Pikiran Pedagang – Entrepreneurship
Suatu siang saat lewat di jalan Raya Serpong bersama si bungsuĀ saya kepikiran tentang Pempek Palembang. Memang sudah beberapa hari ngidam makanan kenyal berkuah cuka hitam itu. Hari itu terpicu kembali karena melewati kedai Pempek dari brand ternama. CumaĀ jalan Raya Serpong di mana kedai itu berada miskin U-turn.Ā Kami harus mencari putaran agak jauh, lalu balik arah hampir separuh perjalanan dari posisi semula. Ah malas deh!
Jadi saya ajak si bungsu mencarinya di foodcourt mall dekat rumah. Karena jalan ke sana lebih bersahabat.
Sesampainya saya pesan jenis kapal selam dan lenggang. Si bungsu pilih makanan lain karena tak suka rasa kuah asamnya. Tak berapa lama pempek idaman itu terhidang. Namun saya harus kecewa. TakĀ menemukan kuah pempek pekat seperti yang saya suka . Kuah di depan saya itu encer,Ā warna coklat ke kuningan alias tidak hitam seperti biasa. Pasti dari gula merah biasa, bukan gula aren, pikir saya. Untungnya si mbak yang menghidangkan tersenyum manis. Lagi pula si bungsu tersenyum penuh tekanan kepada saya : ” Ini foodcourt, mamaaaaa….!”
Entah setan apa yang melintas, energi penggerutuan saya alihkan padaĀ pikiran pedagang. Si mbak tak sodori kartu nama dan menerangkan bahwa saya jualan gula aren. Kalau berkenan tolong sampaikan pada bos atau pemilik kedai. Saya terangkan juga bahwa pempek terkenal (saya sebut brand) menggunakan gula aren dari kami. Dan seperti diketahui pempek mereka enak karena menggunakan gula aren asli.
Tak lama kemudian datang emak-emak dengan memegang kartu nama saya. Dia bertanya tentang apa yang saya maksud dengan gula aren asli.Ā Sebetulnya saya tak jago ngomong namun tak kesulitan membongkar sedikitĀ āgularenologi ā yang saya kuasai.
Jadi Pelanggan Tetap
Turun dari escalator, ā Mayan dongĀ Ma..ā , ujar jar si bungsu meledek saya.
Singkat cerita, berkat pikiran pedagang saya, kedai pempek itu sekarang jadi pelanggan setia kami.
Pikiran Pedagang itu Saya Butuhkan.
Sebelum terjun ke bisnis gula aren, tadinya berpikir bahwa saya bukan pedagang dan tidak berbakat jadi salah satunya. Asumsi itu berkat artifak kuno yang tertinggal dalam kepala. Pasalnya tak pernah suka dengan tenaga penjual agresif. Sangat terganggu disodori hadiah yang buntutnya menggesek kartu kredit. Tak nyaman terima telepon dingin menawarkan sesuatu. Jika dibilang tidak eh mencecar dengan pertanyaan lain. Pokoknya banyak kejadian dari penjual agresif seperti itu yang tak saya sukai.
Belakangan tahu.Bahwa punya pikiran pedagang tak berarti selalu menjual secara hard selling. Bahwa urusan dagang tidak melulu menghabiskan waktu membujuk orang atau memaksa mereka agar membeli. Suatu hari membaca sebuah spanduk seminar bertuliskan “Jadi lah Wiraniaga bukan Pedagang”. Sekalipun tak mengikuti seminarnya kalimat pendek ituĀ menginspirasi saya mencari buku tentang entrepreneurship lebih banyak.
Pelan-pelan tercerahkan bahwa banyak cara yang bisa dilakukan agar survive dalam bisnis. Punya pikiran pedagang itu wajib dan hard selling cuma bagian kecil saja dari ilmu dagang.
@eviindrawanto