Dia menikah secara agama dan lelaki yang menyuntingnya itu hadir dalam wujud sebilah keris. Demikian pembukaan novel Gadis Pantai Pramoedya Ananta Toer yang ditulisnya dari balik terali penjaranya di Pulau Buru. Baris pembukaan yang mengantar kita pada perjalanan hidup Gadis Pantai, dari seorang anak nelayan miskin menjadi selir priyayi yang dipanggil Bendoro di Jepara – Jawa Tengah. Keris ini sekaligus sebagai perlambang dari tembok pemisah emosional antara dua golongan sosial, Bendoro-Kawulo dalam masyarakat feodal Jawa.Tembok yang memuliakan bangsawan melalui penghambaan golongan bawah, yang membuat penghormatan tampak jadi dunia kelam. Terutama bagi para hamba yang disebut rakyat jelata itu.
Dalam Novel Gadis Pantai Promoedya Ananta Toer ini gadis itu tak bernama. Hanya disebut sebagai Gadis Pantai. Umurnya14 tahun. Tidak pernah merasa miskin walau berumah dalam gubuk reyot yang selalu bocor di kala hujan. Karena laut memberi apa yang mereka butuhkan. Pantainya memberinya seluruh kegembiraan kanak-kanak yang merdeka. Walau laut ini pun telah mengambil seorang abangnya dan beberpa orang tetangganya, namun laut adalah tempat ayahnya menunjukan bakti kepada keluarga. Laut itu juga pusat kecemasan setiap istri, selalu merindukan suami karena tidak ada jaminan setelah turun mereka akan selalu kembali. Suatu hari, setelah menikah dengan suami yang diwakili oleh keris tadi, Gadis Pantai Pramoedya Ananta Toer harus meninggalkan semuanya. Ayah-ibunya, keluarganya, pantai dan lautnya yang tanpa sekat itu untuk masuk ke dalam rumah bertembok tinggi yang diyakini semua orang akan memuliakan dirinya. Jadi istri priyayi kota merupakan kehormatan, prestasi tertinggi bagi anak nelayan miskin berwajah cantik. Karena itu kepala dusun pun turut serta mengantarkan dirinya sebagai sesembahan bagi Sang Bendoro yang agung.
Di dalam rumah bertembok tinggi itu Gadis Pantai belajar pertama kali bahwa hubungan suami-istri berbeda sama sekali dengan contoh-contoh yang dilihatnya di kampung halaman. Disini dirinya adalah milik mutlak suaminya sementara suaminya milik kelas sosialnya. Jadi status suami-istri tidak lantas membuat mereka jadi sepadan. Sekalipun sang suami adalah priyayi yang taat beragama, punya musholla dirumah dan selalu memegang tasbih, itu tidak merubah fakta bahwa dia hanyalah anak nelayan miskin. Jangan akses terhadap hati suami, akses terhadap ruang-ruang dalam rumah besar itu pun juga terbatas. Rupanya bangsawan menjaga kemuliaan kelas mereka dengan menutup semua pintu bagi bagi golongan bawah.
Dan seperti saya katakan dimuka, Gadis Pantai hanya sesembahan, berguna dalam menyalurkan birahi terhadap daging muda dan segar. Sesuatu yang sudah diketahui Gadis Pantai tapi tak dilakukannya untuk melindungi dirinya sendiri. Di rumah mulia tersebut istri-istri datang silih berganti, anak-anak hanya punya satu ayah tapi lusinan ibu. Dan ketika Gadis Pantai membiarkan dirinya hamil dan kemudian melahirkan hilanglah segala kemuliaan yang disematkan orang-orang kampung kepadanya, Ndoro Nganten istri Bendoro yang terhormat. Bendoro mengambil gadis lain sebagai istri dan dia dikembalikan kepada ayahnya. Bahkan anak yang baru dilahirkan pun tak boleh di bawa sebab dia akan dibesarkan sebagai anak priyayi bukan anak nelayan.
—————
Setiap novel Om Pram memang penuh nuansa gelapnya hubungan kekuasaan dengan yang mereka kuasai. Tapi membaca akhir dari cerita Gadis Pantai ini, saya jadi ikut marah. Tapi entah marah pada apa …
Bersyukur kita ya teman, sudah tidak hidup di jaman feodalisme 🙂
36 comments
novel yang ini bisa dibilang menarik… saya suka alur ceritanya… kagum saya sama mas pram ini..
Om Pram, Salah satu jenius dng kata2. Dia tahu memilih kalimat yg akan menghentak kalbu orang Bro Rom…:)
bunda baru membaca satu bukunya Pak Pram ,Vi
ya buku si Gadis Pantai ini….
dan sampai sekarang belum kelar2 juga bacanya ……hahahaaa…
( parah banget deh ya) 😳
bukan apa2, takut sakit hati bacanya……
ternyata setelah tau dr sini, beneran deh sakit hati … 👿
really speechless menikmati foto2 diatas……Amaziing……
(seratus jempol utk photografernya) 🙂
salam
Buku2nya Om Pram emang perlu sedikit pemikiran untuk mencernanya Bun..Tapi gak berat2 amat sih..Kalau aku karena penasaran saja pengen tahu kisah akhirnya, makanya bacanya dikebut dalam dua hari hehehe..Soalnya aku paling gak pernah mengintip ke belakang buku cerita Bun..Kalau tahu kisah akhirnya, cerita ditengah jadi gak seru lagi 🙂
Aih…jadi ingin membaca sendiri novel itu..dan foto2nya… wow! *kehilangankatakata*
Mbak Mechta, kata orang, buku yang baik adalah buku yang membuat kita berpikir setelah membacanya. Dan buku2nya Pramoedya seperti itu deh..Meninggalkan kesan dalam setelah membacanya..Dan terima kasih atas pujiannya terhadap foto2 saya. Laut selalu cantik, camera cuma tinggal merekamnya 🙂
Saya tidak tahu kebenarannya mengapa Pram karyanya dibrangus? apa benar-benar ia sebagai sastrawan yang tersangkut gerakan terlarang? namun terlepas itu semua dari yang ditulis mbak evi begitulah realita hidup. Bila nafsu tidak didik maka yang terjadi keterjajahan. Baik penjajahan atas diri pribadi atau menyangkut orang lain.
Meski kita sudah tidak hidup di zaman feodal namun praktik seperti itu masih hidup subur. Kota jepara mbak evi contohnya ya nikah kontrak. demi kemulusan urusan bisnis sang Bule. Bila urusan sudah selesai ya sudah anak gadisnya dikembalikan ke keluarga beserta si anak.
Jaman orde baru, Om Pram itu seperti Prometheus, mencuri api dari gunung Olympus lalu memberikannya pada umat manusia. Maka para dewa membenci dan menghukumnya…Sebab api menerangi kegelapan, kegelapan yang diharapkan Dewa tetap berlangsung dalam diri umat manusia agar mudah dikuasai..
Maka dengan pemikirannya, Om Pram memercikan api kesadaran bahwa kekuasaan itu bisa berlangsung hanya ketika rakyat manut saja kepada pemimpinnya..Nafas dari semua karya tulis Om Pram adalah pemberontakan. Setidaknya begitu lah Orde Baru melihatnya. Dalam pikiran mereka yang picik, jika itu dibiarkan, ditambah lagi statusnya dicurigai dalam gerakan terlarang, jangan2 nanti malah menyampaikan pesan kepada khalayak mengenai cara-cara memberontak..
Aiihhh busyet di Jepara masih ada kawin kontrak? Gini hari? Ckck..Pokoknya apa ya Mbak Min? Kemiskinan?
bagi pribumi bisa ditilik dari sudut kemiskinan. Kalau dari orang luar memudahkan urusan birokrasi dalam usaha seni ukir jika yang pernah aku baca.
Pramudya sang legenda. Tapi saya belum pernah baca novelnya, kelas berat semua sih … 😀
Nah aku suka bingung nih Mas Hindri, kalau ada yg bilang ada buku yg berat. Terus seperti apa pula buku yang ringan..Kalau menurut aku semua buku berat..Butuh pikiran sih untuk memahaminya 🙂
ada buku yang menurut saya ringan, untuk hiburan saja, tidak perlu berpikir untuk memahaminya. Misalnya buku komik *padahal intinya saya yg malas mikir 😀
Oh begitu hehehe..Setuju kalau gitu…
Saya jadi pengen baca. Kebetulan lagi suka lagi baca Novel .. terakhir saya baca Pararaton … Keknya novel ini kali berikutnya .. Trims ulasannya 🙂
Sama-sama Kang Yayat. Pararaton malah saya belum baca 🙂
Menyimak dulu
http://gombongmotorcommunity.com/
makasih rekomendasinya uni,,,besok mau beli ah
Membaca karya sastra nambah kosa kata kita Izza..Pentingkan untuk blogger hehehe..Jadi mari beli buku2 sastra bermutu 🙂
Karya2 beliau memang sangat sangat kuat ya tante, jadi pgn baca lagi nih 🙂
Dan foto2nya cantik bangeeeet
Bahasa yg digunakan juga kuat Teh Orin. Itu berkaitan dengan karakter beliau yg kuat juga kali ya..:)
kok saya belum pernah aca novelnya ya
Bisa mulai dibaca sekarang Pencerah..:)
harus di baca !! …
Harus Dea…!! 🙂
novelnya keliatannya menarik, tapi buat saya, foto2nya lebih menarik lagi bu… bagus2.. 🙂
Hehe..Makasih Ko..
Kasiaaaan gadis pantainya..
Udah ngelahirin, anaknya gak boleh dibawa pun…
Betewe, aku belum pernah sekalipun baca bukunya Pramoedya 😀
Iya Un, fiksi sih, tp Bendoro itu pengen aku tonjok saja deh rasanya
Loh… loh… Kirain menikah dengan kelas atas, akan membuat gadis itu naik kelas juga. Ternyata tidak ya…
Hmm… Betapa menyedihkannya 🙁
Status selir cuma mengangkat derajatnya di mata orang kampung, Mb Akin. Tapi dikalangan priyayi dia tak lebih daging segar pengumbar nafsu Si Bendoro. Rupanya bangsawan masa lalu biasa mengambil selir, sambil menunggu wanita paling tepat untuk dinikahi dari kelasnya sendiri…:)
Kritik sosial yang sangat bagus Mbak Vi. Barangkali karena karyanya sering menohok penguasa, jadilah karya beliau diberangus…
Kritik yg langsung menusuk ke jantung sosial feodalisme Jawa, Mb Lia. Yang mencerahkan dan membuat kita berpikir. Sesuatu yg amat ditakuti kekuasaan yg bermaksud duduk disana selamanya. Jd rakyat hrs tetap dibutakan matanya oleh ketidak tahuan..idih kayaknya ini yg bikin saya ikutan marah deh 🙂
dari balik jeruji saja bisa menghasilkan karya yang bagus ya
Mungkin juga terali besi memperkuat ide kreatifnya seorang Pramudya,Mb Lid 🙂
Mba Eviii.. buku ini bukunya Pak Pram yang pertama yang saya baca.
Sediiih banget bacanya Mba Evi. Pak Pram bisa menggambarkan kegeramannya pada feodalisme dengan sangat bagus. Akhirnya saya ketagihan baca bukunya beliau. Bumi Manusia dan Tetralogi Burunya jadi koleksi wajib.
Entah apa yang ada di pikiran penguasa Indonesia yang melarang karya beliau.
Ini bukunya anak bungsuku Mas..Berarti dia mengikuti jejekmu. Dia sekarang juga ketagihan baca buku-buku Om Pram setelah memulainya dengan Arok-Dedes..Maka setiap jilid dari buku Om Pram sekarang dia pinjam dari perpustakaan sekolah..Dan aku emaknya kecipratan ikutan menikmatinya…:)