Apakah teman-teman suka windows shopping. Itu tuh kegiatan melongok dari pintu ke pintu toko untuk memanjakan mata? Saya tidak mengakui diri sendiri sebagai aktivis windows shopper namun sering melakukannya. Gak jujur banget yak?
Teman-teman arisan serta Club olah raga dimana saya bergabung rata-rata percaya bahwa kegiatan windows shopping ini amat bermanfaat bagi wanita. Menjaga kerapatan tulang agar tak mudah terserang kerapuhan dan osteoperosis. Belum lagi manfaatnya dalam menjaga kesehatan mental serta menipiskan lemak di perut. Entahlah, kalau cuma muter-muter tanpa tujuan, lihat-lihat barang bagus tanpa membeli, menelan keinginan karena tak mampu, saya kok tak berhasil menghapus perasaan idiot itu ya?
Tapi tentu saja setuju bahwa kegitan shopping terutama di mall amat menyenangkan. Lampu-lampunya yang gemerlap dan mewah bisa menimbulkan halusinasi bahwa tak ada kemiskinan di luar sana. Kita masuk kedunia lain, bergembira untuk menanggalkan sejenak segala kesumpekan pada realita. Apa saja yang dibutuhkan tersedia. Nyantai, makan, beli buku, baju, sepatu, tas atau jam dinding tek-tok untuk nenek, sepanjang kartu kreditnya masih bisa digesek, dalam seketika bisa jadi milik kita.Pokoknya windows shopping adalah kesempatan melihat semua barang yang ditawarkan dalam suasana gembira.
Windows Shopping Punya Akar Sejarah
Rupanya kegiatan yang sudah membius jutaan perempuan di dunia ini jejaknya bisa ditelusuri lewat sejarah peradaban Romawi kuno. Berarti bila teman-teman menyukai kegiatan ini tak perlu ditangisi karena petanya memang terekam dalam DNA kita. Nah menurut wikipedia di jaman Romawi kuno itu sudah ada mal bernama Trajan’s Market dengan beberapa tabernas (A taberna (the plural form is tabernae) is a single room shop covered by a barrel vault within great indoor ) yang berfungsi sebagai unit retail. Bahkan orang-orang yang hidup dalam peradaban yang tumbuh dari negara-negara Roma kota itu sudah mengenal shopping list. Buktinya sekarang masih bisa dilihat seperti yang tertulis di Hadrian’s wall.
A shopaholic, mau?
Maksud sejati dari belanja adalah untuk memenuhi kebutuhan. Tapi lama-lama kegiatan belanja berkembang jadi rekreasi. Pusat-pusat belanja memang dirancang untuk tujuan seperti itu, tak sekedar tempat belanja tapi juga sebuah area untuk melihat dan dilihat selain untuk menunjukan status sosial pengunjungnya.
Namun realita lain jadi berkembang. Itu menguntungkan bagi pengusaha mall namun tak selalu bagi pelanggannya. Misalnya beberapa waktu lalu dengan kemudahan mendapatkan kartu kredit telah menimbulkan banyak masalah yang amat memprihatinkan. Di teror oleh debt collector dan bahkan ada yang harus meregang nyawa di tangan mereka. Ada lagi “penyakit” baru yang disebut shopaholic atau si gila belanja. Sifat lapar mata mudah sekali menghinggapi mereka yang pada dasarnya memang seorang pembelanja yang ceroboh. Tidak boleh lihat barang bagus atau discount khusus, hayuh deh langsung beli. Seakan tak akan pernah lagi bertemu barang bagus atau diskon khusus langsung gesek kartu kredit. Padahal barang bagus dan diskon khusus berlangsung sepanjang tahun. Lah kalau tidak mau dikemanakan investasi milyaran rupiah dari para pengembang mall itu?
Saya baru baca laporan menarik mengapa lahir ide untuk menulis posting ini. Bahwa korban shopaholic ternyata tidak mengenal jenis kelamin saudara-saudara! Sebuah data yang disusun “Pusat Utang Keluarga Anggaran Sehat” yang ditulis sebuah harian bahwa sekitar setengah penderita shopaholic yang meminta bantuan ternyata adalah laki-laki. Jika perempuan cenderung membeli pakaian dan sepatu, sedangkan laki-laki menghabiskan banyak duit untuk paket kebugaran atau mentraktir teman-teman mereka.
Aduh!
Bagaimana mana pendapat teman-teman? Perlukah windows shopping di galakan? Atau ada ide gimana caranya agar kuman shopaholic ini bisa dimusnahkan?
Salam,