Saya sudah membaca Kho Ping Hoo sejak kelas 3 SD. Mencuri-curi dari buku yang paman sewa dari kios tak jauh dari rumah kami. Saya katakan mencuri karena memang di larang keras menyentuh buku-buku tersebut secara legal. Paman dan ibu takut kalau cerita silat yang juga penuh nuansa asmara itu merusak pikiran “polos” saya. Tapi saya pikir, kelas 3 SD saya sudah tidak polos, malah mungkin “menakutkan”. Selain berani mencuri baca buku paman saat dia lengah, saya sudah menentukan kriteria lelaki yang akan saya nikahi kelak. Tampan, berambut lurus, panjang yang dikuncir ke belakang, berbaju longgar, berilmu silat tinggi, dan menyandang pedang ke mana pun ia pergi. Calon suami saya itu mengembara melintasi gunung, menuruni lembah dan menyeberangi sungai. Maka tak aneh jika kemudian saya jadi suka sekali memandangi ilustrasi dalam buku Kho Ping Hoo atau lukisan tradisional Cina yang selalu bertema gunung berlapis, lembah berkabut dan sungai yang meliuk berbelit di kakinya. Dalam lukisan seperti itu lah saya melepas rindu pada si suami, membayangkan ia yang gagah berani yang mengembara siang malam untuk membasmi kejahatan.
Gokil! Kalau tidak dalam blog takan pernah saya cerita tentang hal ini.
Namun waktu selalu merubah kita. Hayalan pada jagoan silat itu terkubur bersama tumpukan pengalaman kala menuju pendewasaan diri. Sampai tiba melakukan perjalanan dari Chengdu ke Jiuzhaigou pada Juli 2014 lalu, kenangan pada calon suami ganteng saya menguak kembali. Bersamaan dengan decak kagum memandangi silih bergantinya barisan pegunungan, lembah, jurang, danau-danau berair biru, dan sungai yang terhampar di sepanjang jalan. ” Para seniman China tidak berdusta” Pikir saya mengintip dari jendela bus sambil mengusungkan lensa camera. Berusaha merekam apa saja yang bisa direkam. Apa yang mereka tumpahkan ke atas kanvas tak lebih dari kondisi landscape dataran Cina sesungguhnya. Setidaknya begitu lah pendapat saya saat berada di daerah paling utara Propinsi Sichuan ini. (Tentang Chengdu Panda Base di sini)
Juli adalah awal musim panas di China. Kecerahan hari itu terbalut langit kebiruan bersapu mega-mega putih yang menggumpal pekat. Keriangan yang ditawarkan alam mengangkat mood semua penumpang yang harus duduk selama 8 jam dalam bus menuju lembah Jiuzhaigou. Saya sendiri tidak bisa mengantuk. Bagai mana mungkin? Melaju diatas jalan beraspal mulus, turun naik, berkelok yang bahkan sangat ekstrim mendekati huruf Z, dalam apitan barisan pegunungan, sesekali masuk ke terowongan yang menembus perut bumi, membuat imajinasi saya melompat-lompat tak terkendali. “Bagaimana kalau tiba-tiba terowongannya runtuh? Apa yang harus saya lalukan jika dinding bukit rontok lalu batunya menghantam dinding bus? Apakah kaca bus cukup kuat untuk menahan? Eh jangan kuatir di beberapa tempat ada kawat baja kok untuk menahan lajunya. Fokus saja pada view spektakuler itu. Coba perhatikan deh, tiap keluar terowongan kita disambut danau cantik lho”. Dialog-dialog aneh itu terus bermunculan dalam hari saya sambil sesekali dipotong obrolan dengan ibu di depan yang hobby pula memotret.
Menuju mulut terowongan
Di dalam terowongan
West line, jalur penguhubung Chengdu -Jiuzhaigou menggunakan bus, melewati Dujiangyan, Wenchuan, Maoxian dan Songpan. Menurut informasi ini ada dua cara untuk sampai ke lembah Jiuzhaigou: Darat dan Udara. Namun yang terbaik adalah lewat darat. Dengan cara ini tubuh kita perlahan-lahan menyesuaikan diri lewat jalan menanjak antara 2000-4000 meter dari atas permukaan laut. Disamping tentu saja bisa menikmati pemandangan alam mulai dari gerbang naga sampai Jiuzhai.
Beberapa bagian dari jalan yang dilewati pernah hancur lebur akibat gemba bumi hebat yang melanda Sichuan di tahun 2008. Ribuan orang meninggal dan kehilangan tempat tinggal. Sekalipun pemerintah China sudah memulihkan semua jalan dan membangun kembali rumah tinggal penduduk, di beberapa tempat masih terlihat sisa reruntuhan yang tergolek dalam sungai maupun tepi jalan.
Songpan
Patung raja dan ratu di Songpan
Tambah ke Barat suasana terasa semakin Tibet. Wanita dan anak-anak dengan pipi bersemu merah terlihat di beranda rumah dan melintas tepi jalan. Di sebuah perhentian toilet umum untuk pertama kali saya mengalami geger budaya. Padahal sebelumnya guide kami sudah wanti-wanti agar itu tidak terjadi. Tapi apa mau dikata karena tadi saya tak bisa membayangkan seberapa bau sebuah toilet umum bisa terjadi? Rupanya sangat dahsyat. Kalau lah ada tempat paling busuk di muka bumi rasanya toilet yang terletak dibelakang restoran itu bisa saya dinobatkan. Dan saya yakin mereka pasti juara. Itu terjadi karena toilet disini adalah got terbuka dan tidak di flush. Karena kotoran tubuh kita ditampung untuk dijadikan pupuk.
Rumah-rumah unik masyarakat Tibet dan buah peach yang berlimpah karena sedang musim membuat saya dengan cepat melupakan insiden toilet tadi. Apa lagi diperhentian berikutnya kami singgah di tepi danau cantik yang terbentuk akibat gempa bumi. Disini kita dapat melihat binatang Yak berbulu putih, diberi pita pink dan disewakan penduduk untuk berfoto. Begitu pun saat memasuki kota Songpan, budaya Tibet semakin kental dengan peninggalan istana kuno, tembok kota tua, cerita tentang putri Han yang jadi permaisuri yang membawa teh pertama kali ke kota ini. Itu semua mampu membuat saya berkonsentrasi menikmati alam ketimbang merengek soal toilet.
Sudah pukul setengah delapan malam namun langit masih benderang
Hari sudah pukul setengah delapan malam saat kami turun di toilet stop terakhir. Saya yang mulai membatasi minum karena tak ingin terlalu sering ke belakang, lebih suka memandangi langit yang masih benderang. Gurat senja pada awan dan suhu yang semakin dingin membuat saya ingin melukis. Tapi membayangkan harus menyapukan kuas secara perlahan, garis demi garis dan lengkung demi lengkung, membuat saya amat bersyukur atas penemuan camera.
@eviindrawanto
Yang belajar lebih baik akan jadi yang terbaik
43 comments
mbak evi pemandangannya keren gitu…wah suamiku juga lagi tergila gila sama keindahan alam dan kekerenan dan kemajuan china saat ini setelah dua kali melalukan travel untuk training kesana, malah sekarang hobby banget nonton celestial movie channel..kayak tadi malam pas ada film pake setting taman lingerie di shouzou….walah udah lah cerita cerita terus minta lihat photo2 hasil jepretannya..itu lho jembatan itu aku pernah kesitu katanya setiap ada tempat yang dia kenal..halah..jadi mupeng dan gigit jari saya bun..hehehe semoga suatu saat juga bisa menikmati keindahan negeri china..
duh mbak evi gara gara lihat buah peach seger gitu jadi pingin makan itu #elusperut semoga dedek diperut nggak ngences…hehehe
Hahahha Iya, Mama Kinan. China emang pandai banget merawat aset bangsanya, seperti panorama mereka yang cantik untuk dijual kepada turis. Insya Allah dirimu dan Kinan serta adiknya, juga kesampaian ke sana.
Dan buah peach itu, karena sedang musim, aku puas-puasin deh makannnya. Di Jakarta kan mahal banget 🙂
Wah,,,,,, saya juga jadi merasa ikut berdecak kagum mata membelalak jadi melek melihat perjalanan yang mengasyikan. Apalagi dengan view yang mantaps. Buat ngiler saja nih si Mba ku dengan Mas ku. Ha,,, ha,,, ha,,,,
Viewnya terkadang emang bikin napas berhenti, Pak Indra 🙂
Assalaamu’alaikum wr,wb, mbak Evi….
Pemandangan cantik yang membuat saya ingin menikmatinya juga suatu hari nanti. Gunung ganang kiri dan kanan mengindahkan lagi bumi Allah SWT ini. Saya juga mendengar tentang kebusukan toilet di sana dari teman-teman yang pernah ke China. Mereka tidak menyediakan air paip untuk membasuh, maka kita sendiri harus membawa bekal dan lebih elok jangan banyak minum nanti selalu ke toilet. Aduh mbak, masih bisa makan lagi ya setelah melihat toiletnya… ngeri kalau saya ya, tidak mahu makan.
Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 🙂
Waalaikumsalam Mbak Fatimah. Toilet di China semuanya tanpa water pipe , perlu pengakalan di sana sini kalau mau survive di sana hehehe..
Mengenai makan, untung kita gak makan siang di resto yang punya toilet itu Mbak…Dan saya kebanyakan emang cuma makan bekal roti atau buah selama di sana 🙂
Kalau menyebut Tibet, yang kebayang itu Dalai Lama, pegunungan dan Yak.
Untung pemandangannya keren ya Mbak, dan toilet pun terlupakan .. hehe
Betul teh, pegununungan, dalai lama dan yak, sudah cukup menggambarkan Tibet. Iya urusan dengan Toilet di kompensasi sempirna oleh budaya dan pemandangan alamnya 🙂
hi..hi.. uni kita samaan jaman SD udah baca Kho Ping Hoo..,
aku nebeng bacaan mama..
terpesona deh jadinya dengan foto2 cantik dan narasinya su-ci yang keren banget…serasa ikut jalan2 juga dan ktemu si pendekar rambut panjang
Hahaha..tapi gak punya impian gokil seperti aku kan, Sumoay?
aku bayanginnya gimana kalau punya ilmu ginkang dan lwekang enak kalik ya nggak takut macet
Nah, makanya dari kecil aku sdh cari calon suami yang ilmunya hebat. Jangankan mengatasi kemacetan, naik gunung juga bisa sambil lari-lari …
Subhanallaaah…. suka sekali dengan pemandangan, perpaduan langit, air- dan gunungnya itu lhoo…
dan Yes ! ternyata kita sama-sama ‘mencuri’ baca Kho Ping Hoo 😀
Tozzz Mbak Titi. Ternyata banyak saudara seperguruan nih 🙂
Taaan, langit setengah 8-nya tjantik bangeeeet…
Ngambilnya kurang bagus Teh..habis terburu-buru gak sempat setal-setel camera sehingga pendar jingganya lewat 🙂
wahh, perjalanan yang menyenangkan banget,
apalagi pemandangannya bikin sejuk mata
*insiden toiletnya bikin ngakak mbak,
Toilet umum di China itu sesuatu yang harus diantisipasi wisatawan yang ingin ke sana. Tapi kalau di hotel sih, okey Mbak Chikarei 🙂
Subhanallah … pemandangannya luar biasa ya mbak. erpaduan antara hijau dan biru … sempurna 🙂 semoga aku juga melihat sendiri lukisan Allah ini 😉
btw meskipun jadi rada jiper membayangkan toiletnya, tetep lah harus ke China 🙂
Iya sih. Mb Muna, lebih banyak yang Indah – indah di China ketimbanf memikirkan toiletnya 🙂
Uni Evi, eloknya lansekap punggung gunungnya, bukit berbatu yang tangguh atas deraan panas dan dingin.
Salam
Spektacular yang membuat kita kian mengagumi karya Sang Pencipta, Mbak Prih 🙂
Indahnya Mba Eviiii. Kalau ga baca postingan ini mungkin kayaknya saya juga ga bakalan inget khayalan tentang diri saya waktu dewasa ketika kecil dulu. Yup, berambut panjang diikat ke belakang, berbaju putih longgar dan berilmu silat tinggi. Terutama ilmu meringankan tubuh yang bisa bikin saya meloncat di antara pucuk pohon di gunung-gunung itu. Hahahaha..
Khayalan kanak-kanak yang kalau diingat sekarang sangat menggelikan ya Mbak 🙂
Larangan keras, saya dulu tak pernah sedikitpun membaca cerita silat, pantas kemudian kepincutnya malah sama bule. Ha….
Disini diluar kota ada juga toilet umum modern yang eco-friendly tanpa disiram air dan memakai proses pengomposan khusus. Walau cukup bersih tapi saya ngeri habis dudukan toilet-nya bolongannya gede sekali dan bisa dilihat dalamnya 🙁 Memang kemajuan China hebat, semoga taman dan bangunan tradisionil-nya yang indah tak semakin terdesak bangunan modern.
Seperti toilet jaman dulu ya, Mbak. China emang hebat dalam merawat aset wisata mereka, entah alam, budaya dan sejarah, menarik untuk konsumsi wisatawan. Semoga Indonesia gak lama lagi juga begitu ya, Mbak Lois 🙂
Hihihi…iya ya, Bu. Kalau ambruk gimana itu. 🙂
Pemandangannya bagus. Bau toilet terkalahkan pokokelah. ^*
Lumayan menggetarkan hati membayangkannya, Mbak Idah 🙂
wah..senang ya sudah nyampe ke sana Mbak. Hi hi..ternyata kita sama bandelnya.. suka mencuri-curi baca buku yang Kho Ping Ho yang dipinjam ibuku. Karena setiap seri jilidnya ada banyak, selalu ada jilid yang sudah dibaca ibuku, bisa kubaca diam-diam.
memang indah sekali alamnya ya Mbak Evi..
Habis waktu itu kalau nyewa sendiri kan juga sayang. Rata-rata perkenalan saya pada suatu buku, by accident seperti itu Mbak Dani…:)
Pemandangan selama dalam perjalanannya juga cantik ya mbak evi. Sayang banget kalau sampai ketiduran
Hahaha..Betul banget Mbak Ika. Lah gak tiap hari ke China, masa iya disia-siakan dengan tidur yah…
Memang pemandangan di sana indahnya selalu mengundang decak kagum ya Mbak 🙂
Alam cantik yang dirawat dengan baik ya,Pak Krish 🙂
Beberapa tahun yang lalu, saya gagal ke sini, karena kehabisan waktu. Saya lihat di buku, foto-foto daerah ini sangat indah pada musim gugur. Sayang nggak ditampilin nih … 🙂
Kalau untuk Jiuzhigounya, rencananya, dan semoga tidak malas akan ada posting khusus Pak Hari 🙂
Selamat pagi mbak evi ..
saya suka sekali dengan artikelnya, kebetulan sayaakan menuju kesana pada tanggal 24 Desember 2014, kalau dari chengdu naik bus kita ke terminal apa mba ?? kemudian ongkos busnya berapa?? disana ada penginapan mbak ?? saya seorang diri kesana mbak ?? apakah akan kesulitan ketika pergi seorang diri kesana mbak ??
Salam
Indra
Terima kasih atas apresiasinya Sobat Indra.
Kebetulan waktu ke sini saya ikut tour, jadi tak mengetahui informasi transportasi umum ke Jiuzhaigou. Namun saya yakin Sobat Indra padti sdh membaca informasi di sini http://www.travelchinaguide.com/cityguides/sichuan/jiuzhaigou/transportation/air.htm
Mengenai penginapan saya lihat banyak sekali. Tak jauh dari tempat parkir menjelang pibtu masuk terlihat ada ruko-ruko yg difungsikan sebagai tempat penginapan
mba eviii .. akhirnya saya bisa kesini seorang diri. menggumkan tempatnya …
Aiih tempat ini sepotong surga yang dilemparkan Tuhan ke Bumi ya Mas Indra. Keren banget bisa kesini seorang diri 🙂
Aku ngiler baca nya, jadi mau diajak kesana hhehe. Btw 1/5 8 malammasih terang, bakal tidur malam nya sebentar yaaaa
Tapi paginya datang agak lambat juga sih Mas Cum..:)
[…] dengan pesona akik Tibet ini terjadi daerah Songpan Xian, bagian dari Propinsi Sichuan. Dari perjalanan berkelok dari Jiuzhaigou menuju Huang Long rombongan harus mampir ke toko perhiasan bernama […]