Anda Percaya SBY presiden yang baik?
Siapa yang percaya bahwa SBY adalah Presiden yang baik? Dan siapa pula yang mengatakan tidak? Saya (yakin) mereka yang berdekatan dengan SBY, mereka yang mendapat privilledge karena kedekatan tersebut, mereka yang tertolong hidupnya karena jabatan SBY pasti percaya bahwa suami ibu Ani ini adalah presiden yang baik. Sementara rakyat biasa seperti saya, yang tidak mendapat keuntungan langsung dari jabatan SBY merasa cukup bijaksana menemukan alasan untuk mengatakan it’s okey bila rindu pada masa-masa tenang di jaman Pak Harto. Siapa yang butuh SBY? Dan baik mereka yang percaya maupun yang tidak pasti sependapat bahwa pertanyaan di bulan puasa begini pasti absurd. Apa gunanya coba mempertanyakan apakah SBY presiden yang baik atau bukan? Emang bisa membantu Indonesia keluar dari keterpurukan, apah?
Yah iseng saja kok. Dari hasil baca buku saat ngabuburit ini saya senang punya kesempatan mempelajari bagaimana setiap orang berpendapat. Alasan lain saya sedang meragukan akal sehat. Jadi ngomongin yang absurd bagian dari pengujian rasional dan sekalian mempertajam wawasan tentang bagaimana struktur kepercayaan saya terbentuk. Terutama dari sudut pandang ilmu psikologi Barat. Karena hukum yang berlaku tetap sama bahwa setelah kita membentuk opini pada satu subjek, keyakinan terbentuk, dan keyakinan ini tunduk pada sejumlah bias kognitif.
Prasangka Etnis
Sering dengar rasisme etnis kan? Misalnya orang minang dijuluki padang bengkok karena mereka dianggap gak jujur? Pernah pula dengar bahwa istri dari lelaki Minang yang beda etnis diperingatkan agar hati-hati karena di kampung mereka pasti akan dijodohkan lagi dengan perempuan lain oleh keluarga mereka? Belum lagi stigma pada orang batak yang begini, orang Jawa yang begitu, apa lagi etnis Cina yang dari sudut pandang Melayu dan sebaliknya banyak banget begono-begininya. Kalau dijabarkan sifat-sifat buruk yang dianggap mewakili sifat-sifat tertentu dari suatu etnis dianggap benar.
Kenapa sih kita Berpendapat Demikian?
Itu semua berangkat dari keyakinan kita. Keyakinan terbentuk oleh berbagai alasan subyektif, emosional dan psikologis dalam konteks lingkungan yang diciptakan oleh keluarga, kolega, teman-teman, budaya, dan masyarakat kita secara umum. Setelah keyakinan terbentuk, kita kemudian membela, membenarkan dan merasionalisasinya dengan berbagai alasan intelektual, argumen yang meyakinkan dan penjelasan rasional. Pokoknya keyakinan datang pertama baru penjelasan mengikuti. Coba deh ujikan pada mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka semua percaya bahwa apa yang mereka lakukan terhubung langsung dengan surga.
Sering dengar pula orang yang mengeluh soal hari terlalu panas, udara terlalu dingin, hujan terlalu lebat, pekerjaan terlalu sulit, atau bahkan ibu kota sekejam ibu tiri, kan? Nah persepsi kita tentang realitas tergantung pada keyakinan yang kita anut. Kalau berkeyakinan bahwa hidup itu mestinya slow motion, tiak perlu diperjuangkan, biasa-biasa saja, tidak perlu warna macam-macam, maka kita akan mengeluh pada cuaca yang terlalu ekstrim atau masalah-masalah hidup yang berada di luar harapan ideal.
Sebenarnya realitas independen. Kalau mau terjadi bencana atau badai ya tejadi saja. Alam semesta memerlukan perubahan entah berdasarkan hukum-hukumnya sendiri atau efek dari perbuatan kita. Tapi jika kemudian kejadian-kejadian tersebut membentuk realitas dengan makna macam-macam (entah bahagia atau sedih, entah SBY presiden yg baik atau buruk) itu semua datang dari pikiran kita. Maksudnya pemahan tentang realitas tergantung pada keyakinan yang kita anut.
Setelah kita membentuk keyakinan dan membuat komitmen dengan mereka, kita lalu mempertahankan dan memperkuat keyakinan melalui sejumlah bias kognitif yang mendistorsi persepsi kita agar sesuai dengan konsep-konsep keyakinan yang dianut. Saya amat mempercayai kalau kita mencintai dengan tulus maka akan dicintai dengan tulus. Kalau kita baik maka orang-orang yang bersentuhan dengan kita hanya orang baik-baik. Mungkin Anda juga percaya ini: Kalau kita berdoa sunguh-sungguh maka doa akan dikabulkan. Sekarang, dalam keyakinan seperti itu coba lihat efeknya dalam hidup sendiri.
Apakah Saya Waras?
Tadi saya mengatakan membuat tulisan ini dalam rangka menguji akal sehat sendiri. Apakah saya cukup rasional alias waras? Tahu tidak saat ini saya merasa dicintai, dikelilingi orang baik-baik, beberapa dari doa telah di kabulkan.Yang belum dikabulkan itu mungkin Tuhan menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya pada saya. Saya juga melihat bukti-bukti kepercayaan yang saya anut bertaburan dalam realitas kehidupan sosial. Jadi sebetulnya realitas itu apa sih? Atau mungkinkah Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow dalam buku mereka The Grand Design benar bahwa tidak ada satu pun model yang memadai untuk menjelaskan realitas? Kalau saya meragukan akal sehat seharusnya saya juga menerima bahwa akal saya sehat sesehat-sehatnya J
Terus bagaimana dengan Anda, dalam realitas yang saat ini ditempati, apakah merasa tak waras atau cukup memadai untuk disebut waras?