Berubah merupakan kodrat makhluk hidup yang tak lekang oleh perubahan. Beberapa waktu lalu saya reuni dengan teman akrab sejak SD sampai SMP. Bertempat di sebuah Cafe dekat kami sekolah dulu, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Entah reuni yg keberapa namun tiap kali bertemu kami selalu takjub pada perubahan fisik masing-masing. Tak hanya tentang kedalaman garis tawa dan sudut kecekungan mata tapi juga tentang cara kami berpakaian. Pakainanya sekarang tertutup semua. Dan dia mentertawakan cara saya mengenakan kerudung. Katanya aku mirip hippis ketimbang wanita muslimah. Aku membalasnya dengan bertanya siapa yang mengatakan itu kerudung muslimah? Lah saya menutup kepala untuk menutup uban kok bukan aurat.
Terlepas dari kegembiraan reuni pahit tersebut, temanku bercerita bahwa beberapa teman main kami dulu sekarang sudah berstatus almarhum dan almarhumah. Tidak begitu kaget sebetulnya karena beberapa teman kuliah dan SMA saya juga sudah pergi terlebih dulu.
Pokok bahasan tentang almarhum dan almarhumah itu terus bergelayut dalam pikiran saya sampai sekarang. Teman-teman kami itu pergi dalam usia relatif muda. Dan ah betapa pendeknya usia manusia. Jika patokan tahun kelahiran mereka antara 1965-1966, sekarang rata-rata umur mereka baru 47-46 tahun.Tapi mereka sudah pergi. Beberapa diantaranya sebelum ulang tahun ke-40.
Secara umumpun bisa ditelaah bahwa kehadiaran manusia di bumi tak begitu lama. Apa lagi waktu untuk berkarya. Mari kita asumsikan bawah untuk menyelesaikan pendidikan S1 pada usia 23 tahun, sisa waktu waktu produktif hanya sekitar 23-24 tahun. Dan jumlah ini juga harus dikurangi lagi untuk waktu tidur. Betapa singkat dan tak efisien!
Kesadaran ini Merubah saya
Selama ini saya jarang memikirkan kematian. Padahal sebagai umat beragama kita selalu dididik untuk menerima tuntunan takdir yang satu diantaranya adalah kematian. Bahwa kelahiran dan kematian (sementara jodoh aku skip :)) ada di tangan Tuhan. Jangankan yang berusia diatas 40, bayi-bayi bahkan janin juga mengalami kematian.
Maut tidak memilih korban berdasarkan umur. Eksekutor itu bekerja dengan acak. Ada syarat2 tertentu yang kudu dipenuhi agar nyawa tetap bertahan dibadan. Mungkin dengan memenuhi syarat hukum-hukum tertentu, seperti semua kondisi organ harus sehat atau minimal memiliki syarat hidup. Bila tidak terpaksa dijemput kembali. Dan secepatnya.
Dalam agama Islam yang saya anut bahwa roh manusia berasal dari Sang Penciptanya. “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian bersyukur”. Sekalipun tidak bisa mempersamakan nyawa dan roh, pernyataan yang menggelitik dari sini adalah jika kita semua ditiupkan dzat yang begitu baik, mengapa takdir memelantingkan kita pada lorong-lorong nasib yang berbeda? Statistik di negara maju merata-ratakan daya tahan manusia bertahan di bumi sekitar 80 tahun, tapi beberapa temanku tak mampu menyelesaikan separuhnya.
Apa yang terjadi? Tidak tahu. Yang saya tahu mulai sekarang harus berubah pemikiran bahwa kematian itu jauh dan dia akan mendekat dengan membunyikan bel terlebih dahulu. Tidak! Kematian tidak datang dengan petasan dan kembang api tapi diam-diam.
Salam,