Pasar Inpres Larantuka – Banyak hal yang bisa membuat saya jatuh cinta. Berkunjung ke pasar tradisional  dalam satu trip salah satunya. Tidak seperti belanja di supermarket, belanja di pasar tradisional membutuhkan keterampilan khusus. Di pasar tradisional terjadi interaksi intens antara  pembeli dan penjual. Tak sekedar tawar menawar tapi juga berbagi ilmu dan pengalaman.  Seperti saat blusukan di Pasar Inpres Larantuka di kota Larantuka.
 Interaksi dengan para pedagang melewati batas alasan ekonomi. Saya mendapat pengetahuan seputar cara membuat Jagung Titi yang jadi kegemaran penduduk Flores. Pertama kali melihat Buah Bidara  dan diberi tahu kegunaannya. Di kios lain diajarkan cara mengenakan sarung yang biasa di gunakan perempuan Larantuka.
Singkatnya pasar tradisional adalah satu jalan pintas untuk mengenal budaya lokal secara cepat. Apa yang mereka pakai, jenis  makanan yang mereka konsumsi, dan bahkan bila kita mau, mereka akan senang hati mengundangmu ke rumah mereka.
Sebetulnya sore itu saya dan Ratna bermalas-malasan saja di kamar. Alam Larantuka yang ditepi laut secara hakikat sudah panas. Apa lagi matahari sedang manis-manisnya memanggang. Suasana susteran (tempat kami menginap selama di kota Larantuka) yang sepi, kamar ber-AC jadi membuat malas bergerak. Kami menghibur diri, besok Larantuka akan menurunkan suhu, matahari tak begitu terik, jadi lebih asik jalan-jalannya.
Ke Kota Larantuka Untuk Semana Santa
Kehadiran kami di kota Larantuka untuk melihat prosesi Semana Santa. Ini adalah Pekan Suci yang dirayakan umat Katolik  untuk memperingat kematian Yesus Kristus di kayu salib. Setiap tahun acara ini  membuat jantung Kota Larantuka berdenyut kencang.
Darah  semangat tak hak hanya di pompa dari jantung para peziarah yang datang dari sudut-sudut  Flores tapi juga dari seluruh Indonesia. Prosesi Semana Santa yang  berasal dari bangsa Portugis dan diperkaya budaya lokal  tentu juga menarik bagi turis. Seperti saya dan Ratna yang non-katolik bersedia datang hanya ingin melihat dan memotret.
- Baca di sini tentang :Â Semana Santa Larantuka
Begitu lah. Lama-lama bosan juga bolak-balik di kamar asrama. Sementara teman-teman yang beragama katolik sudah sejak pagi ke Gereja. Mengapa kita tidak pergi ke pasar saja? Iya mengapa tidak?
Jalan taman kota tempat berlangsung prosesi sudah ditutup sehari sebelumnya. Di bawah sengatan matahari yang membakar dengan semangat patriotik kami berjalan sekitar setengah kilo ke perhentian angkot. Belum tahu akan mendatangi pasar yang mana.
Namun takan sulit menemukan satu karena masyarakat Larantuka yang ramah. Yang dipastikan hanya trayek pulang.
Naik Angkot Kota Larantuka
Tentu saja ada rute pulang. Mana ada trayek angkutan kota yang hanya sekali jalan? Jadi lah sore itu merasa seperti Ibnu Batutta, traveler muslim abad pertengahan, membenamkan diri di kota tak dikenal demi mengenalnya.
Cara kami dengan mengikuti kakak ganteng sang supir angkot ngider. Menambang. Cerdas! Saya tertawa pada Ratna yang punya ide.
Lagu-lagu pop Indonesia yang keluar MP Player angkot enak di hati dan telinga. Saya bertanya dalam hati, entah berapa generasi jarak kami karena tak mengenali penyanyinya. Kami mengobrol asik tentang keadaan kota. Melintasi gereja dan kantor pemerintahan. Lalu aku menarik kesimpulan: Larantuka ini semacam kota santri. Kalau di Jawa bertebaran mushola di sini bertebaran kapel-kapel.
Sampai di Pasar Inpres Larantuka
Di luar matahari masih menyengat. Angin semilir menghalau panas dari pintu angkot yang terbuka. Penumpang hanya kami berdua. Sambil berdendang, berjalan pelan, akhirnya si Kakak menurunkan kami di Pasar Inpres atau disebut juga Pasar Baru Larantuka.
Menurut teori, pada awal pengembangan, terutama di Indonesia,  yang disebut pasar tradisional adalah sebentuk medan tanpa bangunan permanen. Didahului kemunculan pemukiman atau bahkan kerajaan, dan terletak di persimpangan jalan. Seiring waktu akan muncul kios permanen, warung semi permanen dan oprokan atau ruang terbuka.
Nah kesan saya terhadap Pasar Inpres atau disebut juga Pasar Baru Larantuka ini tak jauh dari teori terbentuknya pasar. Kios permanen berdiri di tepi jalan raya. Masuk ke dalam gang, bangunan semi permanen beratap seng atau terpal, menghantar kepada panorama laut di belakangnya.
Dan ruang terbuka yakni sisi tepi badan jalan ditempati  lapak-lapak yang menjajakan mulai dari shampoo sampai makanan kering dan segar.
Yah singkatnya, Pasar Baru sedikit amburadul, sedikit kotor dan sedikit berantakan. Tapi tentu saja tour pasar saya tak terhalang kenyataan ini.
Jagung Titi – Karya Ibu Untuk Keluarga
Sejak memasuki kota Larantuka, sejak check in di asrama susteran, sejak menikmati tegukan air pertama Pulau Naga (sebutan masyarakat local untuk kerajaan Larantuka), saya dikejutkan oleh makanan mirip emping. Warnanya putih, bentuknya pipih, kalau dikunyah kriuk-kriuk. Rupanya saya telah bersentuhan dengan etnis Lamaholot, satu komunitas masyarakat yang mendiami kabupaten Flores Timur. Mereka berbagi kebanggaan jagung titi bersama saudara mereka di Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan Lembata.
- Baca juga  Kenalkan Biralle Punu; Jagung Pulut Makassar
Kegurihan Jagung Titi yang terbuat dari jagung pulut kian bertambah dengan ditambahkannya butiran kacang tanah goreng. Memang serasi sekali bila disandingkan dengan kopi atau teh. Apa lagi kalau dinikmati usai kerja bersama orang-orang tercinta. Surga!
Di Pasar Inpres Larantuka, jagung titi dijual dalam wadah keranjang terbuat dari anyaman daun lontar. Satuan hitungnya adalah semacam mangkuk atau literan plastik transparan. Harga Rp.5.000/liter.
Kelebihan lain pasar tradisional, kita selalu bisa mendapatkan product knowledge tanpa capek membaca. Seketika lagi. Mama yang menjual jagung titi dengan senang hati menjelaskan cara pembuatannya. Bahwa pipilan jagung pulut direndang menggunakan kayu bakar di atas periuk tanah liat.
Memasak harus menggunakan gerabah dan bukan kuali besi. Karena gerabah lebih bisa diandalkan dalam meratakan panas. Nah setelah mencapai kematangan tertentu, butiran jagung panas itu langsung ditumbuk di atas batu rata. Penumbuknya bulat dan terbuat dari batu pula. Itulah yang disebut meniti, asal nama makanan ini.
Uniknya pembuat jagung titi di NTT dipastikan semuanya perempuan. Tak ada lelaki yang membuat makanan ini, kata mama tersebut.
Buah Bidara atau Bedara
Saya sering membaca tentang pohon dan Buah Bidara. Tapi melihat buahnya baru di Pasar Inpres Larantuka. Walau sudah kisut karena dikeringkan akhirnya bisa membuat saya termangut-manggut bijaksana. Sambil jongkok di sebelah keranjangnya saya ambil satu biji lalu mematut-matut seperti Arie Parikesit bertemu buah limo langka . Buah bidara ini seperti cherry masak, warnanya merah, bulat dan tak terasa apa-apa saat dicicipi.
Tiga nama terkenal untuk buah ini: Budah Bidara, Bedare, dan Kom.
Menurut Mama penjual, bedara memang tak dimakan begitu saja. Untuk menikmati kelezatannya buah bidara dibuat manisan terlebih dahulu. Atau direndam untuk diminum airnya. Jadi selain berguna sebagai cemilan,  bedara atau bidara  mempunyai manfaat herbal. Mulai dari obat awet muda karena tinggi kandungan anti oksidannya. Mencegah kanker karena mampu menangkal radikal bebas. Meningkatkan kinerja otak karena melancarkan peredaran darah.
Jadi deh saya membeli seliter untuk dibawa pulang.
Belanja Tenun dengan Harga Murah
Sebelum ke Larantuka saya singgah di Maumere, ke Pasar Alok untuk melihat berbagai kain tenun, jalinan benang indah, hasil kerajinan tangan ibu-ibu dari Flores Timur. Nah di Pasar Inpres ternyata bertemu pula dengan seorang mama dengan beberapa lembar kain tenunnya. Ia tidak berjualan di toko. Daganganya digantung di tali raffia dan sebagian dihampar di atas barak bambu. Soal warna dan motif tentu saja tetap membuat saya terpesona.
- Baca di sini tentang Belanja Tenun Ikat Sikka di Pasar Alok
Iya ini bukan lah kain tenun dengan pewarna alami yang menjadi ciri khas Maumere dan Larantuka. Tapi siapa peduli, pewarna kimia pabrik pun tak masalah sepanjang hati terpikat. Apa lagi harganya lebih murah dari Pasar Alok. Bungkus.
Yang lucu sarung yang dibeli di sini langsung saya gunakan keesokan saat meliput prosesi semana santa. Awalnya baik-baik saja. Tapi begitu basah kayup diguyur hujan, kaki saya mulai gatal-gatal. Lah yaa salah sapa, belum dicuci sudah dipakai :).
Eureka! Tak berlebihan jika saya  mau berteriak ala Archimedes. Banyak hal yang membuka wawasan di pasar ini. Seperti kemasan ikan asin. Sudah jenis ikannya beda –beda dari Serpong — cara menjualnya juga unik. Ikan-ikan terbelah pipih itu dirajut menggunakan rautan bambu tipis. Ditata dalam wadah plasti atau digantung pada sebatang tongkat bambu. Tertawakan lah jika melihat ikan asinpun membuat saya girang.
Ketemu Beras Jagung
Satu lagi, selama menginap di susteran kami disajikan nasi putih bercampur jagung tumbuh. Ada rasa manis di dalam tektur nasi jagung, tak seperti beras murni yang rasanya hambar. Nah di pasar saya melihat kehadiran beras jagung. Sayang sedang dikerumi lalat. Sedikit ill feel memandangnya.  Nasi jagung adalah makanan pokok masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Semasa kecil saya amat menikmati bubur kacang hijau yang tak ditemukan lagi setelah dewasa dan pindah ke kota. Butiran kacang hijaunya kecil, warna hijau kekuningan. Kalau dibuat bubur rasanya khas, Â gurih, dan lebih beraroma menurutku. Namun entah kenapa kacang hijau local ini hilang dari pasar. Penggantinya adalah kacang hijau impor yang butirannya lebih besar dan secara tekstur memang lebih lembut dari kacang hijau local.
Seorang antropolog mungkin langsung bisa melihat bahwa Pasar Inpres Larantuka  dalam konteks peta budayanya. Karena kawasan  ini memiliki karakteristik spasial (unik dan hanya dia yang punya)  yang tak hanya bisa dipotret melalui kegiatan ekonomi tapi juga sosial, dan budaya.  Bagi saya hanya satu: Tempat ini membuka satu lagi ruang ‘sense of place’ di kalbu. Saya tak hidup selamanya di sana, suatu saat mungkin melupakan. Namun interaksi saya   dengan tempat fisik, para pedagang, dan barang-barang yang dijual, hari itu melukis kesan khusus.