eviindrawanto.com – Menurut saya suatu wilayah atau daerah ibarat panci gado-gado. Dalam sudut pandang wisata saja banyak sekali aspek yang bisa digali. Tinggal yang mau eksplorasi suka yang mana. Sesuaikan saja dengan minat, waktu dan motivasi. Trip blogger Horee Advantour di Kalimantan Selatan kemarin meliputi Wisata alam, budaya, Jelajah Pasar Tradisional dan Eksplorasi Kuliner khas Banjar. Kali ini saya akan bercerita saat kami melongok peninggalan sejarah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pengennya sih menjelajah semua tapi sayang hanya dapat empat situs karena padatnya itinerary.
Kabupaten Hulu Sungai Selatan terbentuk pada 2 Desember 1950 ini. Namun jauh sebelumnya sudah ada politik Kerajaan, Adat, dan Belanda yang bermain di sini. Makanya tak heran bila Hulu Sungai Selatan punya begitu banyak peninggalan sejarah. Misalnya jejak perjuangan pasukan Pangeran Antasari dalam melawan Belanda bisa disaksikan di Puncak Bukit Gunung Madang. Benteng Madang ini berjarak sekitar 4 km dari ibu kota Kandangan. Unik karena tidak dibangun dari semen dan batu seperti benteng-benteng Belanda. Benteng Madang terbuat dari 7 lapis kayu madang yang tumbuh di tempat itu. Berbentuk bundar, luas 400 meter persegi, dan bertingkat dua.
Benteng Madang. Foto diambil dari Wiki
Kemudian di Negara ada lagi Tugu Peristiwa 2 Januari 1949. Tugu kecil bagai batang lilin berdiri di tengah 4 undakan bulatan semen. Terletak di Desa Hamayung Kecamatan Daha Utara. Tugu ini di bangun untuk memperingati para pejuang yang gugur saat kontak senjata dengan Belanda pada tanggal 2 Januari 1949. Karena keterbatasan waktu kami tidak sempat mendatangi kedua tempat ini.
Tugu Hari Jadi Kabupaten HSS di Kandangan.
Masjid Su’Ada atau Masjid Baangkat
Malam-malam selasai Eksplorasi Kuliner Kandangan, Mas Wahyu Hidayatullah membawa kami menengok Masjid Su’Ada atau Masjid Ba’angkat. Disebut Ba’angkat karena dibangun di atas tiang-tiang kayu. Kalau melongok ke bawah kolong tiangnya ternyata bukan lah balok besar melainkan potongan kayu yang ukurannya biasa saja menurut saya. Mungkin berasal dari kayu ulin (besi) yang memang terkenal kuat penopang itu tak memperlihatkan tanda-tanda melapuk. Didirikan dua ulama besar Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H.M. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin. Terletak di Desa Wasah Hilir, Kecamatan Simpur. Bayangkan dibangun pada tahun 1908 tapi kayu-kayu masih utuh. Artinya susunan mereka sukses melewati lorong sejarah kurang lebih 107 tahun. Sayangnya pintu cagar budaya ini sudah tutup dan cahaya pun kurang memadai. Artinya kami tak bisa memotret dan foto-foto narsis malam itu.
Keesokan pagi sebelum menuju Loksado, setelah minta ijin pengurus, kami kembali dan memasuki halaman masjid tertua di Kalimantan Selatan ini. Kami juga diizinkan masuk ke dalam, mengamati dari dekat ruang lapang yang terbagi dua menurut peruntukan jenis kelamin. Pintu yang sakaligus bergungsi sebagai jendela tinggi ukurannya dengan ayat-ayat Al Quran di atasnya. Ada semacam miniatur tangga di depan mihrab untuk menyimpan kitab-kitab. Suasananya khusuk membuat semua orang hening. Hanya sesekali ditingkahi klik camera. Saya menatap ke atas langit-langit tinggi. Lampu gantung yang menjuntai jadi satu-satunya benda moderen yang terlihat. “Langit-langit itu entah sudah dipandang berapa pasang mata atau berapa generasi kala memanjatkan doa?” Pikir saya.
Bangunan Masjid Su’Ada tiga tingkat ini sangat menarik jadi objek foto. Bukan hanya soal kekunoannya. Ukiran khas Banjar yang tersebar dari atap, beranda, dan dinding sungguh menarik. Makanya usai di dalam saya memutari seluruh bangunan lewat beranda ini. Udara pagi yang bersih menyapa lembut. Matahari yang baru saja naik menghangatkan halaman yang ditumbuhi bunga soka merah. Antik, nyeni, dan nyaman. Seolah mengundang setiap musafir berdiri berlama-lama di gang dan di tiap pojokannya.
Dalam Masjid
Langit-langit yang tinggi
Kampus perjuangan atau Rumah Sejarah Karang Jawa
Lokasi melongok peninggalan sejarah Hulu Sungai Selatan berikut adalah Kampus Perjuangan di Kecamatan Padang Batu. Penduduk lokal menyebutnya Rumah Sejarah Karang Jawa mengikuti nama desa di mana kampus itu berdiri. Rumah kayu berpondasi batu, beratap sirap dengan prasasti dan bendera merah putih berkibar di halaman, lebih dari cukup sebagai penanda bahwa bangunan itu layak dieksplorasi. Pada papan nama tertulis Rumah Perjuangan ALRI Divisi HANKAL milik H. Kaspal Anwar. Rumah yang disampingnya tumbuh pohon durian yang sedang berbuah lebat ini dijadikan sebagai benda cagar budaya oleh Dinas Pariwisata Hulu Sungai Selatan mengikuti undang-undang No.11 tahun 2010.
Rumah ini mungkin ada penjaga. Hanya waktu kami datang tak terlihat tanda-tanda kehadiran manusia. Namun di sini lah pada tanggal 2 September 1949 setelah pertemuan di Moengga Raja berlangsung ramah tamah antara pemerintahan Republik Indonesia dengan delegasi Belanda dan delagasi Komisi Tiga Negara. Pemerintah RI diwakili oleh Djendral Mayor Soehardjo Hardjowardojo, Kapten Zainal Abidin dari Angkatan Darat dan Kapten Boediardjo dari Angkata Udara. Delegasi Pemerintah Belanda diwakili oleh Residen A.G. Deelman dan Overste Veenandal. Delegasi Komisi Tiga Negara diwakili Colonel Neals (unci). Hadir juga tokoh-tokoh ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dibawah pimpinan Letnan Kolonel Hasan Basry.
Saya tidak tahu sampai kapan rumah ini akan bertahan. Melihat kondisinya yang rapuh di sana-sini selayaknya lah para pihak berkepentingan melakukan pemugaran atau perbaikan agar benda sejarah ini bisa diwariskan pada generasi mendatang.
Gedung Kampus Perjuangan
Prasasti Proklamasi 17 Mei 1949 di Desa Ni’ih Loksado. Foto Dunia Indra
Prasasti Proklamasi 17 Mei 1949 di Ni’ih – Loksado – Kandangan
Semua orang tahu bahwa hari kemerdekaan RI terjadi pada 17 Agustus 1945. Diumumkan di Jakarta oleh Soekarno-Hatta. Tapi apakah seluruh Nusantara yang kita kenal sebagai NKRI sekarang lantas bergabung di hari yang sama? Tidak demikian. Kita mengenal banyak sekali peperangan setelah tahun 1945. Dua yang terkenal terjadi di Yogyakarta dan di Sumatera. Begitu pun Prasasti Proklamasi 17 Mei 1949 di Desa Ni’Ih Loksado. Ini lah salah satu bukti bahwa mendirikan negara kesatuan meminta banyak sekali pengorbanan.
Peristiwa 17 Mei di Ni’ih mendahului peristiwa di Kampus Perjuangan Karang Jawa di atas. Desa yang jadi tempat persembunyian Brigjend. H.Hasan Basry saat itu dijadikan sebagai tempat pernyataan sikap dari Pimpinan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan Selatan yang secara bulat bergabung dengan NKRI. Begini tulisan yang terdapat dalam prasasti tersebut:
MERDEKA
Dengan ini kami rakjat Indonesia di Kalimantan Selatan mempermaklumkan berdirinja Pemerintah Gubernur Tentara dari ALRI melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan mendjadi bagian dari Republik Indonesia memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945, jang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hal-hal jang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperdjuangkan sampai tetesan darah jang penghabisan.
TETAP MERDEKA.
Kandangan 17 Mei IV Rep.
Atas nama Rakjat Indonesia
di Kalimantan Selatan
ttd
Hassan Basry
Menurut penulis kebangsaan Spanyol, George Santayana : “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”. Jadi mari berharap dan ikut membantu sebisanya agar benda-benda cagar budaya seperti ini atau dimanapun mereka berada tetap terjaga kelestariannya. Mereka lah sebagai pengingat dan akar bagi kehidupan generasi mendatang.
@eviindrawanto
Related Post for Visit South Kalimantan :
43 comments
Peninggalan Sejarah hulu sungai selatan yang eksotis
Begitu lah Pak Indra. Ternyata banyak banget peninggalan sejarah di sana 🙂
keren.. itu photo header yang pake tas ransel orange kok Ganggu banged yaaa hahahahahhahahahahha
Hahaha dan di foto-foto yang lain banyak benar Mbak Donna sebagai foreground-nya 🙂
Tahu sejarah Benteng Madang setelah buka brosur wisata HSS, ahh jadi pingin belajar sejarah lebih dalam lagi terkait proklamasi terutama tugu di dekat rumah Nadi, lalu melipir ke sisa kerajaan Dipa di wilayah Loksado. Sepertinya memang harus balik ke HSS lagi hehehe
Untuk mengeksplorasi di sana kayaknya kita perlu seperti traveler bule-bule itu Mas Halim. Tinggal berbulan-bulan di suatu tempat. Jadi pasti akan berasa feel-nya daerah itu 🙂
Aku termasuk tipe yg sangat menikmati wisata sejarah mbak….
Jadi berharap bisa ngetrip asyik kya mbak Evi euy…. harus belajar lebih giat biar jd travel blogger sekeren mb evi 🙂
Aiishhh..Tengok kiri-kanan lagi..Untuk keren belum lah Mbak Muna..Jam terbangnya masih kurang, perjalanannya masih kurang jauh dan nulisnya juga belum bisa detail..Anyway..Thank you atas apresiasinya 🙂
langsung jatuh cinta sama mesjidnya itu mba 🙂
ada foto close up ujung kubahnya mba? pernak pernik yg kegantung itu bentuknya apa ya hehe
Ada sih Mas Alan. Walau tak terlalu detail kelihatannya…Di museum Banjar ada nama-nama ukiran itu..Namun aku tak mencatatnya Mas..#Nyesel
Masjidnya bagus ya, unik dari kayu
Iya unik dan antik, catcilku 🙂
harus mengenalkan wisata sejarah atau budaya ke anak-anak nih. Kemarin ini ke Borobuduranak-anak bilang cuma lihat batu, tapi setelah di jelaskan baru mengerti .
Kalau yang dilihat cuma batu-batu tua iya dimana menariknya ya Mbak Lid. Jempol. Menceritakan pada anak-anak kisah dibelakang batu-batu itu juga membantu mereka mengembangkan imajinasi 🙂
Harkat bangsa yang berpondasikan peninggalan sejarah HSS, Uni Evi kupas dengan menarik. Terima kasih Uni ikut belajar sejarah kebudayaan ini. Arsitektura masjid sungguh cantiik.
Iya menghargai pondasi kita, menghargai diri sendiri ya Mbak Prih. Jadi titik pijak kebanggan berbangsa 🙂
Ketika ketupat menjadi ikon, serasa lebaran terus. 😀
Wisatanya seru bangeet, Buu. Benar kata teman2, masjidnya unik.
Hehehe betul Mbak Idah. Di kandangan tiada hari tanpa ketupat lebaran..,
Terus terang, saya baru tahu ada Kabupaten HSS setelah membaca ini. Yang saya kenal dengan Kalsel cuma Banjarmasin ._.
Tujuh lapis kayu membentuk sebuah benteng. Menakjubkan. Tak bertanya lagilah saya tentang kuatnya kayu kalimantan; dibangun abad 18-19 dan masih berdiri (cukup) kokoh.
Langit-langitnya tinggi sekali. Pasti adem di dalam sana. Dan lagi, dari luar bentuk bangunannya simetris sekali; kalau foto langit-langit itu tidak ditampil duluan pasti saya duga kalau bangunan itu terdiri dari 2 lantai.
Tapi sayang, bangunan tua dan monumen proklamasinya memprihatinkan. Padahal kalau diperhatikan, bisa jadi objek wisata yang menarik 🙁
Ngomong-ngomong, kata “kampus” di HSS rupanya tidak berarti tempat perkuliahan universitas, ya? Heheh.
Kampus Perjuangan di HSS menyandang perjuangan dalam artian fisik ya…Tempat terjadinya upaya perdamaian dalam perang 🙂
Makin cinta Indonesia dengan beraneka ragam budayanya
Tiap sudutnya serasa manggil-manggil untuk di datangi Mbak Nanik 🙂
semoga erus terpelihara peninggalan sejarah seperti ini agar terus bisa dinikmati sampai anak cucu kita
Iya mari kita dukung agar setiap situs sejarah di Indonesia terjaga kelestariannya..:)
Bentuk bangunan lamanya sungguh eksotik. Tinggal pihak berwenangnya saja, bisa melestarikan atau tidak. 🙂
Iya Mbak Nuzulul..Kita bantu juga menjaga dengan memupuk penghargaan terhadap benda-benda sejarah secara bersama-sama 🙂
Mengunjungi, mencatatkan dengan tulisan dan foto-foto yang keren, sangat menggugah rasa ingin tau yang membaca Uni. Jalan-jalan keren sangat ini.
Latihan perasaan juga buat yang nulis, Uni 🙂
Suka sekali dengan gaya arsitektur Masjid Su’ada, bersahaja tapi berwibawa 🙂
Gaya seperti ini sudah tak kelihatan di bangunan moderen Mas Rifqy..:)
Betul Bu, kadang saya kangen balik ke desa hehehe
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Evi… sebuah peninggalan yang menjadi kenangan dan ingatan buat kita generasi terkemudian. Saya kagum dengan masjidnya yang tampak masih kukuh dan tradisional. Tidak perlu penghawa dingin kerana banyaknya tingkap, ya. mudahan selalu dimakmurkan oleh penduduknya. Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 🙂
Waalaikumsalam Mbak Fatimah,
Iya tempat semacam ini lah yang akan menumbuhkan kesadaran pada generasi muda. Memberi mereka rasa berakar ya Mbak..
Salam manis dari Serpong 🙂
peninggalan sejarah selalu punya kesan yang beragam, ini bener-bener menarik. 🙂
Terima kasih 🙂
Saya belum pernah tahu kabupaten Hulu Sungai Selatan ini Mbak Evi, tapi pernah dengar tentang tempat ini. Dulu kakak ipar pernah bertugas menjadi kapolres di Kabupaten Hulu Sungai Tengah/Barabai. Senang menyimak kunjungan ini jadi nambah pengetahuan. Hebat ya bangunan-bangunan berbahan kayu ulin itu ya bisa bertahan sedemikian lamanya. Tapi memang banyak digunakan juga untuk membangun rumah di tepi sungai juga kan ya Mbak.. tapi katanya jenis kayu itu sekarang sudah sangat jarang ya Mbak?
Begitu pula yang saya dengar Mbak Dani. Kayu Ulin jadi langka karena sekarang jarang yang menanam. Entah mengapa pula terjadi seperti itu. Heran saya. Padahal kan masih dibutuhkan ya..
Suka ama bangunan mesjid dari kayu nya, aku mau diajak kesana #ngarep hahaha
Iya kapan-kapan pengen jalan bareng dengan Mas Cumi nih 🙂
Masjidnya antik dan bersejarah. Harusnya ini juga dijadikan sebagai tujuan wisata religi oleh pemda ya.
Sepertinya sudah Pak @alris :). Tak jauh dari sana juga ada makam pendiri Masjid ini
Mbak Evi, masjidnya itu sering diliput di TV ya, cakep banget, adem banget liat.
Iya Mbak Mel. Masjid ini sudah terkenal 🙂