Di kampung saya pesta selalu dimulai dari dapur. Tidak seperti di kota besar yang urusan dapur diserahkan pada jasa catering atau tukang masak profesional, ditempat kelahiran saya dapur digarap secara gotong royong. Pesta adalah peristiwa komunitas, milik komunitas, sumber kebanggaan atau aib komunitas, jadi anggotanya terlibat sejak dari perencanaan. Sebelum hari H ibu memberi tahu saudara-saudara akan pesta tersebut. Sekarang ada telepon mereka tak perlu didatangi satu persatu seperti masa lalu, cukup di call atau SMS saja. Mengundang memasak termasuk adat di Minangkabau, tak bisa ditinggalkan kalau ingin alek (pesta)nya berlangsung sempurna.
Maka pada hari yang telah ditentukan para bundo kanduang yang bersaudara saparuik -seperut itu (garis keturunan yang diurutkan dari nenek perempuan, sampai pada ibu dan saya) datang ke rumah. Berkumpul di rumah dapur merencanakan apa yang akan dihidangkan dan bagaimana memasaknya. Kewajiban pemilik pesta hanya sampai disitu, menyediakan semua bahan setelah itu bisa mengerjakan tugas lain. Sejak hari itu sampai pesta usai dapur diambil alih kerabat.
Pemimpin Dapur
Dalam peristiwa ini pemimpin dapur muncul dengan sendirinya. Biasanya seorang yang paling pengalaman, paling senior dan (kalau saya perhatikan) paling banyak bacot juga hahaha…Orang ini yang paling bertanggung jawab apakah para tamu akan puas menikmati hidangan atau malah menimbulkan cacek (cela). Profesionalisme mereka matang lewat pengalaman. Maklum lah orang Minang cuma mengenal 2 kata dalam masakan : Enak dan tidak enak. Jadi semua makanan harus enak. Pengasahan yang ternyata menajamkan intuisi. Tanpa ditimbang dan ditakar mereka tahu bumbu pas untuk mematangkan satu ekor sapi. Entah itu rendang, gulai, kalio atau asem pedas.
Mereka berbagi tugas. Yang merasa muda dan belum banyak pengalaman akan mengerjakan motong-memotong dan bersih-bersih bahan yang akan dimasak. Sama halnya masyarakat dimanapun yang punya beberapa aturan tak tertulis namun diterima dan ditaati oleh anggotanya. Nah biasanya mereka yang relatif berusia muda akan memposisikan diri seperti itu, sebagai juru bantu agar acara memasak berlangsung smooth. Walaupun ahli mereka jarang mengambil tempat dekat tungku, tempat dimana keputusan akhir seperti seberapa banyak bumbu yang akan digunakan di lakukan. Lagi pula pekerjaan paling mudah tapi paling menyita waktu biasanya kan motong-memotong. Kapal cuma punya satu nakhoda, jadi harus ada yang mengerjakan tugas-tugas sepele yang bila tak dikerjakan akan menggagagalkan acara masak itu sendiri. Seperti bawang untuk digoreng dan buncis atau wortel untuk dibuat sayur tauco. Untung sekarang ada blender listrik atau cabe bisa digiling di pasar. Kalau semua bumbu di ulek sendiri. Maka berpedas-pedaslah mata para ibu entah karena bawang atau asap yang keluar dari tungku kayu.
Kerja sama dalam acara masak bersama ini seperti konser musik. Semua yang terlibat berperan dalam suatu urutan gerakan berima. Saat tauco hendak naik, santan berikut potongan2 buncis dan bumbu sudah tersedia.Padahal sang pemimpin tidak memberi perintah apa-apa saja yang mesti di dahulukan atau dikebelakangkan. Sambil diiringi ngegossip sana-sini, semua yang terlibat di dapur mengerti arus lalu lintas bahan pada waktu yang tepat.
Ah tiba-tiba hentakan rindu ini jadi tambah kencang pada kampung halaman 🙁
24 comments
Wah..acungin jempol yang banyak dah para saudara Minang kita kalau buat urusan makanan. Semua makanannya pasti enak. Padahal diantara masakan nusantara, masakan padang kayanya juga yang paling sulit membuatnya.
Franky speaking, kalau saya ada rekan-rekan kerja kebetulan dari luar datang – saya ajak makan di rumah makan padang, pasti selalu komentar makanannya enaaakkkk banggget! (terutama rendangnya – pada doyan tuh). . Jadi sejak itu, saya pasti selalu merekomendasikan masakan padang jika ada teman yang nanyakan masakan Indonesia. Itu udah pasti akan mengangkat citra kuliner Indonesia.
Bravo Dapur Minang!!!!
Mb Dani (hehehe..ngikutin Mb Prih), makanan padang emang ribet mempersiapkannya, tapi emang worth it lah..Terima kasih telah membantu mempromosikan masakan suku kami ke tamu-tamu asing. Dengan semakin banyak tahu, mudah2an mereka kian mencintai Indonesia lalu merekomendasikan teman-temannya agar berkunjung ke sini. Pada ujungnya industri pariwisata kita kian maju. Jadi Indonesia tuh gak cuma Bali hehehe….
ooh ternyata Uni Evy dara Minang, survey membuktikan urang Minang ahli merangkai kata ya. Bacaan awal generasi saya Siti Nurbaya, Salah Asuhan semua bersetting Minang.
Masakan Minang sungguh rasanya nendang ya. Salam
Di masa lalu emang banyak sastrawan dari ranah Minang, Mb Prih, di masa sekarang masih banyak juga tapi kebanyakan mereka tidak membawa bendera minang lagi, melainkan Indonesia. Senang juga jika disebut kami pandai merangkai kata, semoga saya kecipratan kelak. Terima kasih ya. Mengenai masakan, pemakaian bumbu yg berani kali yah, maka jbegitu menyentuh jonjot2 lidah langsung terangsang, mereka langsung terangsang heheheh..
di desa dimana saya tingal suasana di belakang layar pesta persis seperti ini. apa yang menarik bagi saya adalah interaksi sosial yang terjadi di dapur pesta ini
alih alih foto ke dua, foto yang berisi 3 ibu berkerudung itu keren sekali 🙂
Betul Mas Jarwadi, interaksi sosial yg terjadi di dapur begitu hangatnya. Penuh canda, ngegossip, tertawa, pokoknya akrab banget, tak ada yg tersembunyi dalam hati masing-masing.
Mengenai foto, ini terjadi kurang lebih 1.5 tahun lalu. Sementara Ibu yg berbaju merah, yang paling cantik yg tersenyum menghadap camera, sudah berpulang sekitar tiga bulan lalu Mas. Dia ditabrak motor saat berangkat ke mesjid hendak menunaikan shalat magrib 🙁
Kalau urusan masak memasak diacara kampung paling enak kita melihat keguyubannya. Karena mereka saling melakukan pekerjaannya tanpa mengenal perintah, paling berdiskusi kecil dan saling melengkapi. Dan hal ini merupakan suatu pemandangan yang langka, yang dapat kita temukan di daerah perkotaan. Semoga hal ini dapat dilestarikan.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
Untunglah di desa rasa kekeluargaan yg guyub masih kental terasa. Mungkin karena satu kampung isinya kebanyakan kerabat dekat, perasaan sedarah masih ada. Salam sukses juga utk Ejawantah’s Blog
Tidak hanya di kampung sebenarnya…tapi memang di kampung ikatan antar tetangga sangat kuat terjalin. Seperti satu kesatuan tubuh. Jadi ingat pernikahan kakak yg nomer 2 dulu di Tulungagung – JATIM… rumah penuh dengan tetangga yang membuka dapur umum untuk para tamu undangan.
Hallo Mas Toto, oleh2 dari bulan madunya apa? Hehehe
Rasa setia kawan seperti yg terjadi dalam perhelatan maupun kematian, semoga terus berlanjut di negeri kita ya.Salam sukses Mas…
oleh2nya kerokan jeng….wekekekeke
Salam sukses juga Jeng Evi
Apalagi kalau masaknya pakai tungku kayu, harum kayu terbakar dan bau masakan selalu membawa ingatan kembali ke kampung halaman
Akupun sangat suka minum teh dengan air yang direbus di atas tungku, wanginya lain
Iya Mbak, masak pakai kayu api memberi cita rasa terhadap makanan diatasnya. Maka kalau di kampung berat badan cepat naik, secara walaupun cuma ikan goreng, dimakan pakai sambel dan nasi hangat..ooooohhhh….hehehehe..
aaahhh.. postingan ibu ini ngebuat saya kangen dg masakan indonesiaaa..
lllaaaapperrrr 😀
Hehehe..Mesti disegerakan cari warung padang di Jerman Mas Dhedhi…
Pagi-pagi blog-walking sambil sarapan baca postingan tentang masakan. Jadi tambah nafsu makan saya.
Salam persahabatan dari Pekalongan.
Wah, sarapan dengan apa pagi ini P Mursyid? Apapun semoga memberi kesehatan pada tubuh dan tambah semangat mengajarnya ya. Salam persahabatan dari Serpong 🙂
saya orangnya pemalu kk, malah takut kalo ada banyak orang gotong royong, jadinya saya lebih memilih tinggal di pulau pribadi saya, menikmati kesendirian
Hahaha..Apa sajalah adik Dunia Otan, yg penting dirimu bahagia
Wah.. ^^
saya jadi teringat pesan yang disampaikan bang tere di novelnya, Pukat.
“Banyak sekali contoh kebaikan sederhana di dunia ini yang semakin pudar, Pukat. Besok lusa, saat kau melihat dunia, pindah dari kampung ini, kau akan melihat lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan kecil yang hilang, digantikan kesombongan dan keserakahan hidup.”
“Saling mengirimi makanan, sayuran atau bahan makanan dari lading; bertandang ke rumah tetangga untuk saling bertegur sapa; bergotong-royong membantu; ringan hati meminjami uang, benda atau apa saja milik kita. Itu semua demi satu demi satu mulai pudar di kota-kota sana. Mereka bahkan boleh jadi kenal seseorang dengan jarak ribuan pal, tetapi empat tetangga di depan, belakang, kiri, kanan mereka sendiri sayangnya tidak kenal. Mereka boleh jadi kenal seseorang antah-berantah, tetapi saat ditanya rumah tetangganya yang hanya berjarak tiga rumah, mereka tidak tahu.”
“Padahal kita belum bicara yang lebih luas dari itu. Rasa peduli, kasih-sayang dengan anak-anak di sekitar, keinginan untuk saling membantu, keinginan untuk membuat hidup lebih baik. Kita belum bicara tempat kita bekerja, tempat kita beribadah, tempat kita sekolah, termasuk tempat kita berbelanja memenuhi kebutuhan hidup. Pasar misalnya. Jika kau memprotes cara Mamak kau berjualan tadi pagi, itu karena kau masih memahami pasar sebagai tempat jual-beli. Untung-rugi. Mahal-murah. Kau belum mamahami pasar sebagai bagian kehidupan kita, tempat untuk berbuat kebaikan, menebalkan rasa jujur dan prasangka baik. Oi, bukankahkau tahu, agama kita meneladani begitu banyak adab bertransaksi yang indah di pasar.”
Subhanalllah, kalimat bang Tere ini bagus banget, Mb Sekar. Seperti keluar dari seorang tua dari pondok kayu beratap seng dengan lampu minyak di dalamnya. Bening, hening, yang saling menggelisahkan dalam kesama mengertian. Terima kasih ya sudah berbagi
ondeh uniiiiii… senangnya ketemu urang sakampuang.
masak di dapur belakang yang hanya berupa dangau adalah favoritku
dan itu cuman saat lebaran haji, idul fitri dan jika ada baralek atau mandoa.
masakan yg dimasak di tungku belakang semuanya lezatt..!
Ondeh Amai, senang pulak ati ambo dikunjungi disiko…Setuju makanan alek rata-rata semua enak. Gak bisa sering mendapati khatam kaji kalau lagi di kampung, tapi yg namanya baralek disurau, makanannya paling enak. Wooo..Kebayang2 makan gulai kambing campur rebung…
[…] terus berubah. Bangunan rumah bergonjong yang menjadi ciri khas suku ini pun beranjak mengikuti. Di kampung saya sekarang hampir tak ada lagi orang membangun rumah gadang dari kayu yang penuh ukiran seperti masa […]