Kita, konsumen, konsumsi dan marketing –Â Konsumsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemakaian barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan dll). Mengkonsumsi artinya menggunakan atau memakai barang-barang konsumsi. Gunanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan.Sedang konsumen adalah pemakai barang hasil produksi.
Jaman dulu orang membuat sendiri barang-barang kebutuhan mereka. Butuh baju harus bikin sendiri. Mulai dari memintal benang, menenun dan menjadikannya selembar baju.
Seiring perkembangan budaya hal tersebut sekarang mustahil di lakukan. Karena itu kita pergi ke pasar, menukar sumber daya yang kita punya dengan barang atau jasa yang dibutuhkan. Konsepnya win-win. Maksudnya apa yang kita butuhkan harus ditukar senilai barang yang dipunya pedagang. Saya butuh gula aren, si penjual gula aren butuh uang, kala nilai pertukarannya (harga) disepakati terjadi lah transaksi.Jadi itu lah dasar utama kita mengkonsumsi, memenuhi kebutuhan.
Pertimbangan di Belakang Pola Konsumsi Konsumen
Banyak pertimbangan nyelimet di belakang pola konsumsi kita. Tak sekedar memenuhi kebutuhan primer tapi juga sekunder. Misalnya sebelum memutuskan belanja, konsumen mempertimbangkan nilai atau reward yang akan diperoleh. Tak sekedar fungsinya tapi juga dampak psikologis setelahnya.
Kalau membeli tas branded asli yang harganya puluhan juta, kita tak cuma berharap benda tersebut mampu menampung dan membawa benda-benda pribadi. Tas itu juga harus mendongkrak gengsi. Jadi semacam label dari kelas sosial yang kita tempati. Tak cukup, tas branded akan bercerita berapa penghasilan kita, siapa teman-teman kita gauli.
Begitulah tingkah laku kita sebagai konsumen. Kita pilih komoditi yang menurut pertimbangan punya nilai lebih dari cost yang dikeluarkan. Basiknya adalah kemanusiaan kita yang tak mau merugi.. Tak terbatas pada untung-rugi finansial tapi juga non-finansial seperti kesenangan dan kepuasan yang akan diperoleh.
Dunia Marketing Dari Seberang Garis
Konsumen harus punya reasons dalam belanja. Dari arah sebaliknya penjual atau marketer menggiatkan cara kreatif dan inovatif dalam menangani logika tersebut.
Mereka kirim pesan tertentu agar kita mengeksekusi seolah kebutuhan itu ril. Seperti memilih Prada ketimbang tas bikinan Cibaduyut. Kalau kita merasa tak butuh tas bermerek mereka membangun stimulus. Tujuannya untuk membangunkan kebutuhan yang masih tertidur dalam diri kita.
Pesan-pesan marketing digelontorkan lewat berbagai media yang selalu menekan keuntungan dan kepuasan kita terhadap komoditi yang dipasarkan.
Lama-lama pesan-pesan tersebut akan merubah cara pandang kita.Yang tadinya tak butuh atau tak begitu butuh sekarang jadi butuh. Tahuan 80-an siapa yang butuh pulsa? Siapa yang butuh paket data?
Namun hari ini ketinggalan jaman banget bila tak menggunakan mobile phone. Teman kita punya semua. Strategi marketing di belakang ponsel menyadarkan akan banyak sekali kerugian kalau tak ikutan naik gerbong. Karena sudah jadi kebutuhan pokok tidak pernah kita permasalahkan harganya. Pulsa telepon dan paket data Indonesia termasuk termahal di dunia.Dan jenjang kebutuhannya terletak di tangga ke-2 setelah beras.
Kita selalu punya reasons mengapa harus punya ponsel, pulsa, dan paket data. Jika harganya mahal, kita dapat mengatakan murah bila dibanding dengan nilai lebih yang diperoleh jika menggunakannya.
Pengaruh Budaya dalam Memaknai Produk
Budaya menyumbang makna terhadap barang dan jasa yang kita gunakan. Jika Anda seorang muslim mungkin tidak akan terpengaruh bila tiba-tiba harga daging babi mencuat di pasar. Namun sangat kerepotan bila daging sapi lah yang berperilaku serupa.
Mengenai pengaruh budaya ini, seorang ahli marketing bernama Belk dan kawannya melakukan studi soal makna kognitif, fungsi simbolik, dan sejarah suatu produk. Mereka mempelajari tentang kualitas simbolik produk dalam konteks pemakaiannya. Dari sana dimunculkan konsep yang disebut semantik dan semiotik produk.
Contoh, sebuah iklan memasukkan nyanyian (jingle) yang membawa pikiran kita pada suasana desa hijau, tentram dan makmur kala memandang produk tersebut. Anda ingat itu produk apa? Atau pernah ingat iklan Wafer Tanggo dari OT yang memunculkan bule lengkap dengan aksen cadelnya? Itu sebuah upaya untuk memberikan selera “luar negeri’ kepada para penikmat wafer? Bule saja makan masa kita tidak?
Pertanyaan sekarang apa sih budaya, terutama budaya dalam konsumsi?
Budaya suatu bangsa itu banyak, salah satunya adalah ideologi konsumsi (ideology of consumtion). Itu adalah pendefenisian sebuah makna sosial yang dilekatkan dan dikomunikasikan oleh sebuah produk. Penelitian Belk dan rekannya ini mengungkapkan bahwa budaya memberikan makna tidak hanya pada iklan atau komunikasi mengenai produk, tetapi juga pada tindakan konsumsi.
Lah iya lah. Sekalipun kita boleh jualan roti di apotik tapi menawarkan pakaian muslim di negara-negara yang mayoritas non-muslim, kepada penduduk non-muslim pula tentu melewati esensinya dari sekedar think outside of the box
Untuk ibu rumah tangga, konsep ini keliwat nyelimet gak sih? Tidak tahu! Yang jelas literature semacam ini telah membawa saya pada pemahaman bahwa benar budaya mempengaruhi orang dalam memaknai sebuah produk. Saya bisa menguji teori ini dalam setiap aspek konsumsi di lingkungan sehari-hari.
Dan satu lagi, saya pikir ini cukup kuat juga untuk dijadikan bekal jualan produk apapun nantinya. Tidak hanya memahami mengapa orang membeli produk, tetapi juga mengapa orang senang berkunjung ke museum, membaca buku sastra, nonton konser musik dan berpartisipasi dalam kegiatan amal.
Follow me @eviindrawanto