Suatu malam saya terdampar di Nol Kilometer Yogyakarta. Untuk kesekian kalinya berpusing di kawan Malioboro. Orang berdesakan hunting barang murah. Saya yang tidak suka pada suasana belanja yang terlalu crowded memutuskan konsentrasi pada gedung2 bersejarahnya saja.
Menghabiskan waktu di kawasan nol kilometer yogyakarta ini mata termanjakan oleh peninggalan masa lalu. Karena di sekitar jalan Trikora, Ahmad Yani, Ahmad Dahlan dan Senopati berdiri berbagai gedung bersejarah. Di bawah temaran lampu dan ribuan wisatawan yang sedang bersuka menikmati Malioboro, gedung bikinan Belanda tersebut membuat Jogja jadi unik. Wajah masa lalu berbaur dengan masa kini.
Bangunan Bersejarah Pada Nol Kilometer Yogyakarta
Yang bisa dieksplorasi pada nol kilometer Yogyakarta meliputi Gedung Bank Indonesia, Kantor Pos Yogyakarta, Gedung Peringatan Serangan 1 Maret 1949, Gedung Agung, Benteng Vredeburg dan Pasar Beringharjo.
Gedung Bank Indonesia Yogyakarta
Gedung ini terletak di sebelah kanan Bank Indonesia Jogjakarta. Dulunya ini rumah dinas pejabat Bank Indonesia Jogjakarat. Saat merancangnya, arsitek Belanda pasti sedang merindukan gedung-gedung klasik di negaranya. Namun usahanya tak sia-sia, salah satu daya pikat kota Jogja lahir berkat kehadiran gedung semacam ini.
Gedung Bank Indonesia ini dulunya adalah kantor cabang (KC) ke-8 dari De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta”. Diresmikan pada 1 April 1879. Arsiteknya bernama Hulswitt dan Cuypers. Lagi-lagi yang tampil adalah aura kemegahan arsitektural Eropa baheula. Terdiri dari tiga lantai dengan fungsi berbeda pada setiap lantai. Lantai paling bawah digunakan sebagai ruang penyimpanan uang, lantai dua kantor dan lantai tiga sebagai tempat tinggal direksi.
Kantor Pos Besar Yogyakarta
Yang paling menarik pada nol kilometer Yogyakarta adalah Kantor Pos. Berdiri disebelah kiri gedung Bank Indonesia. Kantor Pos besar ini telah mengukir 3 periode sejarah. Pertama saat digunakan selama pemerintahan Hindia Belanda. Berfungsi sebagai penguhubung antara Hindia Belanda dan Belanda. Disamping melancarkan segala aktivitas pemerintahan, soasial dan ekonomi. Kemudian dinasionalisasikan oleh pemerintah RI pada tahun 1953. Di bawah pemerintah RI fungsinya sebagai konektor diteruskan.
Gedung Peringatan Serangan 1 Maret 1949
Posisi gedung ini tepat di seberang depan gedung Kantor Pos, tepatnya di jalan Trikora. Sekalipun jalan peristiwa sejarahnya sendiri agak kontreversial, namun ini adalah monumen yang didirikan untuk memperingati peristiwa berdarah di Jogjakarta tanggal 1 Maret 1949.
Peperangan meletus gara-gara Belanda menganggap bahwa negara Indonesia itu sudah tak ada. Untuk membuktikan bahwa Belanda salah maka TNI merencanakan sebuah serangan besar-besaran. Cuma sayang Jogja ketika itu cuma bisa dikuasai selama 6 jam. Sekarang tempat ini sering dijadikan sebagai tempat pertunjukan musik, seperti yang saya lihat malam itu. Sekelompok anak muda terlihat mempersiapkan panggung dan sound system.
Gedung Agung
Gedung Agung ini letaknya hadap-hadapan dengan gedung peringatan serangan 1 maret. Dipisahkan oleh jalan Ahmad Yani. Ketika Jogja digunakan sebagai ibu kota RI, gedung agung berfungsi sebagai Istana Presiden. Ini sejarahnya dari Wiki :
Gedung utama kompleks istana ini mulai dibangun pada Mei 1824 yang diprakarsai oleh Anthony Hendriks Smissaerat, ResidenYogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki adanya “istana” yang berwibawa bagi residen-residen Belanda sedangkan arsiteknya adalah A. Payen.
Karena adanya Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) pembangunan gedung itu tertunda. Pembangunan tersebut diteruskan setelah perang tersebut berakhir yang selesai pada 1832. Pada 10 Juni 1867, kediaman resmi residen Belanda itu ambruk karena gempa bumi. Bangunan baru pun didirikan dan selesai pada 1869. Bangunan inilah yang menjadi gedung utama komplek Istana Kepresidenan Yogyakarta yang sekarang disebut juga Gedung Negara.
Arca yang berdiri didepannya disebut Dagoba yang menurut saya adalah Dwarapala. Arca ini terlihat di banyak candi di Jawa dan bahkan di depan pintu masuk Keraton Jogja.
Benteng Vredeburg
Meneruskan menelusuri jalan di Ahmadi Yani, sebelah kanan terlihat Vrederburg yang megah. Layaknya model benteng jaman dulu, yakni disekelilingnya di bangun parit, untuk mencapai pintu gerbang kita harus melewati jembatan terlebih dulu. Pemandangannya menakjubkan. Sayang kunjungan saya pada saat peak season, terlalu banyak manusia yang tak memungkinkan ngambil foto dengan leluasa. Menurut sejarah, Belanda “meminta” agar Keraton Jogjakarta membangunkan benteng ini untuk mereka. Tepatnya “dipaksa” kali ya. Mau baca sejarah lengkapnya silahkan kesini.
Pasar Bering Harjo
Ini dia pasar induk Jogjakarta. Indeks harga sayur mayur kota untuk dibandingkan dengan kota Indonesia lain datang dari sini. Selain itu hampir semua produk kerajinan lokal bisa ditemukan di Beringharjo. Pasar ini berdiri karena alasan kultural. Bahwa salah satu komponen dalam pola tata kota Kerajaan harus merupakan “Catur Tunggal” yaitu Keraton, Alun-alun, Pasar dan Masjid (Bangunan Suci).
Pertunjukan Seni Visual
Selain bertemunya pedagang dan pembeli, Malioboro adalah tempat nongkrong para seniman dan anak-anak muda. Saya tak tahu nama patung ini, tubuh lelaki berotot tak berkepala dengan dada koyak. Entah dia sedang mempresentasikan apa. Di persimpangan lampu merah ujung selatan Malioboro ini, juga terdapat patung bercat perak, yang sedang mempresentasikan orang sedang sedih. Begitu pula di museum Vredeburg, saat itu juga sedang berlangsung pameran kesinian rakyat Yogyakarta.Pokoknya nol kilometer yogyakarta tempat yang tepat untuk mencari agenda seni yang tengah berlangsung.
Yogyakarta mulai terlihat seperti Bali. Setiap pojoknya bisa dijual sebagai objek wisatawan. Suatu yang menarik. Menurutmu kawans?
Salam,
@eviindrawanto