Temans pernah berkunjung ke Museum Kartini? Yang terletak di bekas tempat tinggal beliau kompleks Bupati Rembang? Kalau pernah, temans pasti ingat jejeran papan ukir yg berisi kutipan-kutipan surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Kutipan tersebut juga terdapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Nah salah satunya seperti foto disebelah berbunyi sbb : ” Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia adalah menundukan diri sendiri.”
Wanita yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional itu sedang curhat tentang perasaannya yang terkungkung oleh sistem feodalisme. Salah satu bagian dari sistem itu adalah tidak seimbangnya kesempatan mendapat pendidikan antara lelaki dan perempuan. Lelaki dikondisikan berperan di publik maka harus sekolah formal setinggi-tingginya. Sementara perempuan yang menjaga di sektor domestik terpaksa dipingit di rumah dalam rangka mempersiapkan dirinya jadi istri kelak.
Karena banyak membaca dan intens berkawan dengan beberapa orang wanita kulit putih, Kartini tahu bahwa ada perbedaan jelas antara dirinya dengan para sahabatnya. Mereka begitu bebas mengecap pendidikan sementara dia harus tinggal dirumah dan hanya diberi wawasan seputar soal menjadi “istri yang baik”. Perbedaan itu mendatangkan kegelisahan, melahirkan kesadaran bahwa adat istiadat yang diterimanya sejak kecil terasa tidak adil.
Namun ntuk mendobraka tatanan sebuah tradisi yang terlanjur mapan, diterima banyak orang sebagai satu kebenaran seperti terbitnya matahari tiap pagi di Timur, bukanlah perkara mudah. Budaya yang tersimpan kokoh dibelakang tembok tradisi takan sudi membuka pintu bagi ide baru, seperti perempuan punya hak yang sama dalam pendidikan formal. Karena itu anak Bupati Rembang ini sadar bahwa apa yang dipikirkan dan jadi keinginannya sedang melawan arus. Tentu banyak konsekwensi dari “pikiran” yang tak biasa itu. Penolakan tak hanya berefek terhadap dirinya pribadi tapi juga pada keluarga dan semua orang yang mencintainya.
Seorang pejuang ide harus mengetahui semua resiko di tiap lini langkah mereka. Tak cukup keberanian saja tapi diperlukan satu karakter kuat untuk mewujudkan mengapa ide tersebut harus dieksekusi. Itu tercermin dari kutipan Kartini berikut: ” Kami akan mengoya-goyahkan gedung feodalisme itu dengan sekuat tenaga yang ada pada kami, dan andaikan cuma satu potong batu yang jatuh, kami akan menganggap bahwa hidup kami tidak sia-sia.”
Tulisan Kartini itu bersifat universal, lintas jaman dan berelevansi di tiap bidang kehidupan. Bahwa musuh kita yang paling utama bukan Yahudi, Uni Soviet, Osama bin Laden, ataupun orang-orang jahat di luaran sana. Musuh utama kita ada didalam, kita sayang, pelihara dan nina bobokan dengan sejuta kenikmatan. Maka konsep perubahan (transformasi) bagi raksasa tidur itu semacam pembunuhan paksa, dia akan mengerahkan segala upaya agar tetap berada ditempatnya.
Tapi tahukah temans, sekali kita memenangkan pertarungan atas dirinya, kemenangan2 berikut terasa lebih mudah. Dan ketika kita tahu bahwa kita berhasil melawan diri sendiri, rasanya seluruh dunia bertepuk tangan. Mungkin itu yang disebut oleh ibu Kartini sebagai kemenangan yang seindah-indahnya.
Apa saja godaan buruk yang berhasil engkau lawan, kawan?
24 comments
Sangat beruntung kita terlahir bukan di jaman itu. Kalau iya, tentu kesulitan kita berlipat-lipat dibandingkan sekarang ya…
Ya, aku setuju dan sepaham betul dg tulisan Ibu Kartini di papan berukir Jepara itu. Tapi aku belum pernah ke sana, Mabk Evi.
Dan juga baru ngeh kalau kalimat penaklukan diri sendiri itu ada juga ditulis oleh beliau. Salut!.
Semakin in-line dengan pemahamanku karena kalau di Bali, kebetulan ajaran akan penaklukan diri sendiri itu memang sangat kuat ditekankan sebagai inti pelajaran ahlak dan budi saat kita masih kanak-kanak – antara lain dg mengenali dan menaklukan 6 musuh dalam diri sendiri yang disebut Sad Ripu dan menjauhi 6 kegelapan yang mungkin bisa menguasai diri kita yang disebut dg Sad Atatayi.
@Mb Dani: Kalau lahir di jaman itu, anak bangsawan seperti ibu Kartini masih lbh beruntung Mb Dani. Nah kalau rakyat biasa,boro2 bisa gaul dengan noni belanda, yang ada malah mereka teriakin inlander mulu, karena ekonomi orang tua kita mereka miskinkan secara struktural..Emang beruntung kita gak keburu lahir di jaman itu…
Kartini sepertinya banyak dapat ide dari pertukaran pikiran dengan dunia luar Mbak. Kebetulan teman-temannya disana memblow up isi pikiran anak bangsawan yg terpingit itu. Jadilah kita bisa menikmatinya sekarang.
Waduh jadi pengen tahu mengenai sad Ripu dan Sad Atatayi itu Mbak Dani. Kapan2 tak tunggu tulisannya mengenai ini..:)
kalau dipikir-pikir, menaklukkan diri sendiri itu susah loh
@Mega. Pastilah itu. Makanya kenapa disebut kemenangan sebesar2nya 🙂
jadi ingat dengan biographi Kartini yang dhe liat beberapa waktu lalu di gramedia.. pengen banget punya, terlebih setelah baca postingan buk evi.. hmm, semoga semangatnya Kartini menular ke perempuan2 Indonesia lainnya ya buk.. 🙂
@Dhe: Amin. Semoga lebih merasuk lagi ke jiwa Dhe..Dirimu masih muda, jalan di depan masih panjang, pintu kesempatan sedang terbuka lebar-lebarnya. Ayo Dhe dirimu bisa lebih hebat dari Ibu Kartini 🙂
Belum pernah ke sana, melawan nafsu dalam diri itu luar biasa,seperti yang dikatakan mbok made memang demikian, perlu pengulangan-pengulangan dan latihan sehingga kita mampu menundukkannya
@Bli Budi: Pengulangan adalah ibu dari semua keterampilan..Dengan mengulang, seperti membuat jalan tol di syaraf2 kita. Sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dan menjadi realita kita. Begitu ya Bli?
pertarungan terbesar namun sangat jarang tersadari oleh diri kita
@Mas Narno: Mungkin karena begitu dekatnya sehingga tak terdapat jarak ya Mas..Padahal disamping memiliki sifat2 baik, ada sifat2 kurang baik yang mesti kita singkirkan. Dan pertarungan yang baik dan tak baik akan terus berlangsung dalam diri sampai maut menjemput kita 🙂
Uni apa khabar?
Baca posting ini aku jadi rindu sosok sehebat KARTINI 🙂
Kemuseumnya aku belum pernah, tapi baca buku biografi sudah 😉
@Mb Yunda: Alhamdulillah baik. Tks Mbak 🙂 Semoga sosok Kartini seperti yg kita idealkan terciprat juga pada kita 🙂
hm…sedang berusaha untuk lebih disiplin dalam pelaksanaan rencana ni mbak…to do list nya panjang…tapi yg terpenuhi baru sebagian kecil saja, hehe… setuju sekali bahwa peperangan terberat adalah melawan diri sendiri.. 🙂
Mb Mechta: Aku juga gitu kok, cita-citanya banyak, pengen ini-itu, tapi lebih banyak malasnya ketimbang eksekusinya..Sepertinya lawan terberat emang ada di dalam..Tapi kita kan gak boleh putus asa kan yah..Mari semangat lagi Mbak 🙂
kalau saya, godaan terburuk yang pernah dan sanggup saya lawan pada diri sendiri adalah godaan untuk tidak merokok.. alhamdulilah sekarang saya sudah berhenti merokok dan itu merupakan sebuah momentum bagi saya untuk bisa melawan diri sendiri…
@Gusti: Itu hebat Gusti. Cuma sedikit pemenang yang keluar dalam pertarungan rokok ini. Kebanyakan yang menang mah nikotin hehehe..Selamat ya
sangat bermanfaat dan mendalam, siapa yang bisa menundukkan diri sendiri dia menundukkan dunianya.
Bagus sekali kalimatnya Mas Terapi Qolbu. Siapa yang menundudukan diri sendiri dia menundukkan dunia 🙂 Wah very like this
Dia wanita yang inspriratif, walaupun terkurung dijaman feodal.
Mengalahkan diri sendiri ulit mbak, karena mengalahkan sesuatu yang sudah mendarah daging dari awal sama dengan mengelupas sebagian dari yang kita miliki.
@Pak Aldy: Betul Pak. Sahabat-sahabatnya berhasil membawa keluar isi pemikiran Kartini dari tembok feodalisme sehingga kita kenal sekarang. Setuju saya bahwa menghilangakan sebuah kebiasaan tak baik yg telah mendarah daging ibarat mengelupas daging dari badan kita sendiri. Analogi yang keren nih Pak 🙂
Menundukkan diri sendiri….memang sulit lho Bu Evi. Yang ada malah kita sering kebawa sama ego kita sendiri
@Mas Toto. Nah ego itu sumber kemenangan maupun kejatuhan manusia 🙂
Saya suka kutipan di foto itu. Benar memang itu sussah sekali, karena ibarat bintang, manusiawi sekali jika merasa dirinya paling terang.
@Tutus: Iya begitulah..Yang paling keukeuh gak mau berubah biasanya emang diri sendiri 🙂