Nenek saya seorang pendongeng hebat. Tak heran di masa kecil saya kenyang oleh olah imajinasinya. Ia seperti buku sastra terbuka. Malam-malam menjelang tidur sambil memijat punggungnya dengan menginjak-injak, kepala saya akan sibuk membayangkan petualangan pemuda bernama Rambun Pamenan, Anggun nan Tongga, Magek Manandin, Malin Deman, dan lain-lain. Cerita-cerita mitos mengawal saya tumbuh. Jadi senang sekali bisa traveling ke Batu Malang, ke air terjun dengan mitos coban rondo dengan tangisan Dewi Anjarwati itu.
Daftar Isi
Legenda Air Terjun Coban Rondo

Dalam bahasa Jawa Coban Rondo artinya Air Terjun Janda. Penamaan yang berasal dari kisah sedih pasangan pengantin baru, Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro.
Sepasang pengantin baru ini menemui nasib sial karena tak mendengar nasihat orang tua. Mereka melanggar nasihat agar tak melakukan perjalanan sebelum hari selapanan hari pernikahan (36 hari). Karena tak mendengarkan hubungan asmara mereka akhirnya menuai bencana.
Dalam perjalanan dari Gunung Kawi menuju Gunung Anjasmoro (kediaman orang tua Raden Baron Kusuma) rombongan mereka di serang oleh Joko Lelono yang tergoda kecantikan Dewi Anjarwati. Dalam perkelahian itu Raden Baron Kusuma memerintahkan pengawalnya menyembunyikan Dewi Anjarwati ke belakang sebuah air terjun.
Baca juga Hotel Pelangi Malang: Tidur Dalam Nuansa Masa Lalu
Kemalangan memang tak dapat di tolak. Raden Baron Kusuma tak pernah kembali menjemput istrinya dari tempat persembunyian. Namun Dewi Anjarwati tetap menunggu Sang Suami, duduk di sebuah batu di belakang air terjun yang sekarang bernama Coban Rondo.
Memasuki kawasan area wisata Air Terjun Coban Rondo mata kita dimanjalan oleh kehijauan tajuk pepohonan dan aroma hujan. Dari pelataran parkir bunyi air terjun yang saya bayangkan sebagai tangisan duka Dewi Anjarwati sayup-sayup menyentuh pendengaran. Tidak sedih. Tak gembira. Mungkin hanya sepi.Ditenggelamkan tebing batu granit dan belantara di belakangnya. Sementara monyet-monyet berekor panjang (Macaca fascicularis) berlompatan dari dahan ke dahan, berbunyi terkaing-kaing dan sesekali menggeraikan bulu. Sekalipun menyeringai dengan menegakan misai, mereka sopan, tidak celamitan seperti monyet di tempat wisata lain.
Menyeberangi jembatan di atas dungai kecil, air bening di bawahnya membawa serta aroma daun lapuk ke udara. Mereka datang dari Gunung Kawi. Membawa serta energi purba yang tersimpan dari pegunungan. Tak heran gemericiknya saja mampu menenangkan perasaan.
Batu Misteri Coban Rondo
Pak Sabar yang menemani kami selama di Malang menunjuk ke pelataran air terjun berlapis cone block. Lebar. Rapi jali. Cocok untuk duduk berlama-lama. Ia menunjuk pada seonggok batu besar di sebelah kiri saya. Perkataannya langsung membuat bulu kuduk berdiri.
“Di sana ada yang menunggu. Kalau ibu mau bertamu saya bisa mengawal.”
Aish! Saya langsung sesak napas. Di sini saya cuma mau piknik kok. Tak mau bertemu siapa-siapa.
Saya menatap onggokan batu padas besar itu. Walau tak terlihat siapa-siapa kecuali seorang anak muda tampan. Di belakangnya tergantung beberapa lukisan. Saya kira seorang seniman alih-alih “penunggu” yang dimaksud Pak Sabar. Tapi tetap saja dada saya berdebar kencang.
- Baca juga:
- Air Terjun Saluopa Poso Seperti Rok Penari Flamenco
- Air Terjun Lembah Anai Padang Kadang Mengamuk
- Air Terjun Way Lalaan Lampung, Sebuah Kenangan
Sebelum otak saya gatal dan membayangkan novel misteri karya Pak Sabar, Pak Suami menarik tangan saya. Ia mengarahkan lensa kamera dan menyuruh saya berpose dengan latar belakang air terjun.
Tangis Kerinduan Dewi Anjarwati di Air Terjun Coban Rondo
Kunjungan kami ke tempat peristirahatan terakhir Dewi Anjarwati di Coban Rondo ini bukan di hari libur. Jadi hanya terlihat satu dua muda-mudi yang sedang berselfie, foto bersama, lalu selfie lagi. Sama seperti mereka saya hanya bisa menikmati tempat wisata dengan cara demikian. Selfie-foto bareng suami-selfie lagi. Sekalipun ingin menikmatinya seperti para sastrawan menikmati kecantikan alam, tampaknya otak saya terlalu sederhana.
Pak Sabar yang terus bercerita tentang batu misteri, suasana yang sepi, dan deru air terjun, membuat saya membayangkan Dewi Anjarwati sedang menangis. Menyesali perbuatannya sekaligus rindu kepada Sang Suami.
Seharusnya saya bisa berkontemplasi. Tapi malah terus-terusan melirik ke onggokan batu yang ada penghuninya seperti kata Pak sabar tadi. Akhirnya suami saya menyerngit. Melempat pandang “agak tak suka” ketika Pak Sabar mengatakan bahwa penghuni batu itu sedang memandang kepada saya dan ingin berkomunikasi.
Mengikuti suami yang menarik tangan saya dari sana, untuk terakhir kali saya memandang bergantian ke batu misteri dan ke balik air terjun, asal tangisan Dewi Anjarwati. Jika memang di sana ada penghuninya, saya mengucapkan selamat tinggal baik-baik.
Dalam mobil saya terus memikirkan, aih siapa kah dia yang memandangi saya di Air Terjun Coban Rondo? Sekalipun tak percaya tetap deg-degan membayangkan imajinasi Pak Sabar. Kalaupun benar memang ada saya berharap ia akan selalu jadi teman Dewi Anjarwati. Agar wanita cantik tak terlalu sedih dalam menanti kedatangan Raden Baron Kusuma menjemputnya.
47 comments
Saya juga lagi belajar mendonggeng ke anak saya. krn waktu kecil tante saya justru yg jago mendongeng. Air terjunnya enak tuh buat berendem tapi pulang2 bisa masuk angin heheheh
Saya orang Surabaya, dan Malang dekat dengan Surabaya. Nama Coban Rondo udah sering saya dengar dimanapun itu, tetapi belom pernah saya datangi sama sekali. Payah sekali saya…. 😆 Hahahaha XD
Nanti dan kapan-kapan bisa didatangi nih Mas Asop. Sekalian liburan ke Malang 🙂
Saya dulu pernah ke Malang dan ke Kopi Oey. 😀 Udah itu aja. hehehe
sedih ya mba baca ceritanya 🙁
aku terakhir ke sini sama mantan, trus abis itu langsung putus hahaha jadi trauma mau ke sini lagi
Wah turut bersedih Dita 🙂
aku udah ke sana mbak tahun 2009 waktu masih kerja di Kediri, tempatnya sejuk ya mbak, mendadak jadi kangen malang
Mbak Evrina mah tinggal gondol ransel kok. Hop langsung sampai Malang deh 🙂
Air Terjun sekaligus tempat wisata aling sering ku kunjungi. hehehe
Dulu Kuliah di malang sering kesini sama teman dan Keluarga, juga mantan #eh
Dulu itu Hijau banget mbat, lebat lebat pohon disekitar dan Debit airnya juga deras. Sekarang kelihatan lebih gersang. Mungkin dunia mulai panas, Jadi pengaruh.
Duh, ternyata banyak yang punya kenangan bersama mantan di sini ya…
Jadi dulu lebih lebat ya Mbak Zulfa. Mungkin memang alam berubah karena tuntutan kita terhadapnya 🙁
Legenda yang meekat pada hampir setiap tempat ya Uni Evi…lah saya lebih terpikat pada Dewi Anjarwati dari TangSel loh
Hahahaha..Versi butut dari Dewi Anjarwati, Mbak Prih. Terima kasih sudah terpesona
mba evi kapan ke malangnya?? kok ga kabar2..:D
Iya Mbak Eda. Tapi sudah beberapa bulan yg lalu sih 🙂
Mungkin pak sabar mencoba mendramatisir keadaan biar suasana semakin seru he3 🙂
Iya kali Pakded. Mungkin juga itu yang ada dalam pikirannya hehehe..
foto yang ke 3 dari atas (bg air terjun) sepertinya kayak di foto oleh fotografer prof 🙂
Hahaha kerjaan amatir itu mah Mas Sukmana. Eniwe, tks ya
wah nyesel banget nggak mampir kesitu waktu itu, padahal udah 2 kali melewati air terjun ini ketika itu dari kediri ke Malang,,, hmmm kapan – kapan kalau lewat ini langsung eksekusi pokoknya
Kalau lewat lagi mesti dimampirin itu Sobat Anis 🙂
iya kak 🙂
Kasihan bangt Dewi Anjarwati. 🙁
Hahaha iya Mbak Idah..Bahagianya baru sebentar sdh berpisah…
Kok serem baca yang mau ngajak kenalan ama tante Evi gini hahaha. Kalo nggak salah Coban Rondo ini nggak jauh ama Coban Pelangi, sempat ke sana juga kah?
Aku belum ke Coban Pelangi Mas Halim. Nanti kalau ke Malang lagi, Insya Allah ke sana 🙂
Debit air terjunnya gak banyak cuma tinggi bangeeeet
Benar debitnya kecil. Kalau musim panas mungkin habis sama sekali ya Mas Yan?
Sudah kesana beberapa kali, tapi baru tahu sejarahnya hehehe. Di Bantu banyak coban/air terjun. Yang lagi hits coban sewu
Kalau ada sejarahnya seperti ini banyak juga yg bisa diceritakan Mas Inggit 🙂
Tentang coban, entah bahasa yang beda atau apa, saya baru tahu kalau artinya air terjun
Hahaha..Sudah dua orang yang meragukan. Berarti namanya layak dipertanyakan ya Mbak Anaz..
Pernah denger dari teman. Orang malang, batu, pasuruan mengartikan coban itu air terjun
Ternyata kata cobaan untuk air terjun kurang familiar ya Mas Inggit
nngggggg..
itu yang lihatin beneran, Mbak?
Mbak Evi bisa lihat? 😀
Enggga..Amit-amit. Insya Allah aku tidak diberikan kelebihan itu Mbak Anaz. Ogah. Maunya bisa lihat makluk di tiga dimensi aja 🙂
Justru karena uni cantik dan energik jd ada yg melirik dari balik batu. Ngeri2 syeedaaappp :p
Aiiihhh gak lah. Lebih baik gak dilirik-lirik Mbak Muna..hahaha #merinding
bagus tuh fotonya yang latarnya air terjun…
Terima kasih, Ko 🙂
Maaf mbak, kalau nggak salah coban itu artinya cobaan. Mungkin artinya cobaan janda. Kalau air terjun itu grojogan atau curug. Entah kalau bhs Jawatimuran, aku nggak menguasai. Waktu ke Malang aku nggak mampir kesitu. Kurang banget waktunya. Dewi Anjarwatinya kece 😀
Mungkin bahasa Jawatimuran Mbak Lus..Sebab arti nama itu saya dapat dari plakat yang terdapat di sana…
Ntar kalau ke Malang jangan lupa mampir lagi ya 🙂
Mbak Eviiiii….aku malah terpana sama foto Mbak Evi jeee….menurutku gak kusam justru kimpling selalu…. kimpling = chic, enerjik dan cantik
Duuh..tersanjung. Amin…Ambil dari udara pujiannya terus tak masukin ke sel tubuh nih Mbak Lies,,biar benaran seperti itu..hahaha..Tks ya
Waduh pas saya jalan ke sana, saya malah bersandar-sandar di batu yang besar itu, soalnya kala itu air terjun ini ramai dan debit airnya juga lagi deras-derasnya :hehe. Tidak tahu kalau batu ini ada penunggunya, eh tapi di sana memang banyak sih yang jaga. Saya ada menjumpai pelinggih Bali di sana, apa Mbak juga lihat? Sampai sekarang masih penasaran sih dengan: itu apa, dan bagaimana bisa ada di sana.
But those are great shots! You look so pretty.
Waduh aku gak ngerti apa itu Pelinggih Bali, Gara 🙂
Air terjun = coban, kalau di jawa barat Curug. Saya aja baru sekali ke coban rondo itupun sudah lama sekali. DewiAnjarwati yg di foto fashionable sekali 🙂
Wkwkwk..Dewi Anjarwati maksa Mbak Ru