Dengan berpegangan tangan kami naik ke atas jembatan yang menyilang di atas danau. Jembatan sederhana, terbuat dari bambu dan dirajut oleh rotan. Sementara angin mengalir lembut menyapa wajahku. Membuatku berkali-kali menyenderkan kepala di bahunya.
Air danau yang membiru memantulkan sinar keperakan dari mata hari siang. Refleksinya kadang membuat silau. Memandang ke sebelah barat tampak jejeran batang pinus, berbaris memagari danau yang terletak di kaki gunungTanggamus ini. Melandai sedikit ke punggung gunung, tumbuh pinus dengan pucuk-pucuknya mencuat hijau. Mungkin itu ucapan terima kasih atas paparan cahaya yang mereka terima.
Aku terpesona memandangi segerombolan bangau putih menutupi sebagian permukaan pucuk pinus tadi. Mereka seperti buah kapuk yang terburai lalu tersangkut di dahan. Dan tiba-tiba seolah langit pecah, gerombolan bangau itu berhamburan dan berserakan memenuhi udara.
Aku terkejut dan bertanya apa yang terjadi kepadanya. Dia mengangkat bahu. ” Mungkin karena mendengar lolongan serigala, harimau atau gorilla. Siapa tahu disana kan belantara lebat, apa saja bisa terjadi.” Jawabannya membuat bulu kudukku bergidik.
” Kita akan kemana?” Tanyaku tanpa melepaskan tatap pada gerombalan bangau yg sedang panik itu. Pertanyaan tolol sebetulnya sebab sekarang tak masalah kemanapun dia membawaku pergi.
” Yang jelas bukan ke rumah orang tuamu”
Aku tertawa lalu memagut pinggangnya dengan erat. Aksiku menghentikan langkah kami tepat di puncak lengkungan jembatan. Dia memejam mata dan menegadah ke langit. Kupeluk lagi lebih erat takut kalau semua ini mimpi belaka.
Air mata tak terbendung lagi saat menerima pelukan lembuat darinya. Menitik membasuh rindu yang sekian lama terhambat dan membuat jiwaku gersang. Tak hendak kuhentikan air mata itu kalaupun akhirnya mengalir lewat pori-pori ku.
Kusembunyikan muka yang penuh air mata itu di dadanya. Dan T Shirt biru telur asin yang dikenakannya langsung lembab.
” Sudah…. kita sudah bersama sekarang. Tenanglah ” Bisiknya dan mencium ubun-ubunku.
Puas melampiaskan perasaan kubersitkan ingus pada tisu yang dia ambil dari ransel punggungku. Kalau pun sudah ditertawakan tupai yang bersembunyi di kolong jembatan, biar lah.
Akhirnya kami sampai di seberang danau. Jembatan membawa kami pada jalan setapak lalu menghilang dalam kegelapan rimbunnya pepohonan. Mula-mula dari tepi terus belok ke kanan. Kira-kira seratus langkah naik ke sebuah tanjakan. Tak lama kami sampai di halaman surau kecil bercat hijau kombinasi kuning gading. Subhanallah di tengah rimba ada surau secantik ini? Dan tampak terawat pula. Aku memandang minta penjelasan kepadanya tapi dia menyuruhku diam.
Halaman depan di kelilingi pagar bambu yang sebelah luarnya ditanami bunga-bunga rose berkelopak kecil. Bermacam-macam warna mereka. Ada pink, merah, kuning dan putih . Mereka bergerombolan seakan melindungi halaman itu dari belukar hutan. ” Tunggu disini” Ujarnya menyuruhku duduk di teras surau.
Tak lama bayangannya menghilang di samping pondok berdinding anyaman bambu kira-kira seratus meter dari tempatku berada. Sebatang pohon asem jawa tumbuh di halaman itu. Baru terasa betapa dingin ubin yang sedang kududuki. Hanya atmosfir magis yang memancar di sekeliling membuatku tenang. Kunikmati rasa dingin itu dengan keriangan aneh. Seperti katanya, sekarang tidak ada yang harus kuatirkan. Kami telah bersama dan jika Allah mengijinkan sebentar lagi akan jadi suami-istri.
Pernikahan
Berdiri tercenung memandangi pondok kayu mungil dan usang tapi sudah bersih dan tampaknya siap di huni. Lagi-lagi air mataku menitik. Ternyata suamiku telah menyiapkan segalanya. ” Mau digendong masuk seperti pengantin baru di film-film Hollywood?..”
Tak dapat kutahan tawa menyambut candanya. Dengan air mata makin bercucuran aku mendekat, menyorongkan badan agar lebih mudah di angkat. ” Iya gendong aku masuk ke istana pertamaku ” Selesai menyeka ingus dihidungku dengan lengan baju kuraih lehernya untuk berpegagan.
” Kunaon atuh pengantin baru kerjanya nangis mulu.” Dia meraih tubuhku sambil tak lupa juga mencuri mencium pipiku.
” Kapan sih Mas merencanakan semua ini? Aku kok tidak pernah diberi tahu?”
” Sejak tahu aku jatuh cinta dan takan bisa hidup tanpamu. Sejak tahu bahwa ke-2 orang tuamu tak akan pernah merestui cinta kita. Sejak aku memulai doa jika kamu memang jodohku agar Allah membuatkan sebuah rumah untuk mempersatukan cinta kita.”
” Ranjang pengantinnya mana?” Tanyaku begitu sampai di dalam. Dia terkekeh dan membelalakan mata. Surprise melihat keagresifan istri sendiri. Matanya itu, matanya itu ya Allah tolong pertahankan agar tetap penuh humor di masa-masa yang akan datang. Sebab jauh di dalam hati aku juga tahu bahwa cinta hanya bermodalkan cinta seperti ini akan dapat tantangan berat. Entah dari hidup maupun kisah-kisah yang akan kami lewati.
Aku tergagap oleh reaksinya. Mengharapkan sudah pasti namun saat menerima tatapan penuh cinta seperti itu tak urung menegakan seluruh bulu-bulu halus di tubuhku. Dan alamak debar di jantungku seperti genderang perangnya yang dinyanyikan Dewa dalam lagu Ingin Bercinta.
Ya Allah aku juga tahu bahwa rasa seperti ini akan berlalu. Tapi tolong jaga cinta kami yang paling murni, cinta yang memunkinkan yang tak mungkin jadi mungkin.
Dia menujuk pada sehelai tikar yang ditidurkan diatas dipan kayu.” Tapi kita perlu menunggu malam untuk menggunakannya..” Katanya berbisik. Pipiku panas.
Dari dapur terdengar bunyi kletek-kletek dari batu ulekan cabe . Itu Bu Ami yang membantu memasakan panganan sederhana untuk hari istimewa kami. Dia adalah istri Ustad Muzakir yang telah menikahkan kami. Betapa tadi aku merasa mendapat seorang kakak saat berkenalan dengannya.
“Eh nanti mau punya anak berapa?” Tanya suamiku. Tapi aku sudah tidak sempat menjawab. Sudah keburu bangun dan saatnya sahur..