
Ayah dan anak lelakinya. Piala dan penghargaan performance terbaik dari suatu pelatihan diserahkan seorang anak lelaki untuk ayahnya
Dalam buku Erich Fromm yang membahas pola masyarakat paternal, hubungan ayah dan anak lelaki dipengaruhi berbagai faktor sosial, terutama ekonomi. Pada kelas ekonomi tertentu anak lelaki tak sekedar keturunan biologis. Anak lelaki di golongan sosial ini tidak hanya mendapat porsi cinta dari ibu, mereka juga adalah putera mahkota dari kerajaan ayah, sang pemelihara masa depan.
- Baca juga Cara Mengedukasi Anak di Era Digital
Pada anak lelaki semacam itu terbeban tanggung jawab. Ia akan mengurus segalanya ketika ayah sakit dan usia lanjut. Dengan kata lain masyarakat patriarki memandang anak elaki dalam hukum ekonomi, semacam representasi dari investasi. Modal yang dikeluarkan untuk mendidiknya jadi lelaki harapan ayah, sebanding dengan modal yang dikeluarkan untuk asuransi kecelakaan dan pensiun di masa tua.
Ayah dan Anak Lelakinya Menurut Fromm
Aku tak paham dari masyarakat mana Fromm melihat situasi ayah dan anak lelakinya lalu menarik kesimpulan seperti di atas. Kalau buah pikir ini digelar secara terbuka, untuk jaman sekarang, yakin, pasti akan banyak ayah yang menolak kebenarannya.
Setidaknya itu akan berseberangan nilai-nilai moral dari ayah yang baik. Ayah yang diinduksi pendidikan humanisme moderen. Mencintai anak-anak tanpa syarat adalah kewajiban. Mencintai anak lelakinya bukan karena suatu hari anak lelaki mereka akan membayarnya dalam suatu prestise sosial tertentu. Anak-anak wajib dicintai karena eksistensi mereka.
Namun tak bisa pula dipungkiri. Dalam masyarakat moderen atau tidak, adalah fakta ketika anak lelaki memainkan suatu peran penting dalam masyarakat. Prestise yang diperoleh anak lelaki akan meningkatkan prestise sang ayah. Begitu pula dengan kegagalannya dalam memberi kontribusi tertentu pada masyarakat, bisa mengurangi kewibawaan sosial ayah atau bahkan mungkin juga menghancurkannya.
Itu karena jalur hidup ayah dan anak lelakinya selalu dikondisikan dalam satu jalur perbandingan yang seimbang.
Lebih lanjut Fromm mengatakan, karena fungsi sosial dan ekonomis dari anak lelaki seperti ini, tujuan pendidikan pun tidak diarahkan pada kebahagiaan pribadi sang anak, seperti perkembangan maksimal dari pribadinya. Tujuan pendidikan lebih dititik beratkan pada kontribusi maksimalnya dalam memenuhi kebutuhan sosial sang ayah.
Apa yang diceritakan Fromm diatas sebagian besar mungkin datang dari keluarga para bangsawan pada abad pertengahan. Sekalipun itu sesuai semangat jaman, faktanya tak mengurangi konflik yang terjadi antara ayah dan anak lelakinya. Sampai saat ini masih banyak berlaku. Bahwa anak lelaki kesayangan ayah adalah seseorang yang terbaik dalam memenuhi harapan sang ayah. Mungkin juga yang berhasil memenuhi fantasi-fantasi yang tak terpuaskan dari sang ayah.
Konflik terjadi karena pada kodratnya anak lelaki adalah makhluk independen tapi membutuhkan cinta tanpa pamrih dari sang ayah.
Mencintai Anak Sebagai Anak
Jadi jika Anda seorang ayah yang mempunyai anak lelaki, tak masalah seberapa besar harapan yang dilekatkan pada masa depan mereka, bahkan dengan maksud paling mulia : Demi kebahagiaan mereka, coba teliti lagi. Apakah harapan itu datang jauh dari dalam hati yang akan menyamankan Anda ataukah benar demi kebahagiaan mereka?
Ingat juga walau anak lelaki adalah miniatur ayah, kebutuhan mereka tetap sama dari jaman ke jaman: Cinta ayah yang tanpa pamrih!
Salam,
— Evi
31 comments
Kalau saya tidak begitu dekat dengan bapak.. entah kenapa selama ini lebih dekat dengan ibu.
Iya mengapa kita punya kecenderungan utk lbh dekat dng salah satu orang tua ya Mas?
saya juga tidak begitu dekat sama bapak,,
Kebanyakan orang lebih dekat dengan ibu 🙂
saya deket mba sama bapak saya,karena bapak saya lebih mengerti dunia saya
mklum lah mungkin karena sama2 laki2
Sesama lelaki lbh mengerti dunia yg mereka huni kayaknya Mas Andy 🙂
Saya agak tercengang membaca uraian dari Erich Fromm yang Mbak Evi ceritakan di atas. Sebenarnya agak kurang sepaham dengannya, terutama pada bagian hub ayah-anak yang dikaitkan dg ekonomi/investasi modal – karena saya tidak melihat /merasakan itu ada diantara para lelaki yang saya kenal. Namun kemudian saya berpikir, bahwa sebuah pendapat ilmiah yg dipaparkan seorang ahli, tentu tidak dibuat sedemikian sembarangannya – barangkali perbedaan itu adalah akibat saya belum pernah terkspose dg relationship antara ayah-anak lelaki yg spt itu – yg barangkali banyak dijumpai oelh Fromm
Fromm itu mengamati gejala sosial di lingkungan sosial paternal tertentu dan tampaknya pd suatu masa. Kevalidannya mungkin harus kita batasi Mb Dani, tak berlaku di semua ruang dan waktu. Namun ayah yg menginginkan anak lelaki seperti dirinya tetap banyak 🙂
Dan secara tak langsung sampai sekarang masih ada, walau tak sevulgar zaman dulu. Bagaimanapun ayah menginginkan anak laki-laki sebagai penerus, walau kalau tak ada anak laki-lakipun tak masalah.
Seperti klien saya, dia pengusaha sukses, ketiga anaknya perempuan, dia mensyaratkan jika anaknya menikah, suaminya harus membantu di perusahaan ayah mertuanya. Masih banyak yang seperti itu.
Dan agar anak laki-laki berkembang baik, dia memerlukan panutan seorang ayah, terutama setelah umur 10 tahun. Jika ayah tak ada maka diperlukan om atau paman, yang mengajaknya bermain, melakukan kegiatan laki-laki….ini saran psikolog pada temanku, karena suaminya lebih banyak bekerja di luar kota, sedang kedua anaknya laki-laki.
Aku juga mengamati demikian mbak Ratna..Walau tak mesti plek seratus persen, sekarang ini masih banyak ayah yg menginginkan anak lelakinya suatu hari akan menggantikan perannya dalam mengurus entah rumah tangga maupun bisnis. Kebetulan suami saya mengijinkan anak lelakinya menjadi siapa saja, entah dokter entah sutradara film nantinya. Namun ada beberapa hal, mungkin dia gak sadar, dia menginginkan anak-anak seperti dirinya dulu. Siang sekolah malam belajar hehehe..Yah tentu saja yg beginian kadang bikin konflik juga di rumah..
Begitu juga yang pernah aku baca Mb Ratna, bahwa anak lelaki memerlukan figur laki-laki agar emosinya berkembang secara sempurna. Mereka memerlukan contoh kongkrit sepertinya 🙂
Bagaimana dengan anak perempuan ya Mbak?
Nunggu ulasan selanjutnya.
(meskipun anak saya laki2 semua) 😀
Yang anak perempuan belum aku pelajari Pak Mars..Nanti aku baca lagi lanjutannya..Tks Pak 🙂
Meski sama-sama laki-laki, justru saya cenderung “kagok” sama bapak. Lebih terbuka sama Ibu 🙂
Kalau bapak kesannya wibawanya gimanaaaa…gitu ya Reza 🙂
Berarti benar bahwa anak laki-laki mewarisi bagaian yang lebih dari anak perempuan. Mungkin ada tanggung jawab yang lebih besar. DAlam metode Islam seorang anak laki-laki memang mempunyai porsi yang lebih dari anak permpuan. Karena di pundaknya dia akan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, setidaknya pemimpin dari keluarganya.
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Konstruksi sosial di tengah masyarakat paternal memang begitu Mas Sugeng, bahwa anak lelaki kedudukannya sedikit istimewa dari anak perempuan. Jenis kelamin yg disandangnya, mengotomatisasi dia sebagai pemimpin. Karena dia pemimpin warisan untuknya juga lebih banyak 🙂
Salam hangat serta jabat erat dari Serpong Mas Sugeng 🙂
kalau aku dulu lebih dekat dgn ayahku drpd dgn ibu mbak, malah rasanya hanya aku yg dekat dgn beliau, semua kakak laki lakiku nggak ada yg dekat sama sekali sama bapakku
Ayah dan anak perempuannya punya hubungan kasih sayang yg halus Mbak El..Terhadap anak perempuan hati ayah akan selalu luluh..Sekalipun karakternya keras, ayah takan pernah melayangkan tangan pada anak perempuannya 🙂
Dalam tradisi cina, anak lelaki adalah sebuah keharusan, karena kelak dijadikan sebagai penerus generasi keluarga. Tentunya ini akan membebani psikologis anak, walaupun tidak dipungkiri banyak anak yang berhasil menjadi miniatur ayah, tetapi selama ayahnya masih ada, jika sianak tidak menjadi dirinya sendiri, atau siayah seperti tidak rela anaknya menjadi ‘orang lain’ maka selama itu pula sianak hanya akan menjadi bayang-bayang sang ayah.
Sayang ayah adalah sebuah keharusan yang tidak mungkin ditawar. Ops, jadi ingat ayah. Salam.
Saya perhatikan juga begitu Pak Aldy. Anak lelaki adalah penerus nama keluarga. Banyak juga suku di Indonesia yg menerapkan asas ini seperti suku Batak…
Dalam keluarga yg sdh terdidik dengan baik, kesamaan plek antara anak lelaki dan ayah dipandang kurang proporsional lagi 🙂
Untuk masa sekarang saya lebih dekat dengan ibu meskipun sudah punya istri
soalnya bapak sudah almarhum
Memang anak laki-laki waktu dulu seakan spesial, merasa kurang jika belum ada anak laki-laki yang akan menjadi pelindung keluarga dan saudara-saudaranya kelak
salam dari pamekasan madura
Iya Mas, karena dalam tradisi kebanyakan suku2 di dunia, anak perempuan akan menjadi anggota keluarga suaminya, memiliki anak lelaki dalam keluarga adalah aset.
Salam hangat untuk Pamekasan Mas Citro 🙂
bagi saya yang sudah jadi seorang ayah memang benar seorang ayah mengharapkan di antara anak lelakinya ada yang mau jadi penerusnya..
tapi dalam prakteknya saya tidak begitu mengharuskan, saya biarkan anak memilih jalan hidupnya, hitung hitung pembelajaran mengambil satu resiko dari apa yang dia pilih…
Selayaknya emang begitu Mas Uyayan. Bagaimanapun anak lelaki kita adalah individu independent. Mereka punya konstruksi otak dan pemikiran sendiri. Memaksakan kehendak ayah kepada mereka sama saja dengan mengerdilkan mereka. Duh iba kita bila sdh segala upaya dikerahkan untuk membahagiakan akhirnya dikerdilkan hanya demi mengakomodasi egoisme keayahan 🙂
Bu Evi …
kita sama …
Saya ini juga dikaruniai … Tiga Orang anak-anak … yang semuanya Lelaki …
saya tidak ingin membahas teori dari pakar tersebut …
namun kalau boleh saya mengatakan … anak adalah titipan ALLAH … entah laki-laki … entah perempuan …
dan kita wajib mendidiknya … kita wajib melindunginya … kita wajib membesarkannya …
bukan atas dasar apa-apa …
bukan atas dasar investasi dan yang sejenisnya …
InsyaALLAH tanpa Pamrih … !!!
Salam saya Bu Evi …
Bu Evi dua anak-anaknya Lelaki semua kan ?
si calon dokter … dan satu lagi yang ada di cerita mengenai panti asuhan …?
salam saya Bu
Iya Om, yang calon dokter itu si sulung dan adiknya masih SMA kelas dua. Tks ya Om, ingat pada anak2 saya, senang deh 🙂
Begitulah hendaknya Om NH..Ayah menyadari bahwa anak juga tak minta dilahirkan. Tapi mungkin cara berpikir seperti ini tak terdapat pada keluarga bangsawan jamannya Fromm, Om..Maka dia punya kesimpulan seperti itu, datang dari kenyataan di depan matanya..
Salam kembali Om NH 🙂
Bu evi, sungguh saya sangat senang membaca tulisan singkat ini, karena tulisan ini menambah wawasan saya untuk belajar sebagai orang tua nantinya (karena saat ini kami belum memiliki momongan, doanya ya bu :D), saya sempat termenung sejenak saat membaca tulis ini..mudah2an..tulisan ini membawa manfaat dan inspirasi untuk lebih banyak orang. terima kasih
Salam hangat dari jogja
riza
Terima kasih Mas Riza..Mendoakan Mas, semoga segera diberi momongan dan menjadi ayah bagi seseorang. Yakin aku kalau anakmu sekarang sdh ada disuatu tempat Mas, cuma nunggu terbaik saja untuk masuk kepangkuan ibu-bapaknya. Salam kenal juga ya Mas 🙂
[…] ayah sederhana tapi tukang beresin masalah bagi dua jagoan cilik dalam foto ini. Kalau ada persoalan yang harus […]