Kamu hidup di abad ke-21 dan bisa mengakses semua kemudahan yang ditawarkan teknologi modern. Bagaimana rasanya kembali ke abad sebelum itu, saat kehidupan berlangsung dalam hutan hujan pekat dan dan segala kebutuhan sepenuhnya ditopan kebaikan alam? Pengalaman inilah yang dicoba tawarkan oleh Mari Mari Cultural Village Sabah. Jaraknya sekitar 45 menit perjalanan dari Kota Kinabalu. Kita dibawa memasuki pengalaman sosial 5 kelompok etnis penghuni Sabah – Borneo Utara: Dusun Kandazan, Lundayeh, Bajau (laut dan Darat), Rungus, dan Murut. Mereka bisa juga disebut Suku Dayak Malaysia. Pengenalan makanan, kehidupan sosial, arstitektur, dan teknologi yang gunakan yang jadi sorotan utama dalam tur budaya ini. Museum hidup yang dirancang untuk memberi wawasan tentang sejarah, budaya dan tradisi kehidupan Borneo. Pengunjung dibawa merasakan pengalaman yang dilakoni oleh kelompok etnis melalui makanan, menyigai pelosok rumah, membuat kain dari kulit kayu, sampai mengikuti permainan tradisional seperti Langsaran dari suku Murut.
Tur yang memperkaya jiwa di Mari Mari Cultural Village Sabah
Kehadiran kami di Mari Mari Cultural Village berawal di sebuah saung dengan bangku kayu, dan sebuah konter penjualan souvenir dan tiket. Di belakangnya terhampar hutan hujan. Sudah senja ketika itu. Tak terdengar apa-apa kecuali rintik gerimis yang menyentuh dedaunan dan jerit cacing serta jangkrik siap menyambut malam. Samar terdengar arus sungai yang menggelegak. Saya kira kami hanya akan menonton pertunjukan di sana sampai dapat panggilan seorang tour guide agar kami berkumpul. Ia menunjuk ke gerbang, ada peta Mari Mari Cultural Village di sana .
Sebelum memasuki desa wisata, pemandu yang lancar berbahasa Melayu ini menerangkan lima rumah yang akan kami masuki, tata cara memasuki dusun, tata krama yang harus di hormati, dan sikap tubuh saat bertemu kepala suku. Karena hari sudah gelap kami diminta untuk tidak berpencar karena ada kemungkinan tersesat ke dalam hutan. Mendengar ini tentu saja semua sepakat mematuhi.
Jembatan gantung yang membawa kami ke Desa Budaya Mari Mari melintas sungai berarus deras. Sedikit menyayangkan ke gelapan itu karena tidak dapat menyaksikan aliran air membentur batu. Melihat pemandangan seperti itu mendatangkan sensasi aneh. Air mengalir di sungai itu seperti hidup, betapapun kerasnya terbentur, hidup akan terus mengalir pada tujuan akhir.
- Baca di sini tentang: Prosesi Aqiqah di Minangkabau
Kenalan Dengan Cara Hidup Suku-Suku di Borneo
Di perhentian pertama saya mulai memasuki roh dari etnis Sabah, Dusun Tribe. Seperti semua tempat tinggal masyarakat agraris, di depan rumah Suku Dusun juga terdapat lumbung padi bernama Tangkob. Sebelum masuknya Kristen dan sebagian kecil Islam, kepercayaan mistis pegangan bagi mereka. Karenanya Tangkob dilengkapi jampi-jampi. Siapapun bermaksud mencuri kakinya akan terpaku di tangga. Tak bisa turun atau masuk ke dalam sampai kemudian ditangkap dan diadili dengan memancung kepala. Di sebelah Tangkob terdapat bangunan kecil dari bambu tempat menyimpan kepala-kepala pencuri yang terpenggal. Cara ini mungkin juga sebagai peringatan bagi calon pencuri lain agar tidak mencoba-coba.
Pembuatan tuak dari beras adalah kepandaian berikutnya yang ditunjukan kepada kami. Tuak tidak diciptakan untuk mabuk namun bagian dari prosesi adat dan ritual sosial. Minum tuak bersama tamu menunjukan keramahan tuan rumah.
Rumah panjang Etnis Dusun terbagi dalam sekat-sekat seperti kamar yang dihuni oleh kepala keluarga. Kepala rumah panjang yang disebut Datuk penghuni kamar paling depan. Sementara kamar tidur anak gadis terletak di bagian atas rumah panjang, dilengkapi tangga kayu. Setiap kali mereka pergi tidur malam tangga diangkat guna mencegah “lelaki iseng” naik ke atas.
Mencicipi Makanan dan Minuman Mari Mari Cultural Village Sabah
Pengalaman memasuki culture suatu masyarakat bisa dilakukan lewat banyak hal. Makanan dan minuman salah satunya. Lagi pula makanan dan minuman digunakan hampir seluruh budaya-budaya di dunia dalam mengungkap keramah-tamahan. Maka kami pun berkesempatan mencicipi hasil oleh produk hutan atau pertanian North Borneo rain forest. Satu yang sangat menarik karena pertama saya cicipi: Lanapak!
- Baca di sini tentang: Asal Mula Tahun Baru Imlek ( Chinese Festival)
Lanapak ini seperti lemang. Semua bahan dimasukan ke dalam bambu lalu dimasak sekitar 15 menit di atas bara. Isinya campuran beras. Jika tak ada beras dapat diganti dengan ubi kayu (singkong) atau kentang dan diberi aneka sayuran dan bumbu-bumbu. Rasanya sungguh enak. Kami juga mencoba kue jala. Nama kue diambil dari bentuk jala ikan yang digunaka Suku Bajau Laut. Bentuk cetakannya dari tempurung kelapa itu memikat saya. Pernah menjumpai kue jala serupa di Indonesia tapi belum pernah melihat cetakannya.
Kamipun melihat pembuatan tuak terbuat dari beras (rice wine). Ada yang rasanya ringan dan manis seperti air tapai ketan hitam, ada pula Montoku, hasil sulingan, dengan kandungan alkohol 40 persen. Di sajikan dalam sloki bambu kecil-kecil yang takan membuat kamu mabuk. Montoku sekalipun kurang manis rasanya pun mirip air tapai ketan hitam. Madu sebagai hasil hutan juga dikenalkan kepada pengunjung. Begitu Pandan Juice, bersama madu, selain sebagai minuman segar juga bermanfaat bagi kesehatan. Diperlihatkan juga beberapa jenis sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat seperti jantung pisang dan beberapa sayur lainnya.
Nonton Video Lengkapnya di sini
Pemberdayaan Masyarakat
Sabah memiliki 32 suku etnis. Sementara cara hidup yang diperlihatkan di Mari Mari Cultural Village merupakan gambaran umum lima kelompok (suku). Lalu apakah di masa sekarang mereka masih hidup seperti itu? Kecuali tradisi pemancungan kepala seperti yang dilakukan orang Murut, sebagian yang masih tinggal di hutan masih mempraktekan hal yang sama. Karena akses kepada mereka sungguh sulit dan memang dibatasi, Mari Mari Cultural Village Sabah adalah semacam show case untuk memahami Suku Dayak yang tinggal di Malaysia ini. Mereka yang terlibat di dalam program ini penduduk asli dan sebagian besar tinggal di dekat kawasan. Begitu pun setiap rumah dibangun oleh keturunan suku-suku yang mereka wakili dan di dukung penuh oleh Pemerintah Sabah. Tujuan akhir tentu saja pemberdayaan masyarakat.
Teknologi
Teknologi yang digunakan orang Dayak Malaysia sehari-hari sangat sederhana. Menangkap ikan menggunakan bubu terbuat dari rotan atau bambu, selain tangguk kain. Diperlihatkan juga cara membuat api menggunakan dua bilah bambu. Gesekan yang terjadi diantara bilah ternyata sanggup menghanguskan rabuk (serat lembut dari kulit kayu tertentu) di bawahnya. Senjata-senjata tradisional berperang juga terlihat di dinding rumah. Saya agak terkesima memandangi dua tengkorak manusia di Rumah Murut yang dipotong dengan keahlian anatomi. Sempat bertanya apakah itu asli? Untung lah ternyata itu buatan Cina bukan milik manusia.
Jadi, mengapa pengalaman di Mari Mari Cultural Village Sabah ini sangat menarik? Ini alasannya:
- Sebuah kesempatan untuk membenamkan dirimu dalam ketenangan hutan hujan.
- Bersenang-senang namun diperkaya oleh pengetahuan cara hidup yang kemungkinan jauh dari kehidupanmu sehari-hari.
- Berjumpa 5 suku berbeda dalam satu desa sekaligus.
- Melihat pertunjukan tari-tarian Bambu dan Api yang memesona
- Ikut mendukung pelestarian budaya dan tradisi suku asli Pulau Borneo.
46 comments
Menarik ya mbak sampe diajarin cara membuat api dari bambu. Kayaknya dulu di pramuka pun pas kemah gak sampe diajarin sebegitunya.
Sambil baca tulisan ini, aku ngebayangin saat di perjalanan, mbak Evi membawa pena, notes dan mencatat semuanya dengan rinci, sebagaimana yang pernah kuliat. Terbaique!
Hahaha kecepatanku menulis sekarang terkalahkan dengan rekaman suara dan video Yan…Jadi aku catat semua pakai teknologi
Iya cara membuat api dengan bambu ini menarik. Jadi kalau tersasar di hutan pengetahuan ini bisa digunakan
Aku suka baca postingan ini, bikin imajinasi ku melayang membayangkan aku berada disana hehee
Jadi pengen kesana nih Bu..
Ayo ke Sabah Mbak Yeye.. nggak nyesel deh
aku aja semppat bergidik ketika mendapati rumah yang isinya kepala manusia itu…hhhmm.. btw cewek yang lagi buat tapai duduk manis itu sungguh menarik untuk di simak lama lama hahahahhaha….. btw aku pingin dateng lagi ke sana tapi pas siang hari biar bisa tau hijaunya lingkungan Mari Mari Cultural Village..atau bisa photo photo di sungai yang pasti jernih dan instagramable…
Iya karena kita datang malam sepertinya banyak Yang Terlewatkan. Setidaknya kurang maksimal untuk membuat video dan mengambil foto-foto dari berbagai sudut. Sepertinya memang harus diulang ke sana
Aku suka deh 2 kalimat pembukanya. Gadget vs kebaikan alam. 😀
Lebih gampang mana Mba, bikin api dari batu atau dari bambu? Seru ya pasti perjalanan ke Sabah kemarin, dapat banyak pengalaman unik. Aku ngikutin kisahnya di socmed dan macem-macem gaya. Hahaha
Aku juga pernah melihat orang membuat api dari batu. Karena aku tak melakukannya sendiri sepertinya kedua-duanya mudah hahahaha…
wah, aku baca sambil membayangkan ikut dalam rombongan. Berharap kapan2 ikutan ‘diculik’. Mengenal langsung kehidupan masyarakat yang masih asli sungguh suatu kemewahan tersendiri ya mbak Ev.
Betul mbak Prita. Melihat kembali kehidupan sosial yang 100% mengandalkan kebaikan alam berikan insight tersendiri kepada saya. Sejarah teknologi mereka mungkin belum maju Tetapi keakraban dengan alam seperti itu Adakah yang bisa menggantikan?
Seru sekali sepertinya, museum hidup seperti ini memang memberi pengalaman baru. Kadang teknologi yang maju juga kemunduran di sisi lain. Hidup sederhana menyatu bersama alam sekitar sungguh damai.
Selalu ada harga yang harus kita bayar untuk di setiap perkembangan kehidupan sosial, ya Mas. Teknologi di abad ke-21 memudahkan banyak kehidupan kita tetapi juga merenggut banyak hal dari kita. Begitupun kehidupan seperti yang dilakukan suku-suku Seperti yang diperlihatkan di mari mari cultural Village, mereka mungkin belum punya banyak hal tapi memiliki banyak yang lain
Menarik aktivitasnya; menangkap ikan dengan bubu, membuat api dengan cara tradisional, dan banyak kegiatan lain yang membuat kita seperti menyatu dengan alam.
Cara hidup yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita juga. Cara hidup yang telah menghantarkan kita ke abad ke-21. Cara hidup yang perlu sering-sering kita tengok kebelakang agar lebih bijak berhadapan dengan alam 🙂
Baca ini, terus ke home, terus cari cerita lain, rasanya ingin masuk ke ransel mba Evi buat ikut jalan-jalan. Hehehe…
Hahaha terima kasih, Riyardi…
Wah ini patut d tiru si Indonesia, kemasan cultural village yang apik dan memikat
Mupeng pengen kesana uni
Iya di Indonesia banyak Desa budaya yang bisa dipacking seperti ini. Semoga ada yang tertarik untuk melakukannya segera, Uni
DI negara kita juga banyak sih sebenernya ya, mbak.. Saking luasnya Indonesia, model2 culture villager yg sudah dikembangkan, sering terabaikan. Tidak menarik buat orang lokal kita.. Sebenarnya tanpa dibuat “kampung khusus” kita ke desa di sudut Banten aja mungkin bisa ketemu yg model begini.. Cuma kita kadang udah berasa “terlalu kota” Jadi lupa mencicipi hidup ala jaman dulu…hihihi..
Mungkin konsepnya harus dijual ke turis asing dulu, Mbak Vika. Kalau turis asing sudah berbondong-bondong datang ke desa budaya seperti itu, turis domestik akan mengikuti. Apa boleh buat Rini rasa rendah diri akut belum Terangkan seluruhnya dari alam bawah sadar bangsa Indonesia yang sudah terjajah berabad-abad lamanya
Suka banget sama cara tradisional potong kepala ini. Selain simple, efek jeranya pun terasa banget. Rasa-rasanya gk mungkin ada orang yg mau maling kalau sudah melihat beberapa kepala korban pemotongan terjajar rapi di atas sebuah tempat penyimpanan. Apalagi kalau ditambah tulisan “dulunya mereka maling, namun sekarang tidak. KAmu mau menyusulnya?” Sebagai keterangannya 🙂
Hahaha aku terpaksa ngakak sendiri baca komen nya Darius. Contoh memang berbicara lebih keras dari kata-kata…
Mbak, saya kok salut banget ya dengan cara mereka mengantisipasi pencurian beras dan “keisengan” lelaki terhadap anak gadis. Sungguh. Pada masa itu mereka sudah berkomitmen menjaga norma.
Setiap kelompok masyarakat punya hukum sendiri untuk menjaga keteraturan sosial. Hukum yang lahir dari kesepakatan bersama untuk menjaga keharmonisan relasi antar kelompok maupun individu
TanEv itu beneran kepala pencuri dipenggal itu disimpen? Kita bisa liat gak? Seru banget sih Tan bisa jalan ke sini. Makanan minumannya agak mirip-mirip kita ya lemang sama tuak..
Sebenarnya bisa dilihat, Cha. Tapi saat itu sudah malam, lampu remang-remang pula, jadi susah mengintip ke dalam. Kalaupun ada kepala di dalam itu juga pasti sudah buatan bukan kepala asli lagi. Ini kan semacam museum bukan kampung tempat tinggal yang sebenarnya
Aku terkesan banget karena Sabah benar-benar niat melestarikan budaya lokal mereka sampai dibuat cultural village seperti ini. Sampai-sampai aku kepengen punya trampolin suku Murut itu hehehe, seru kali ya punya 1 buat di rumah.
Iya Sabah terlihat banget niat mereka dalam melestarikan budaya. Kehidupan bersahaja di dalam hutan dengan seiring majunya pendidikan lambat laun tentu akan punah. Nah sebelum itu terjadi mereka membuat museum hidup ini agar anak cucu mereka tetap mengingat adat istiadat nenek moyang mereka di samping juga memperkenalkannya kepada wisatawan untuk sambil menambah nilai ekonomi untuk masyarakat
Senyum Mbak nya meluluhakan aku, Tante.. Hehehe
Wah cultural sabah sangat2 asyik banget ya, Tante. Masih tetap menjaga
Haha banyak yang luluh hatinya di mari mari cultural Village. Tak disalahi karena memang penghuni disana bagus semua fisik maupun tingkah laku mereka
Wah… bisa ditiru nih sama Indonesia yang kaya akan budaya… Suku2 di Indonesia kalau kebudayaan dikemas seperti itu mungkin bisa menarik banyak minat wisatawan asing n dalam negeri
Di Pontianak ada rumah panjang. Waktu saya ke sana ya cuma rumah panjang doang tidak ada atraksi atau isi apa-apa. Andaikan Pemda membuat desa wisata seperti mari-mari ini, tentunya Kalimantan Barat akan semakin Berkibar. Entah mengapa belum ada inisiatif untuk membangun desa budaya, melestarikan berbagai cara hidup suku-suku yang unik di satu tempat sekalipun desawisata sudah bertebaran di Indonesia
Yup.. betul sekali kak… mungkin klo pemdanya blm ada inisiatif bisa dari pokdarwis setempat.. tapi klo pemda ga memfasilitasi agak susah jg sih..
ya ampun kak, keren keren banget fotonya. duh, jadi pengen pergi ke mari – mari lagi tapi siang, pasti banyak spot bagus deh buat foto. btw hatiku berdebar – debar kak haha
Hahaha mari mari cultural Village merampas separuh hatimu ya mbak
Rumah panjangnya sepintas kayak hanya satu lantai ya, Mbak. Tapi ternyata untuk kamar gadis ada tangganya. Kelihatannya adem melihat rumah tradisional seperti itu 🙂
Iya kalau dari luar sepertinya cuma satu lantai. Didalam mereka membuat seperti panggung, Mbak Myr…
Cultural village macam ini harusnya lebih banyak dikembangkan di pariwisata Indonesia, krn kultur kita beragam, jadi pasti menarik banget untuk dikunjungi
Saya juga yakin seperti itu. Ambil satu saja contoh seperti budaya di Mentawai, kalau dibuatkan khusus Kampung budayanya yang relatif lebih mudah diakses seperti di Padang, pasti akan banyak wisatawan yang akan tertarik
Aku kok lebih suka dibuat alami tanpa dikonsep seperti ini. Rasanya lebih otentik dan adventurous 😀
Yang asli berada di dalam hutan. Tujuan didirikannya museum Hidup ini adalah hal tersebut yang saat ini sudah tersebar dimana-mana mengetahui sejarah dan latar belakang budaya nenek moyang mereka. Tujuannya utama adalah edukasi selain pemberdayaan ekonomi masyarakat
Pada dasarnya semua minuman beralkohol itu tidak diciptakan untuk mabuk. Ia dibuat untuk menghangatkan badan karena cuaca yang dingin, manfaatnya untuk kesehatan juga ada. Cuma, sama seperti semua hal lainnya di dunia, yang berlebihan pasti tidak baik. Minum alkohol sampai mabuk adalah sebuah penyalahgunaan dan “overdosis”, hehe. Penasaran nih cobain tuaknya 😀
Setuju bahwa semua yang berlebihan tidak baik. Minuman yang diciptakan oleh suku suku di pedalaman selain untuk menghangatkan badan juga untuk pengobatan dan alat upacara. Bila ada 1 kelompok yang tidak menggunakan minuman tersebut karena kepercayaan, itu pun harus di maklumi. Setiap kelompok mempunyai tata cara dalam menegakkan Solidaritas keteraturan sosial. Yang tidak melihat adalah satu kelompok mengatakan kelompok lain tidak baik 🙂
Setuju banget, mbak.
Sayang sekali ya di Indonesia promosinya masih lebih ke pariwisata alam. Coba kalo dikemas lagi dengan Cultural Village Trip, pasti lebih keren lagi karena banyak banget suku di Indonesia yang menarik buat dipelajari 🙂 Mungkin dari cerita sabah ini bisa memberikan inspirasi 🙂
Regards,
Dee – heydeerahma.com
Mungkin karena kita kebanyakan jenis budaya etnis, Dee. Jadinya bingung mau dikemas yang mana hahaha…