Kita adalah pembelajar yang baik. Ketika alam menghadirkan siang dan malam, jantan-betina, hitam dan putih, hujan-panas, kita mengadobsi fakta-fakta tersebut untuk membangun realita sosial, dunia yang hanya terdapat dalam pikiran manusia. Maka lahir lah konsep-konsep sedih-gembira, derita-bahagia, benci-cinta, lelaki-perempuan dll. Pasangan kata-kata terakhir ini tidak terdapat di alam semesta, hanya ada dalam kepala. Bila terjadi bencana alam dan ada yang mengatakan bahwa alam sedang marah, itu hanya asumsi dari yang mengeluarkan kata-kata. Alam tidak mengenal konsep marah dan senang, benci atau rindu. Misalnya, gempa ya gempa saja karena alam membutuhkan gerak untuk menyeimbangkan diri. Kita lah yang mengasosiakan bencana alam sebagai kemarahan, busyetnya lagi kemarahan Tuhan. Tidak. Kita lah yang membuat asosiasi tentang apa-apa yang terjadi luar dengan yang terdapat dalam kepala. Sekilas berpikir itu adalah fakta.
Saya tidak tahu dari mana muasalnya bahwa kita tergila-gila pada jalur khusus yang diberi makna postif. Seperti bahagia, gembira, pahala, cerah, sehat, kaya, baik, plus dan masih banyak lagi. Terutama terhadap konsep bahagia, tidak di dunia tidak diakhirat, umat manusia berhonoh-hondoh mengejar realita ini. Segala upaya dikerahkan untuk meraih dunia satu ini. Kalaupun ada perbedaan, yang satu kelompok menekan kan pada dunia (kala hidup), sementara kelompok lain mengejar akhirat karena dianggap lebih abadi. Hal itu diadvokasi oleh kita-kitab suci dunia, secara serius, dengan memamerkan segala bentuk keindahan dan kesenangan yang terdapat di surga.
Jadi tidak aneh jika kemudian yang berada dijalur negatif sebisa mungkin akan dihindari. Tidak ada yang akan suka menceburkan diri ke dalam derita secara suka rela. Jangankan mengusahakan meraihnya, malah setengah mati menghindarkan diri dari penyakit, perbuatan jelek atau membenci sesuatu. Makanya neraka diletakan di jalur ini, sebuah tempat pembalasan atas pembangkangan terhadap Allah dan sakitnya abadi.Semua orang pasti takut masuk ke sini.
Saya baru saja diindoktrinasi bahwa jalur negatif yang mati-matian kita hindari itu, jika suatu saat melintas juga dalam hidup sebetulnya adalah hidayah dari Allah. Kata-kata ini mengingatkan pada sebuah literatur sufisme yang mengatakan bahwa kebahagian hanya untuk anak-anak sedang jalan para pencari Tuhan adalah jalan sulit dan berliku. Dengan kata lain, kebahagiaan hanyalah mainan, sementara penderitaan adalah kesejatian hidup.
Setelah membiarkan mengendap beberapa lama dalam pikiran, membolak-balik, dan dilawan oleh benturan konsep bahagia yang selama ini terpegang, alhamdulillah akhirnya saya mengerti maksudnya. Yang kita perlukan hanya merubah asumsi. Bahwa derita adalah sebuah hal yang tidak enak itu pasti. Tapi tatkala tahu bahwa itu adalah satu cara Allah menyatakan cinta-Nya kepada kita, lahir dari keinginan agar kita menyisihkan waktu menatap kepada-Nya, apa sih yang kau inginkan lagi selain mengucap Alhamdulillah?