Suatu pagi duduk di beranda penginapan memandangi halaman yang masih basah karena hujan semalam. Udara sejuk cenderung dingin. Beberapa orang sales antar kota yang juga singgah bermalam di penginapan itu terlihat mulai berangkat.
Sambil menghirup teh hangat terlihat seekor lebah liar merayap diantara kuntum-kuntum bougenville ungu. Tadinya kukira lalat. Tapi terlalu besar. Sampai akhirnya sadar itu adalah seekor lebah liar yang sedang cari makan. Beberapa lama dia membenamkan sungut dalam ceruk diantara mahkota dimana bunga menyimpan nektar, cairan manis yang mereka hasilkan. Setelah itu dengan cepat terbang dan merayap lagi di kuntum berikutnya. Gerakannya lincah sekali.
Nektar memang disediakan alam untuk menarik serangga dalam membantu proses penyerbukan. Setelah terkumpul sedikit demi sedikit dari 500 sampai 1500 kuntum bunga dalam kantung madu yang volumenya hampir sebesar tubuh lebah itu sendiri, dia akan terbang kembali ke sarang. Disana membiarkan lebah pekerja mengosongkan nektar lalu memamahnya sampai bercampur enzin dari air liur agar lebih mudah diserap sistem pencernaan. Kemudian nektar yg sekarang sudah berubah jadi madu disimpan dalam kisi-kisi sarang sebagai cadangan makanan bagi seluruh komunitas. Seiring waktu cairan tersebut menguapkan air ke udara yang kekeringannya juga dibantu oleh kepakan sayap dari ribuan anggota. Ini yang menentukan kadar kekentalan suatu madu, kelembaban dan kipasan dari sayap-sayap lebah.
Yang lucu kemudian …eng ing eng..manusia datang dengan setumpuk pengetahuan bahwa nektar yang telah tercampur air liur dan dikumpulkan dengan susah payah dari ribuan bunga oleh ribuan lebah, memiliki jutaan khasiat bagi tubuh mereka. Berkhasiat? So pasti lah. Itu kan bahan makanan untuk melangsungkan kehidupan. Namun dalam bahasa kita itu berarti ambil, petik, konsumsi atau jual.
Kalau begitu, ditinjau dari sudut pandang lebah tentu saja kita hanya segerombolan perampok. Pencuri paksa gudang makanan mereka tanpa memberi mereka nilai tambah. Bagaimana tidak?
Bunga yang berisi kelamin jantan berupa benang sari dan kelamin betina berupa putik membutuhkan bantuan agar bertemu untuk meneruskan keturunan ( beda banget kan dengan kita yang bisa melakukannya sendiri 🙂 ). Tapi mereka tidak meminta tolong dengan gratis. Mereka mempercantik diri dengan warna-warna menarik dan mengeluarkan aroma harum agar serangga mau mendekat. Kaki-kaki serangga yang mengobrak-abrik sarang bunga itulah yang membantu melepaskan serbuk sari dari kepala tangkai dan terbang ke arah putik yang disebut orang sebagai proses penyerbukan.
Antara bunga dan lebah terjadi proses pertukaran yang saling menguntungkan. Terus apa manfaat yang kita berikan kepada lebah setelah mengambil makanan mereka? Tak ada!
Aku pikir ini yang aneh dari kecerdasan manusia. Kemampuan kita berpikir lebih ruwet melahirkan sudut pandang egois tak terkendali. Bahwa apa-apa yang ada di alam ini dianggap disediakan sebagai penunjang kehidupan. Tidak tahu dari mana mulainya, mungkin dari homo erectus berotak sederhana yang frustrasi di gua-gua, bahwa kehadiran mereka di bumi harus disokong oleh bumi beserta seluruh isinya. Kalau bisa seluruhnya gratis.
Jadilah kita lahir bermindset sebagai tuan yang pengambil semua tanpa memberi. Menebang pohon di hutan tanpa memikirkan kelangsungannya. Mengeruk isi perut bumi tanpa mengindahkan dampak lingkungan. Membuka hutan untuk dijadikan perkebunan memaksa ribuan pohon rubuh, hewan-hewan terusir dari habitat asli mereka yang memicu kepunahan. Alah mak! Berpikir hanya dari satu sisi, sisi keuntungan untuk diri sendiri, cara berpikir yang menurutku masih amat terbelakang!
Mungkin dibutuhkan evolusi ribuan tahun lagi sampai otak primitif ini bekerja lebih giat sehingga dapat memandang setiap eksistensi bak kehidupan dalam aquarium. Sama-sama memiliki peran untuk menjaga ekosistem di dalamnya. Bukan memangsa seperti kucing mendapatkan tikus. Fajar kemanusiaan itu pasti akan tiba.Semoga tak lama lagi, sebelum manusia mengambil bahan kehidupan secara gratis lagi, yaitu menghancurkan diri mereka sendiri.
Ada yang setuju dengan saya?
Salam,
–Evi
36 comments
memberi adalah nikmat yang terindah
Apa lagi jika sudah sampai di maqom tertentu bahwa memberi serasa menerima. Itu pasti yg paling membahagiakan 🙂
Saya setuju. Fajar kemanusiaan itu pasti datang,mbak. Barusan saya baca blognya si Tina Latief juga ada penganiayaan terhadap sebatang pohon di pinggir jalan. Tragis… Oh manusia.
Trenyuh emang Bli bahwa ketika melakukan sesuatu kita hanya memikirkan diri sendiri. Aku tadi juga dari sana. Mereka tak memikirkan dampak perbuatannya, jangankan terhadap lingkungan, terhadap keselamatan pejalan kaki juga tidak. Suatu saat dalam hujan lebat disertai angin ribut, tiba-tiba pohon itu tumbang ke tengah jalan, kasihan benar mereka yg akan jadi korban
Trimakasih Uni tuk sharingnya, sekolah alam sepanjang masa, manisnya mensyukuri sehingga mampu memberi pada kehidupan. Khas Uni Evi. Salam
Seperti filosfofi nenek moyangku Mb Prih, alam terkembang jadi guru. Sedang berusaha sangat belajar darinya. Terima kasih Mbak 🙂
Manusia dititahkan sebagai kholifah di muka bumi yang seharusnya menjaga dan memelihara bumi dan isinya.
Memang ada juga mahkluk lain yang disiapkan untuk kita jadikan bahan makanan namun tentu dengan cara-cara yang baik.
Tetapi pada prakteknya, banyak manusia yang “makan” manusia yang lain, bukan.
Ketika seseorang menghunus pisau atau pentungan berteriak “Allahhu Akbar” lalu bress..bresss memukuli manusia yang lain. Yang terluka berteriak “Astaghfirullahal adzim”. Sama-sama muslim saling baku hantam.
Sadis memang.
Semoga manusia segera ingat tugasnya untuk apa mereka diciptakan Tuhan.
Salam hangat dari Surabaya
Ketika sesama khalifah saling baku hantam demi perut sendiri-sendiri, aku pikir saat itu juga sebutan khalifah tak pantas mereka sandang PakDhe..Sedih ya, sesama sudara seiman saja harus saling memukul. Amin. Semoga PakDhe, semoga kefitrian jiwa yg kita bawa dari rahim ibu sesekali muncul juga ke permukaan.
Salam hangat dari Serpong 🙂
Banyak yang merasa bahwa manusia makin maju…
Tapi ketika melihat kenyataan betapa “manusia modern” itu merampoknya juga modern, tanpa tersisa sampai2 hak anak lebahpun ikut disikat, ternyata manusia itu sesungguhnya “makin primitif.
Salam!
Moderen kan karena kita berhasil membangun sarana fisik Pak Mars. Tapi kalau dari spiritual, kayaknya evolusi kita terhambat deh heheeh..Ada banyak kearifan lokal dalam sistem pertanian berkelanjutan hilang karena kita tak percaya lagi..Jadi semua disikat habis…seakan esok tiada hari lagi 🙂
uni, baru ini bisa masuk ke sini dari link di tempat mbak Imelda ,
kemarin2 kok tertutup ya,
belum baca artikel malah langsung komen dulu
betul Ni, ujung2nya apapun yang kita lakukan itu tetap harus menyelaraskan dengan keseimbangan alam
Gak ada cara lain Mbak Mon, harus begitu. Kecuali kita berpikir bahwa hidup hanya hari ini dan tak memikirkan generasi setelah kita 🙂
Kemarin2 selalu ada masalah diserver tempat aku hosting blog ini Mbak Mon. Server dalam negeri. Mereka sering suspend blogku tanpa sebab. Padahal hitsnya cuma berbilang ratusan dan gambar disini juga gak besar2 amat. Gara2 sering di suspen tanpa sebab itu sekarang tak suruh pindahin ke tempat lain pada anakku yg ngurusin technical blog ini. Setelah dipindahin ke Singapur, mudah2an gak ada kekacauan lagi. Terima kasih sudah Mampir Mbak Mon 🙂
fotonya bagus banget! 🙂
Terima kasih Mas Arman 🙂
tamak, serakah , egois itu sifat manusia. membabat hutan, merusak lingkungan yang tau akan berdampak buruk tapi masih di lakukan dan terus di lakukan..jangan salahkan mereka(hewan)yang sampai ke pemukiman, menghancurkan ladang.. mereka hanya mencari makan..karena habitatnya sudah dirusak..
Ketamakan tak hanya dilarang dalam agama, tapi juga menyalahi prinsip2 moralitas universal Kang Uyayan 🙂
Yang kita butuhkan sekarang adalah aksi nyata, berupa kepedualian pada sesama dan alam–sekecil apa pun, seremeh apa pun. Salam!
Tak mungkin tak setuju Brother. That’s right, aksi nyata, tak masalah sekecil apapun 🙂
Betul mbak, memberi sedikit perhatian pada alam saja kita sudah enggan, padahal apa yang sudah alam berikan pada kita itu luar biasa banyaknya…
Subhanallah!
Alam akan terus memberi, sepanjang dijaga dengan baik dia akan terus berproduksi. Di rusak juga gak masalah bagi dia sebetulnya sebab cepat atau lambat dia akan memulihkan diri. Nah selama pemulihannya itu kita mo ngapain? Paling mati sia2 Mbak Bintang 🙂
manusia kebanyakan penginnya gratis gratis dan maunya menerima, lupa memberinya, lupa akan keseimbangan, ah, kameranya bisa makro iq….
Mentalitas mau gratis itu mesti di kikis ya Bro. Tks..Aku sedang belajar megang camera 🙂
Kadang kita terlalu ego dengan segala macam keperluan dan keinginan dan harus mengorbankan alam mbak yach…terima kasih mbak, mungkin kecerdasan intelektual kita melebihi kecerdasan spiritual mbak..yach…
Aku pikir juga begitu Bli. Kecerdasan intelektual kita berkembang lebih cepat dari kecepatan spiritual. Atau mungkin juga pendidikan kita hanya mengasah intelektual dan melupakan bagian yg lain yaitu spiritual 😉
Salam kenal mba Evi. Artikelnya bagus. meningatkan kita bahwa kecerdasan intelektual tidak lebih penting dari kecerdasan spiritual. keduanya harus seimbang agar kita menjadi lebih bererti sebagai khalifah di muka bumi ini.
Senang berkenalan dengan dirimu Mbak Ridha. Terima kasih. Setuju Mbak, sgala sesuatu harus seimbang..:)
Saleum,
saya tidak tau mau komen setuju atau tidak. Satu sisi madu lebah itu berguna sebagai obat dan untuk kesehatan manusia, disisi lainnya, manusia sering kali kesalahan tangan mengambil madu tersebut sebelum waktunya sehingga merusak kelestarian dari lebah tersebut. yach… begitulah,
Saleum,
Memang cara berpikir kita seperti itu Mas, memadat sejak dimulainya evlusi aku kira. Sementara aku berandai-andai, seandainya awal pemikiran kita tak begitu, bahwa setiap yg ada menghormati eksistensi masing-masing, tidak saling memakan, akan seperti apa kehidupan yang kita jalani ya? Hehehe..
serakah, sombong, itu kan sifat manusia Bu? dipikirnya semua yg ada di bumi ini bisa dipakai semaunya, sampai lupa bahwa apapun itu bisa habis kalau dikeruk terusmenerus
saya teringat artikel mengenai sumpit beberapa waktu lalu, benda remeh, yg banyak dipakai, tapi tanpa sadar sudah menghabiskan ribuan batang pohon untuk membuatnya, entah sudah berapa hektar hutan yg gundul untuk memenuhi permintaan sumpit itu
Hm, you know what Miss Titi…Di hotel2 dan rumah makan kelas atas tak menggunakan sumpit dan tusuk gigi dari bambu lho. Sumpit itu tetap sekali pakai buang namun bahannya harus dari kayu. Sumpit dari bambu tak aman, seratnya sering melukai, jadi mereka tak menggunakan yg dari bambu tapi dari kayu. kalaupun hutan bambu habis, masa tumbuhnya relatif cepat. Tapi kalau kayu? bayangkan untuk alat yang sekali pakai kayu perlu tumbuh minimal lima tahun. Kita boros gak puguhan ya. Eh jadi ingat, bukan hanya hotel yg memakai sumpit kayu sekali buang. Hok2 Ben juga 🙂
Duh…semoga kita tidak termasuk homo erectus frustasi yang hanya melulu mengambil untuk lupa memberi ya Uni…
Semoga otak kita lebih kompleks dan mampu melihat suatu masalah dari berbagai sudut Mbak Orin 🙂
Mbak Evi,
Kadang manusia itu serakah ya…
Walaupun mengambil madu, harusnya tetap menjaga kelestarian alam, menjaga lingkungan alam agar flora fauna tetap bermanfaat dan bisa hidup berkelanjutan.
Untungnya dalam pengambilan madu hutan sekarang sdh lahir konsep panen lestari Mb Ratna. Madu tetap di panen tapi tidak menghabiskan seluruh sarangnya..Yah kalau ngomong soal keserakahan, hati manusia itu bak sumur tanpa dasar Mbak 🙂