Keluar dari Bandara Tribhuvan langsung melintas di kota Kathmandu yang berdebu. Kabut tipis yang beterbangan tak menghalangi pandang pada sebuah bangunan. Ada plakat kecil menempel di tembok bangunan tersebut. UNESCO Heritage tertulis di atasnya. Dalam kendaraan yang melaju, sejenak memintas bayangan bangunan bercat kuning gading di belakang tembok itu. Kuno, halaman luas dan juga berdebu. Kesan yang timbul adalah kusam. Tapi jelas itu menimbulkan tanya: Itu bangunan apa? Sebetulnya bisa bertanya kepada teman-teman yang duduk di sebelah. Alih-alih malah meraih ponsel dari tas, buka Google Maps. Sebuah kebiasaan yang sudah terpupuk lama. Call me weird! Karena mengintip peta electronic ini selain dapat informasi lebih lengkap, titik koordinat memberi saya sense of place, cara paling mudah mengakrabi tempat asing. Dan ini lah Pashupatinath , kuil Hindu terbesar dan tersuci di Nepal. Tempat kremasi di Pahupatinath yang sering saya baca. Didedikasikan kepada Dewa Siwa, Dewa Tertinggi Hindu. Tempat ini ternyata destinasi pertama kami di Kathmandu keesokan paginya. Yang membuat saya membuat posting ke Pashupatinath untuk mati ini.
Daftar Isi
Masuk Ke Dalam Kompleks Kuil Pashupatinath
Pagi masih temaram saat kaki menapak di gerbang Pashupatinath. Kamu akan langsung hanyut pada quote penjelajah Muslim abad-13, Ibnu Batuttah seperti di atas. Pengunjung sudah ramai. Peziarah sebagian besar warga Nepal. Wanita berpakaian sari/saree dengan warna-warni cerah, prianya dengan Dhaka topi — kopiah kebanggaan orang Nepal –mendampingi para perempuan mereka dengan takzim. Saya tercenung menatap mahakarya arsitektur Hindu ini terpampang begitu saja di depan mata. Mengarahkan kamera, mengintip lewat lensa, tampak kuil utama Pashupatinath di kejauhan. Bangunan beratap susun, puncak menara emasnya dikerubungi ratusan burung merpati. Tiba-tiba merasa sayang karena saya takan pernah bisa melihat ke dalamnya. Hanya penganut Hindu yang akan beribadah yang berhak memasukinya. Sementara bangun lain bebas dieksplorasi.
Sudut-Sudut Instagramable di Pashupatinath
Tak lama untuk menyadari bahwa setiap sudut di Pasupatinath instagramable. Sekalipun belum pulih seluruhnya akibat gempa hebat 25 April 2015, konstruksi kubik dengan pintu-pintu lebar, berukir, sebagian dilapisi perak, sungguh pesta bagi mata. Belum lagi kuil-kuil dengan tembok merah, ukiran dan patung-patung kayu yang diyakini umat Hindu Nepal dapat mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Bersingsut mendekati jantung kuil yang mulai dibangun abad ke-15 oleh Lichhavi King Shupuspaini ini, sekelompok merpati berkumpul menikmati sarapan paginya. Mereka sama sekali tidak takut kepada manusia. Kecuali yang sengaja mengusik dengan lari ke tengah kumpulan agar mereka terkejut, serentak terbang demi foto cantik.
Di Pashupatinath Kematian Begitu Dekat
Seumur-umur saya belum pernah melihat ritual kremasi. Beruntung pagi itu bertemu dengan satu keluarga yang sedang memperabukan anggota keluarga mereka. Kami pun bergegas menyeberangi Sungai Bagmati lewat sebuah jembatan. Dari seberang sungai ini, kuil utama terlihat lebih jelas. Anggota keluarga, peziarah, wisatawan berdiri menatap ke satu obyek: Tempat Kremasi. Air Sungai Bagmanti, tidak keruh tapi tidak pula jernih, sedikit kehijauan mengalir tenang di bawah. Untuk sampai di sini, sebelum menyeberangi jembatan, pengunjung membayar tiket terlebih dahulu.
Video ke Pashupatinath Untuk Mati
Sayang kami tiba terlambat, tidak melihat upacara awal. Padahal sebelum jenazah dibakar, ada ritual keluarga. Seperti jenazah ditandu ke kuil untuk terakhir kalinya. Pakain almarhum berupa selembar kain putih dilucuti lalu dilemparkan ke Sungai Bagmati. Mayat juga dimandikan di sungai ini. Mengelilingi tumpukan kayu kremasi tiga kali dengan gerakan searah jarum jam. Setelah itu jenazah diletakan di atas pembakaran, ditimbun jerami yang telah dibasahi air sungai Bagmanti. Bagian wajah dibiarkan tetap terbuka. Jika almarhum orang tua, putra tertua akan mengelilinginya sebanyak tiga kali dengan sepotong kayu menyala. Setelah itu ia akan membakar tumpukan kayu persis di dekat mulut jenazah. Rupanya ini lah alasan mengapa bagian kepala dibiarkan terbuka, tak ditutup jerami seluruhnya. Karena umat Hindu percaya bahwa roh meninggalkan tubuh lewat mulut.
Kremasi di Pashupatinath
Yang saya dapati pagi itu, di atas platform tepat di tepi Bagmati jenazah sudah mulai terbakar. Namun sebagian besar jerami basah yang menutupi tubuh masih utuh. Di bagian kepala, dua pria berkostum putih setia menjaga intensitas panas api. Sesekali mereka merapikan kayu dengan sebatang bambu. Rangkaian bunga Marigold berwarna oranye cemerlang membingkai perapian merupakan ciri Hindu. Dalam agama Hindu bunga Marigold selain melambangkan kemujuran juga adalah persembahan kepada Tuhan sebagai simbol penyerahan diri. Selain Marigold juga dianggap memiliki sifat pelindung, baunya yang menusuk bisa mengatasi bau-bauan yang datang dari mayat. Dan Marigold pun ampuh mengusir serangga. Memang tak tercium bau busuk atau daging terbakar saat kremasi di Pashupatinath. Mungkin karena mereka juga memasukan berbagai rempah sebelum dikremasi.
Asap membumbung. Seorang lelaki muda dari keluarga yang sedang berduka, hanya bersinglet dan bersarung putih, tertunduk lesu di hadapan pendeta. Entah siapanya yang meninggal, raut wajahnya penuh kesedihan. Beberapa kali pendeta menyentuh kepala dan memberi tanda di keningnya. Sepertinya ia juga sedang didoakan. Seorang anak lelaki melemparkan pancing bermata magnet ke Sungai. Rupanya ia menggaet uang koin yang tadi dilemparkan ke sungai sesaat sebelum ritual pembakaran dimulai.
Pagi itu saya merasa kematian tidak lah begitu menakutkan. Setidaknya kremasi di Pashupatinath memberi pesan seperti itu.
Shadu-Orang Suci di Pashupatinath
Kita takut tua, takut sakit yang dibelakangnya tersembunyi ketakutan terhadap maut. Padahal sesungguhnya kehidupan berkawan erat dengan kematian. Di Pashupatinath gambaran maut dan kehidupan terlihat nyata. Baik lewat upacara kematian. Orang-orang tua sakit yang menunggu kematian di sebuah wihara. Peziarah dan wisatawan yang sedang memperkaya batin mereka. Begitu pun orang suci (Shadu) berinteraksi dengan pengunjung dengan cara mereka sendiri: Menyediakan diri difoto dengan imbalan sejumlah uang.
Tak bisa dipungkiri bahwa penampilan para Shadu berjalan-jalan atau duduk-duduk di di sekitar kuil Pashupatinath menarik difoto. Dengan jubah kuning dan orange mencolok. Dandanan muka yang penuh garis, ukiran dan warna. Rambut gimbal yang disanggul tinggi di puncak kepala. Ada pula yang membiarkan jatuh tergerai di bahu. Belum lagi tubuh mereka yang digayuti cincin logam besar-besar dan kalung yang disebut Rudrakshya.
Namun, jangan salah para Shadu ini sangat dihormati masyarakat Hindu-Nepal. Sekalipun mereka mengutip uang dari wisatawan, penampilan dan gaya hidup mereka yang sekilas serasa aneh, memiliki makna yang lebih luas. Mereka sepenuhnya menghindari kesenangan duniawi seperti menikah, hubungan seksual dan hanya bersemedi selama tak bertugas di kuil. Uang yang mereka dapat dari wisatawan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan minum.
Ke Pashupatinath Untuk Mati
Di Pashupatinath kematian begitu dekat. Bahkan kalian bisa menerka umur. Dan ini yang memedihkan kala berjalan pada satu bangsal di satu pojok. Di sana berdiri bangsal tak bersekat, berdinding tembok cat putih, jendelanya tanpa daun. Kalau malam udara dingin dan serangga pasti bebas keluar masuk. Lokasinya tak jauh dari tempat kremasi. Di dalam dan luar bangsal itu banyak orang tua duduk-duduk, tiduran atau tergelatak di pelataran. Ada sekedar melamun memandangi wisatawan dan peziarah melintas dengan tatapan kosong. Yang paling sedih memandang seorang kakek yang sudah tidak kuat menegakan tubuh. Ia tergeletak begitu saja di pelataran sambil dikerubungi ratusan lalat hijau yang tampak ganas. Matahari siang yang terik tapi ia hanya menutup muka dengan selembar kain usang. Tadinya ingin memotret tapi langsung mengurungkan niat karena bersirobok tatap dengan salah seorang temannya. Tatapan yang tak ada artinya namun mementung perasaan! Emang buat apa difoto-foto segala? Kira-kira begitu lah kesadaran saya mengusik.
Memang begitu lah. Pashupatinath yang didedikasikan bagi Siwa. Dewa tertinggi dalam agama Hindu. Setiap tahun menarik ratusan pengikut Hindu yang sudah tua, sakit-sakitan dan merasa tidak akan pernah sembuh datang ke sana. Saya tak tahu apakah mereka mempunyai keluarga atau tidak. Yang jelas ketibaan di sini memang untuk mencari perlindungan, beberapa bulan atau minggu terakhir kehidupan mereka. Dengan kata lain mereka sengaja datang ke Pasupatinath untuk menemui ajal lalu dikremasi di tepi Sungai Bagmati. Abu mereka akan dibuang di sungai untuk melakukan perjalanan terakhir bersama air suci Bagmati menuju sungai suci Gangga. Tak hanya kaum Hindu Nepal datang untuk mati ke sini tapi juga dari India.
Belajar Memahami Perbedaan
Setelah meninggalkan Pashupatinath saya mencari tahu tentang para orang tua yang sepertinya terlantar itu. Dan paham. Jadinya tak begitu sedih lagi. Bahwa mereka sedang menjalankan kepercayaan. Penganut Hindu percaya reinkernasi. Berharap jika meninggal di Kuil Pashupatinath mereka akan terlahir kembali sebagai manusia. Terlepas dari kesalahan apa pun yang pernah dilakukan yang membuat karma mereka jadi buruk. Mereka juga menerima hari perkiraan kematian dari juru ramal kuil. Ke Pashupatinath untuk mati bukan hal yang buruk. Saya harus belajar menerima perbedaan.
Gimana? Ingin sejenak merasakan semangat kematian yang begitu dekat? Kalau ke Kathamandu jangan lupa datang ke Pashupatinath..
- Baca juga di sini: Mencari Jalan Kebenaran
- Mengenang Dia yang Telah Pergi
49 comments
Cara kremasinya beda dengan yang di Bali ya mba. Antara seram di awal, trus kasihan pas baca yang orang2 tua datang kesana untuk bersiap meninggal, tapi kalo memang itu cara mereka untuk meninggal seperti yang diinginkan, kitanya harus hormati 🙂 . Dibanding India dan Nepal, ntah kenapa aku lebiiih tertarik ke Nepal ini. Harus bisa kesana 🙂 ..
Iya karena mereka sudah terbiasa dan memang adat-istiadat kematiannya seperti itu. Mungkin mereka sudah tidak seram lagi Mbak Fanny 😀
ke sini enak sekali ya mbak pakai lensa tele buat ambil momen 😀
Ya begitulah Ko. Bawa lensa tele memang berat Tapi saat dibutuhkan membantu sekali untuk mendapatkan momen yang jauh atau ekspresi manusia
Menarik sekali Mba Evi pengalamannya. Sayang sekali telat datang pas ritual kremasinya ya. Jadi g lihat prosesinya dari awal. jadi, shadu ini mirip bhiksu ya. Oh ya. Biasanya ngasih berapa kalau mau berfoto? sudah ada tarif yang ditentukan? atau memberi seikhlasnya? Apakah semua wisatawan pasti ingin berfoto dengan mereka?
Tarif dengan Sado ini biasanya berdasarkan penawaran, Mas. Dan Berapa orang dalam rombongan yang ingin berfoto bersama mereka. Kalau cuma sendirian sepertinya tidak mahal deh Cuma aku lupa jumlah persisnya
waduh, ngeri ngeri gimana gitu ya liat prosesi kremasi
Benar Mas Dzul. Mungkin karena kita tak terbiasa kali ya
Cerita tentang itu ada di atas Kak, Kak. Monggo dibaca
Wah ini kuil Pashupatinath ga sempat kesini pas ke Nepal kemarin hehe, keburu capek trekking.. jd sedikit kebayar baca tulisannya tante ☺️
Kalau balik gak nelpon lagi mudah-mudahan sempat mampir ya Mbak Diah
Mau, kepengin bgt klo bisa ke Nepal lg tan, mau khusus yoga disana namaste
Wah… Yoga di Nepal. Membayangkan saja sudah eksotis. Insya Allah tak lama lagi ya Mbak Diah
Merinding bacanya.bagaimana kuatnya keluarga mmenyaksikan hingga akhir prosesi kremasi.
Mungkin mereka sudah terbiasa mas Alan. Seperti kita juga terbiasa melihat kain kafan dibuka bagian muka sesaat sebelum liang lahat ditutup papan
Always on my bucket list mba.. penasaran banget memang dengan budaya, gaya hidup, dan segala detailsnya yang unik
Nepal masih kawasan Asia. Tapi cara hidup mereka sudah beda banget dengan Indonesia ya mbak. Makanya bikin penasaran
Jadi tertarik ke Pashupatinath kalau nanti ke Kathmandu. Rasanya pasti sakral sekali ya melihat upacara kremasi itu, mencium setiap aroma yang menguar di lingkungan kuil.
Sadhu itu berarti semacam “santo” kalau di ajaran Kristen / Katolik ya. Yah, aku sih ikhlas2 aja ngasih duit buat mereka karena difoto. Supaya para wisatawan juga belajar memberi, tak hanya mengambil.
Iya mereka sih baik-baik saja walaupun kita tidak memotret. Jadi kalau ingin memotret ya pantas saja memberi imbalan…
Kalau yang tidak punya keluarga dan memang hanya datang sendiri ke sana untuk mempersiapkan kemartiannya, lantas siapa yg akan mengkremasi? Shadu?
Kuil pashupatinath ada pengurusnya Dar. Merekalah nanti yang akan mengkremasi atau mungkin juga sanak keluarga. Aku belum punya informasi jelas soalnya ini
Sedih sekaligus pengen maki maki rasanya Mbak. Ahahaha… Itu kok kayak pasrah gitu hidupnya. Menyerahlan hidup pada kematian. Trus yang dikerubungi lalat itu emang dibiarin gt ya? Hemmm..
Ya tapi ya tapi… Balik lagi… Karena kepercayaannya beda sih.. Pastu pola pikirnya beda. Sama aja ini kayak islam dan non islam… Yang pada berantem. La wong dr ajarannya aja beda ya mau sampe kiamat kl sudut pandangnya gak sama ya ga bakalan akur.. Eh ini kok jd ngomongin ini sih. Wkwk…
Btw itu emang foto able. Jd kalo motret bapak2 itu, kita yg motret bayar ya Mbak?
Untuk memotret shadu, kita harus membayar Mas. Biasanya harga bisa dinego
Kok saya jd inget india ya.. kykny tulisannya mirip. Wkwkwk jarang traveling gini nih hehe..
Foto2ny ken mba. Tp jauh bgt ya..
Terima kasih atas pujiannya Mas Dharma
Dalam sekali tulisan ini, banyak pengetahuan baru yang didapat setelah membacanya. Pasupatinath sebuah tempat penuh makna dan cerita, pasti jiwa bergetar setelah tahu ceritanya
Betul Kang Aip. Pashupatinath dalam sekali karakternya. Rasanya sehari tidaklah cukup untuk menyelami
owh begitu ya cara kremasi pashupatinath. jadi tahu ragam kebudayaan dan agama hindu di sana. makasi uni artikelnya. nambah wawasan…
Sama-sama Lita. Terima kasih juga sudah mampir
Wah dapet insighful mendalam nih tentang kematian, thanks for sharing mbak! Btw, kalau mau foto sama sadhu (atau memotret mereka) apakah dikutip bayaran? Terus, maaf, apakah mereka bau? Atau justru wangi dupa?
Mas Gio, di kuil pashupatinath ini para Shadu hanya mau difoto kalau kita membayar. Jadi foto-foto cakep sadhu yang kita lihat di internet itu adalah hasil negosiasi. Waktu aku difoto di dekat mereka tak tercium bau apapun… Atau mungkin sedang tidak konsentrasi dan berdekatan dengan mereka pun juga sementara
Selalu ngelangut saat menyaksikan prosesi untuk jenazah. Ada pelajaran berharga. Kematian aadalah nasihat yang hakiki.
Iya benar Mas Edy, kematian adalah nasihat sempurna bagi kita yang masih hidup…
Nambah wawasan nih aku mbak.. Tp beneran gak kebayang kalau aku ada di lokasi dan ngeliat proses kremasi dari awal hingga akhir, pasti kebayang terus kan, apa lg gak tertutup gitu, huhuhu.. Aku jd merinding
Seluruh tubuhnya ditutupi oleh jerami kecuali hanya muka mbak. Dan pastinya memang ngilu saat api mulai memakan bagian yang terbuka tersebut. Apalagi jika itu adalah keluarga kita tercinta ya.
Menarik sekali Mba Evi. Mba apa Shadu itu semuanya bersedia difoto? atau ada yg menolak juga? Krn liat wajahnya serem2 juga ya hehehe
Sepanjang Kita mau membayar, semuanya bersedia difoto, Mas Leo. Mereka duduk-duduk di stupa di dekat wisatawan itu memang tujuannya mencari uang. Tempat semedi mereka yang sebenarnya bukan di sana
Wahhh, Nepal ini sudah masuk dalam list tp blom kesampaian hihihih. Oh ceritanya seruu nih tp jd kasian ya sama orang tua ini hehe
Semoga Mas Asad segera terbuka jalan menuju Nepal ya. Amin
Aku senang bunda menuliskan mengenai proses kremasi dan bagaimana masyarakat lokal memandang kematian. Terimakasih, aku jadi punya perspektif baru masyarakat Hindu yang masih bagian dari kepercayaan masyarakat Indonesia jjuga 🙂
Cheers,
Dee Rahma (heydeerahma.com)
Dee, Kesimpulannya adalah kematian itu dapat dilihat dari bagai sudut perspektif yang salah satu diantaranya dari sudut budaya. Jadi yang final dari kematian hanyalah ketika nyawa melayang dari tubuh. Bagaimana melihat dan memperlakukannya tergantung dari individu dan budaya yang dilakoninya
Uniii, aku merinding bacanya saat mayat dibakar dari mulutnya 🙁
Kl q ke pashupatinath bisa2 nangis doang, nggak tegaan.. Meskipun dipercaya orang yang pergi ke pashupatinath untuk mati akan dileburkan dosanya. Tapi tetep nggak tega bgt aku, apa lagi sampai ada kakek tua yg tergeletak dikerubungi lalat hijau 🙁 🙁 🙁
Aku waktu baru keluar dari kuil ini merasa sedikit tertekan, Ella. Lalu mulai memahami setelah membaca beberapa saat. Untuk memahaminya memang harus masuk ke dalam cara berpikir mereka. Kalau dilihat dari sudut pandang kita, rasanya bakal sedih tak berkesudahan, Kok sedih amat akhir kehidupan orang orang tua tersebut
baca judulnya jd merinding,,, pas baca isinya jadi campur aduk, antara penasaran, serem, n kasian. Ngebayangin udah tau mau mati n dateng ke tempat khusus buat menunggunya…
Iya Mas sampai sekarang pun masih ngilu membayangkan, bagaimana melalui hari-hari yang hanya menunggu kedatangan maut. Apakah rasanya seperti para terhukum mati atau memang pasrah karena ini atas kemauan sendiri..
Jadi sampai sebelum jenazah terbakar habis masih bisa lihat wajahnya ya??
Antara seram sama penasaran pengen lihat
Mestinya masih terlihat, Mbak Endah. Karena saat awal memang tidak ditutup. Sayangnya waktu saya sampai, pembakaran sudah berlangsung dan tidak melihat bagaimana api melalap wajah sang jenazah
Nepal rasanya tiap titiknya berkarakter semua, ya. Udah niat mau ke sana, eh, Air Asia nutup rutenya =(
Wah saya baru tahu kalau level Air Asia sudah tutup ke Kathmandu. Sayang juga ya padahal tiket ke sana cukup membantu. Mudah-mudahan ada budget Airline lainnya yang akan mengisi rute yang ditinggalkan Air Asia ya Mas