Masalah tawuran atau berantem ramai-ramai di Indonesia tak hanya monopoli pelajar. Masyarakat umum juga sering melakukannya. Pertikaian yang lahir dari berbagai perbedaan seperti suku, kepercayaan dan antar golongan bisa membuat seisi kampung jadi gila dan berkelahi berjamaah. Namun pada tulisan ini saya batasi pada tawuran antar remaja saja yang akhir-akhir ini berkembang jadi semakin serius. Sampai menghilangkan nyawa orang saya kira tak lagi sekedar kenakalan remaja tapi sudah bisa disebut sebagai tindakan kriminal. Belum lagi beberapa kerusakan yang diderita masyarakat karena tak sengaja terperangkap dalam arena lempar batu atau kejar-kejaran dengan membawa benda keras dan tumpul. Mobil baret, bonyok atau kaca pecah sedikit diantaranya.
Ketegangan Jiwa
Saya menyadari bahwa remaja sekarang hidup disebuah jaman yang sangat berbeda dengan saya dulu. Kalau angkatan saya relatif terlindung oleh ketidak tahuan kami terhadap hiruk-pikuk dunia. Memang ada televisi tapi masih dibatasi oleh sensor. Namun remaja sekarang hidup dari satu ketegangan ke ketengan berikutnya. Abad informasi ini membuat siapa saja terpapar berita bahkan yang tak dibutuhkan. Contohnya serangan teroris disebuah negeri jauh sebetulnya tak punya korelasi dengan kehidupan remaja. Namun koran, televisi dan internet menghantarkan cerita sampai ke kamar tidur kita, lengkap dengan pemandangan berdarah-darah. Karena manusia makhluk berempati, melihat penderitaan orang lain yang walau kita tidak tahu dimana rumahnya, memicu suatu ketegangan dalam jiwa.
Belum lagi remaja sekarang harus jadi saksi atas ketidak sesuaian antara norma yang dipercaya berlaku dengan perilaku yang ditunjukan oleh sebagian anggota masyarakat . Contohnya kita terus menerus dididik sebagai orang beragama namun disaat bersamaan perilaku korupsi dan tindakan semena-mena dari yang kuat terhadap yang lemah terlihat begitu kasat mata. Sekarang balita pun sudah fasih pada konsep Cicak lawan Buaya. Bagaimana anak-anak bisa bertumbuh dengan baik dalam situasi seperti itu?
Aje gile kan, pelajar kok kayak jawara suka bawa senjataTambahan Lagi Berbagai SituasiTak Kondusif
Sebetulnya perlu studi mendalam untuk mencari tahu mengapa remaja sekarang suka sekali tawuran. Tapi saya berasumsi Indonesia bangkit bisa dimulai dari menemukan akar permasalahan yang bisa dirunut secara vertikal. Mulai dari rumah, institusi sekolah sampai ke dalam struktur tingkah laku masyarakat. Dua pencetus ketegangan seperti yang saya tuturkan diatas hanya kulit luar dari situasi yang lebih dalam, yang jadi pemicu remaja begitu frustrasi menghadapi hidup mereka. Mereka jadinya seperti bensin, terpecik provokasi sedikit saja langsung membara.
Untuk menanggulanginya :
Orang tua yang peduli1. Rumah
Faktor ekonomi orang tua juga ambil bagian dalam memicu ketegangan. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin logis secara ekonomi. Apa-apa dihitung dengan uang. Anak-anak yang kurang dapat perhatian dalam pertumbuhan mental biasanya juga kurang percaya diri, yang akan mudah sekali terseret ke gaya hidup konsumerisme. Agar diterima dalam pergaulan mereka harus kenal mall, makan-makan dan belanja di sana. Padahal tidak semua orang tua mampu mendukungnya.
Namun rumah tetap lah rumah. Rumah seharusnya jadi tempat berlabuh dan mendamaikan. Anak-anak yang didera berbagai persoalan sosial jangan lagi dibuat semakin tak menentu dengan memiliki orang tua pemarah dan kurang perhatian. Jangan karena kekurangan ekonomi, orang tua juga kekurangan energi dalam membangun hubungan emosi dengan anak-anak. Atau karena sibuk membangun karier semua pekerjaan yang berhubungan dengan anak diserahkan pada ART.
Kunci utama dalam membangun keberhargaan dalam jiwa anak-anak sehingga tak mudah melakukan hal tak terpuji adalah cinta kasih dari orang tua. Tak masalah dimanapun mereka tinggal, bagaimana level tingkat ekonomi, sepanjang memiliki orang tua pengasih, berempati, lancar membangun dialog, saya kira anak akan berpikir seribu kali sebelum ikut tawuran. Disamping dialog dua arah ini membuka kesempatan luas bagi orang tua untuk menyentuh sisi keagamaan dan sosial dari jiwa anak-anak.
Peran guru dalam mencegah tawuran2. Sekolah
Sudah jadi rahasia umum bahwa sekolah berkontribusi dalam membangun rasa frustrasi anak. PR dan proyek yang bertumpuk serta guru yang kurang bermutu dalam mengajar merupakan andil besar dalam kegelisahan anak-anak kita. Terkadang guru bersembunyi pada gaji yang tak memadai untuk menoleransi skill mereka yang rendah. Seharusnya skill mengajar dan pendapatan rumah tangga diletakan terpisah.
Nah sekolah mestinya berperan aktif disini. Sebagai sebuah institusi mereka seharusnya bisa membangun mindset masyarakat bahwa guru bukan semata ladang pekerjaan tapi juga profesi. Dalam sebuah profesi melekat tanggung jawab moral dan etika yang harus ditegakan. Sekolah seharusnya memiliki kepemimpinan yang kuat dalam menegakan prinsip-prinsip moralitas dan etika tersebut. Jadi bukan sekedar intitusi transfer ilmu.
Nah sekolah yang berperan aktif memperbaharui dirinya terus menerus, peduli pada kesejahteraan para guru, akan jadi instirusi yang membetahkan untuk belajar. Saya tak yakin ada murid yang senang tawuran bila belajar di sekolah seperti ini.
Keterlibatan Pemerintah dalam menanggulangi tawuran pelajar3. Kampanye sosial
Program KB dua anak cukup dari Pak Harto dimasa lalu merupakan kampanye sosial yang sukses. Walau sekarang perkembangan penduduk kembali mengkwatirkan, setidaknya dalam benak bawah sadar sebagian besar rakyat Indonesia masih tertanam bahwa idealnya punya dua anak sudah cukup. Itu alasan mengapa ada orang yang terkejut mengetahui temannya punya anak sampai lima:)
Nah untuk mencegah tawuran jadi virus yang membunuhi anak-anak kita, ada baiknya pemerintah cq. Kementerian Pendidikan membuat kampanye sosial bahwa mengerahkan energi untuk masa depan yang lebih baik merupakan tugas semua pelajar. Bentuk kampanyenya dibuat sekreatif mungkin, tidak menggurui seperti omongan guru di sekolah, tapi menggunakan bahasa yang akrab dengan mereka. Misalnya, ” Choi besok elu pengen jadi menteri apa?” Atau ” Choi, kalau elu jadi presiden gimana caranya agar pendidikan bisa gratis untuk semua anak bangsa?”
Duit untuk kampanye seperti ini mungkin akan besar. Tapi skemanya bisa saja dibangun dengan menggandeng sponsor dari semua lini yang bergerak dalam pendidikan. Kuncinya cuma satu, punya kemauan gak?
Bagaimana menurutmu, temans?
Note: Semua foto boleh minjam. Klik foto untuk sumber asli.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: