Dalam membeli suatu barang atau jasa pasti ada pertimbangan nyelimet mengenai nilai atau reward yang akan kita peroleh dari barang tersebut sebelum memutuskan membelinya. Maksud saya, perilaku kita dalam kegiatan berkonsumsi, selalu memilih kornoditi yang menurut pertimbangan kita memiliki nilai lebih dari cost yang telah kita keluarkan. Artinya, sebagai konsumen kita tidak tidak mau rugi, kalau bisa ya untung terus. Itu tidak terbatas pada untung-rugi secara finansial saja, tapi juga untung-rugi yang bersifat non-finansial seperti kesenangan dan kepuasan.
Jangan merasa bersalah. Saya, Anda dan bahkan semua orang harus punya reasons mengapa uang harus keluar dari kantong kita. Dan untuk itu lah mengapa para marketer harus dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif. Terutama jika Anda adalah pengusaha UKM seperti saya, untuk bertahan dan membesar, bagaimanapun profesi marketer perlu terus dihidupkan. Kita harus menawarkan komoditi atau produk kepada khalayak. Bahkan mungkin kebutuhan akan komoditi tersebut sementara ini masih tertidur dalam diri sang prospek kita yang terhormat.
Gak masalah. Pemasar bisa membangun stimulus-stimulus untuk mengesekusi kebutuhan prospek yang ril atau masih tertidur melalui penekanan keuntungan dan kepuasan prospek terhadap komoditi tersebut. Jika harga barang mahal, kita dapat mengatakan murah jika dibanding dengan nilai lebih yang akan diperoleh prospek.
Tampaknya inilah yang selalu terjadi dan berlaku secara universal dalam dunia konsumsi.
Budaya memberikan makna pada barang dan jasa. Tidak tahu apakah lewat pemikiran seperti ini bisa jualan gula aren lebih baik atau tidak, namun dari sini saya menemukan kesenangan dalam membaca literatur pemasaran. Seperti menemukan lorong-lorong yang tak terjelajahi sebelumnya dalam kepala yang menawarkan jendela baru untuk jualan.
Belk dan kawan-kawan berbicara tentang makna kognitif, fungsi simbolik, dan sejarah dari suatu produk, yang dimunculkan dalam suatu konsep yang disebut semantik produk atau semiotik. Tepatnya, mereka melakukan suatu sudi tentang kualitas simbolik dari produk di dalam konteks pemakaiannya.
Contohnya, sebuah iklan mungkin memasukkan nyanyian (jingle) yang membawa pikiran kita pada desa hijau, tentram dan makmur dalam produk tersebut. Atau ingat iklan Wafer Tanggo dengan aksen bulenya untuk memberikan selera “luar negeri’? Atau menggunakan aksen perempuan untuk memberikan selera feminism?
Budaya suatu bangsa mencakupi suatu ideologi konsumsi (ideology of consumtion) yang didefenisikan sebagai makna sosial yang dilekatkan dan dikomunikasikan oleh produk. Penelitian Belk dan rekan-rekannya ini mengungkapkan bahwa budaya memberikan makna tidak hanya pada iklan atau komunikasi mengenai produk, tetapi juga pada tindakan konsumsi.
Lah iya lah. Sekalipun kita boleh jualan roti di apotik tapi menawarkan pakaian muslim di negara-negara yang mayoritas non-muslim dan kepada penduduk yang non-muslim pula tentu saja lewat esensinya dari sekedar think outside of the box
Untuk ibu rumah tangga, konsep ini keliwat nyelimet gak sih? Tidak tahu! Yang jelas literature semacam ini telah membawa saya pada pemahaman bahwa benar budaya mempengaruhi orang dalam memaknai sebuah produk. Saya bisa menguji teori ini dalam setiap aspek konsumsi di lingkungan sehari-hari.
Dan satu lagi, saya pikir ini cukup kuat juga untuk dijadikan bekal jualan produk apapun nantinya. Tidak hanya memahami mengapa orang membeli produk, tetapi juga mengapa orang senang berkunjung ke museum, membaca buku sastra, nonton konser musik dan berpartisipasi dalam kegiatan amal.
Aha! Lebih jauh lagi, bukankah konsep ini mampu juga meneropong jenis makna yang dilekatkan orang kala menonton pengembangan plot dan tokoh-tokoh dalam film Ayat-Ayat Cinta yang menghebohkan itu?
Wassalam,
–Evi