasti harganya mahal dan tak terjangkau oleh kantongku hehehe
Sekilas mirip dengan pasar yang ada di Indonesia, ya. Tpai yang saya suka dari foto pasar itu adalah jarak antar pedagang lumayan lebar. Jadinya kelihatan gak sumpek.
Benar Mbak Mira, jarak antar toko atau pedagang tidak terlalu mepet. Lagi pulang tidak seperti pasar di sini barang-barang boleh dipajang meluber keluar toko. Di sini rapi pengaturannya
Wah ada juga bank bni di yangon. Kira-kira kalau masuk ke bank bini di yangon, disambut pakai bahasa Indonesia gak yah.
Nah itu dia yg saya tak tahu, Kak. Mungkin ada juga lah yang bisa berbahasa Indonesia di sana 🙂
Hiasan logamnya antik semua. Gak borong banyak mba? 😀
Pengennya sih borong banyak kak Rico. Tapi isi dompetnya tidak mendukung wkwkwkwk…
2000 toko Mbak? Wkwkwk..Itu bisa berapa lama keliling di situ yak. Jadi inget kemarin ke Chatucak Market, baru juga 3 kios di depan, udah kehabisan budget gara-gara kalap belanja. Hahaha…ibu-ibu banget.
Iya seluruhnya ada 2000 toko. Kalo rajin sih sepertinya 2 hari cukup, Mbak Levina wkwkwkwk…
Wah … boleh juga nih ke Myanmar. Temen ada yang baru pulang dari Bagan dan foto-fotonya keren banget. Harus mulai menabung nih …
Iya bagan bagus banget untuk objek fotografi. Ayok nabung, Mbak Dyah
Ngiri Tan udh ke Myanmar, aku belum kesampaian. Apalagi yg pagoda disana eksotik dan beda sama di Jawa..
Benar Mbak Dyah. Pagoda di sini tidak mirip dengan candi-candi di Jawa. Mestinya asal-usul yang membuat sedikit berbeda dalam hal latar belakang dan kebudayaan yang mereka lakoni. Disini banyak banget pagoda yang arsitekturnya mirip Puri Puri di Eropa
lihat gramaphone itu … iih keren banget..
pasar antiknya itu cakep banget barang2nya..
dan toko long yi itu mungkin juga bakal bikin aku nggak mau beranjak ha.. ha…
cantik2 kainnya
Aku bisa memastikan bahwa Aura Yangon dan sekitarnya adalah Aura yang terhubung dengan seorang bernama Monda Siregar yang menyukai hal-hal vintage dan berbau tua 🙂
Menarik.. soal makanan, kan berbatasan dgn bangladesh apakah ada persamaan mba? Atau sama kayak indochina kalau soal selera kuliner?
Waktu itu makanan tidak terlalu banyak dieksplorasi, Mas Unggul. Habis sudah sibuk mencari makanan halal soalnya hehehe
Waah jadi kangen bagan, ingin balik lagi #gagalmoveon
Yuk balik, Uni… dan sepertinya masih banyak tempat menanti untuk dieksplorasi…
Tulisan yg sukses bikin pengen ke Yangoon. Seru amat ya. Tapi takut bikin competition kempes. Haha
Keinginan yang harus dilayani. Yangon dan sekitarnya menyimpan Pesona dan banyak cerita, menunggu para pejalan untuk membedah nya. Ayo Kang usaha untuk ke Myanmar bisa Dari mana saja, tak harus ikut kompetisi
Wah kyknya bakal nagih nih ikut mbak Rai keliling Indonesia
Tepat dugaanya Mas Zul. Saya ingin jalan ke banyak tempat di Indonesia tapi terlalu takut untuk jalan sendiri. Jadi senang banget menemukan ada seseorang yang bisa saya ikuti hehehe
Nah aku beberapa tahun lalu ke Yangoon dan menulis kalau di Yangoon kita kembali seperti ke masa 70an. Bus dan mobil-mobil terkesan vintage dan usang. Btw Mak Evi, Yangoon bukan lagi ibukota Myanmar loh. Sejak 2005 ibu kota Myanmar dipindah ke Naypyidaw.
Begitu pula dengan bangunannya yang bertingkat-tingkat itu vintage dan usang, kesannya Mas Alid. Kadang terlihat berlumut. Tapi malah kesannya jadi Exotis menurutku.
Yeyeye…Ternyata saya salah mengenai ibukota Myanmar. sudah tak hapus kalimatny.. terima kasih ya Mas
Nah, untuk itu kita perlu samakan persepsi mengenai apa itu “modern”. Setahu saya sih parameternya bukan dari lebarnya jalan atau tertibnya pejalan kaki. Jalan yang lebar kemungkinan merupakan warisan dari zaman kolonial.
Kalau soal motor, pemerintah Myanmar memang melarang sepeda motor berkeliaran di jalan.
Mungkin lebih pas kalau mengukur tingkat modernitas dari infrastruktur & gaya hidup warganya ya. Bersama dengan Phnom Penh dan Vientiane, Yangon memang sedang bergerak menuju kota modern.
Btw, ibukota Myanmar sudah bukan Yangon hehe.
Ulasan pasarnya lengkap banget, mbak. Informatif!
Iya Mas Nugie. Modern atau tidaknya suatu kota diukur oleh berbagai parameter, kadang oleh sudut pandang keilmuan pula..
Hehehe Terima kasih atas koreksinya nanti saya betulkan
LongYi nya cantik2 ya mbak pastilah hati perempuan ku yg masih normal ini bakalan panas dingin kalo diajak shopping ke Aung San Market hehehe
Iyalah Mbak Muna. Pasar ini sepertinya diciptakan untuk perempuan hehehehe
Wah kotanya cantik banget, Mbak.
Dan betul kata Mbak Evi, dilihat dari foto-foto yang Mbak Evi sertakan, kalau masuk pasarnya rasanya aku juga bakal kelupaan motret karena ikut berburu longyi maupun souvenir lainnya 🙂
Pasar ini tepat banget kalau mau window shopping, Pak Chris. Banyak yang cantik-cantik di dalam untuk memanjakan mata 🙂
Yaaa ampun … Gw merhatiin lagi wajah cie ratna hahaha. Jadi inget minta nasi goreng ngak pake kecap 🙂
Waktu aku di myanmar dulu panas dan debu, hari ke 3 dah flu mules boker2
Hahaha iya itu Ratna…
Myanmar selama aku berkunjung ke sana tidak berdebu malahan bersih. Dan alhamdulillah aku juga tidak mengalami sakit perut he-he-he
Bebatuan yang dijual di sana mengingatkan pada Martapura di Kalimantan Selatan. 😀
Omong-omong bangunan kolonial di Myanmar cantik-cantik gitu ya, marketnya aja sudah bikin klepek-klepek. Rikues ulas cerita bangunan-bangunan kolonial di sana donk. 🙂
Memang sih aku memotret beberapa bangunan gaya kolonial, Lim. Mudah-mudahan Aku punya energi untuk menulisnya. Musti reset internet agak dalam Soalnya selama di sana Aku tak bertanya apa pun kecuali hanya mengambil gambar. Blogger males jalan-jalan ya gitu deh hehehe
Long Yi-nya cantik banget, dan barang-barang antik yang dijual mengingatkan aku pada Thamel Market di Nepal, yang juga banyak menjual barang-barang khas tempo dulu.
Ah mudah-mudahan suatu saat aku pun melihat barang-barang antik di Thamel Market, Mbak. Amin
Long Yi & manik2 batunya cantik2 ya Mbak.
Banget Teh Dey. Bikin panik orang saat belanja 🙂
Ah kota nya keren tante. Banyak bangunan lama nya dan dtambah lg pasar nya.. ah mupeng aku lihat foto” tante idola..
Iya Jrin di sini banyak banget bangunan-bangunan tua berdiri berjejeran dengan pagoda yang tentu lebih tua lagi. Semoga tak lama lagi Fajrin juga sampai di Yangon ya. Amin
Amien ya allah. Mudah”an y tante.. *Makasih y tante idola doa nya
Amien ya allah.. Mudah”an y tante idola. Makasih tante doa nya
aaaaiiiiiihhh….. cantiknya Mamak Kameha Meha Kesayangan aku ini…..selalu memukau tulisannya. bikin aku pinter – secara kemampuan menulis aku belum pinter. — ayoookklaaahh ajak aku ngeTrip bareng sih …
Aiih Si Abang selalu merendah. Terima kasih atas pujiannya, walau belum semua betul, Insya Allah yakin menuju kesana hehehe..
Jadi mau kemana kita, Bang?
Tercekat di salah satu foto, kirain itu mbak Donna 😀
Myanmar udah aku tandai sejak lama nih mbak Evi, ntah kapan bisa ke sana. Banyak teman yang betah dan berkunjung lagi lagi dan lagi ke sana. Penduduknya pun (nampak) ramah ya. Jadi penasaran dan mau blusukan ke pasar-pasar itu juga hehehe.
Bener banget, Yan, penduduk Myanmar sama ramahnya dengan orang Indonesia. Kalaupun ada kendala paling-paling hanya di soal bahasa.
Kenapa ya? apa karena sesama Asia? atau juga orang Indonesianya pun ramah-ramah ya mbak Evi? 🙂
Aku rasa ada hubungannya dengan cara hidup kekeluargaan yang secara umum dianut di Asia, Yan. Beberapa keluarga batih mengikat diri jadi keluarga besar. Dalam iklan tersebut kan harus banyak-banyak bertoleransi dan memahami orang lain. Kayaknya dari situ lahir sifat ramah tamah, tidak curigaan, dan terbiasa menarik garis senyum di bibir 🙂
Suka banget dengan penjelasannya 🙂
Myanmar salah satu negara yang ingin saya kunjungi, supaya bisa melengkapi cap di paspor 🙂
travellingaddict.com
Amin. Insya Allah doanya digenapkan oleh Sang Pengabul, Mas
Myanmar traveling goals sayaaaahhhhhh! Heuheuheu. Longyi mirip kain-kain di daerah timur indonesia ya. Cuma lebih kalem motifnya.
Iya baik motif maupun warnanya mirip dengan tenun dari Indonesia Timur, Mbak Ulu. Mungkin karena akar tradisi kali ya, dulunya Serumpun dari yang disebut Asia belakang 🙂
Yuk ke Myanmar, duh tahan napas liat Long Yi, membayangkan Pink memilih kain warna pink lalu foto di candi2 langsung diajak nikah sm pemuda lokal hehehe
Kalau membayangkan hal itu musti bawa Kadi langsung dari Indonesia, Kak Pink wkwkwkwk…
Kalo dirupiahkan berapa harga satu Long Yi yang biasa aja mbak?
Dua ratus sampai lima ratus ribu, Kak Pink
Tarik napas, itu seharga hostel beberapa malam itu :)))
Hehehe..Kayaknya di bawah 200 juga ada..Tapi kainnya tak begitu enak dipakai..
Mba Evi. fotonya makin cakep2 nih. Langitnya syahdu gitu.
Wah, aku kepikiran malah, kalau misal ke Myanmar atau negara lainnya. aku bakal menghindari pasar2 kaya gini. takut duit habis buat belanja. haha. Maklum, belum pernah jalan ke LN.
Tapi, pasar2 di Myanmar g jauh beda sama tempat kita ya. yang dijual pun hampir batu mulia. haha.
Terima kasih atas pujiannya masuk Hanif. Kebetulan aja objeknya memang bagus…
Jalan-jalan ke tempat belanja memang mesti hatinya di Kuat kuatkan. Kalau nggak Uang belanja langsung habis hahaha
Lama sekali tak mampir “rumah” mbak evi cerita dr Myanmarnya keren, pasarnya bersih ya, tiba2 saya ingat beringharjo dg lapak2 toko batik meski tak sama.
Hai Mbak Ru, Emang kemana saja dirimu? Terima kasih ya sudah di sempatkan mampir.
Iya pasarnya bersih dan counter-counter nya teratur. Asyik lah kalau jalan-jalan di sini 🙂