Gadis kecil itu berdiri termangu di muka jendela yang terbuka. Paras cantik dengan mata yang bulat menatap jauh ke muka, menembus hujan, melewati atap-atap rumah tetangga.
“ Mengapa terjadi hujan?” Tanyanya
Seorang perempuan datang menghampiri. Tangannya mengusap rambut gadis kecil yang mengikal lembut pada ujung-ujungnya. Dari lantai dua rumah mereka, hujan lebat tampak seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Aksi dari panggung alam seperti itu membawa hati mereka pada lorong-lorong misteri yang dulu pernah hangat dan sekarang hanya menyisakan kenangan
“ Hujan adalah endapan dari bermacam-macam air yang jatuh dari langit. Hujan membawa air untuk seluruh makhluk hidup. Hujan mengairi sawah, sungai dan danau..” Sejenak perempuan itu menahan kalimatnya, memberi kesempatan kepada gadis cilik mengamati seekor katak yang kuyup dan tiba-tiba meloncat keluar dari rumpun mawar merah di bawah jendela.
“ Hewan seperti kodok itu hanya bisa hidup di dekat air. Hampir semua jenis binatang membutuhkan air untuk minum setiap hari. Air jatuh ke tanah, disanalah rumput, bunga dan berbagai jenis tumbuhan menggunakannya. Orang-orang menggali sumur untuk mengambil air dari tanah. Kita menggunakan air untuk minum, bersih-bersih dan memasak.”
Mata bulat itu sekarang tidak berkedip. Berusaha keras menangkap satu persatu titik-titik hujan . Dia menghela napas karena tidak berhasil.
“ Hujan adalah tentang siklus anakku. Berawal sebagai air dari bumi. Panas matahari menguapkannya dari sungai-sungai, danau dan lautan ke udara. Menguap artinya air berubah jadi tetes-tetes air yang amat kecil. Begitu kecilnya sehinga dengan mudah melayang-layang di udara. Lama kelamaan jumlah mereka jadi banyak, menggumpal membentuk awan dan di terbangkan angin kemana saja. Karena tambah lama tambah padat dan berat, akhirnya angin tidak kuat lagi menupang awan mendung itu lalu rontok lah mereka. Itu yang kita sebut hujan..”
“ Air itu kemudian akan kembali lagi ke tanah, ke sungai-sungai, danau dan lautan ya Ibu?”
Perempuan itu mengangguk, jongkok lalu memeluk anaknya erat-erat. “ Kamu cerdas seperti ayahmu” Bisiknya. Di tatapnya puncak hidung yang membulat, matanya yang dalam, alis yang tebal dalam kerinduan amat sangat. Disanalah kekasihnya meninggalkan semua jejaknya.
Sejumput kepedihan merayap dari jiwa dan setitik air ingin sekali menitik dari mata. Namun mengingat yang berdiri didepannya adalah calon penerima hadiah nobel , yang akan mengajukan berbagai pertanyaan, seperti, apakah dalam hujan juga terdapat air mata, maka lebih baik dia menahan diri..
“ Iya semua akan kembali ke asalnya dan memulai kembali proses yang sama.”
“ Apakah Ayah juga melihat hujan di sana? “ Dia menoleh ke langit yang masih gelap.
“ Ayah uga melihat hujan di sana. Namun tidak ada yang lebih dia inginkan kecuali menunggu kedatangan kita untuk berkumpul bersama..”
“ Kapan kita akan berangkat Ibu?”
“ Nanti akan ada waktunya, anakku. Sementara ini kamu harus rajin belajar, tumbuh dewasa, bertemu dengan pria yang mencintai dan kau cintai, menikah dan mempunyai anak-anakmu sendiri. Kamu akan mengerjakan sesuatu yang belum sempat diselesaikan oleh ayahmu, menulis buku dan memberi pencerahan kepada umat manusia..”
“ Apakah Ayah tidak terlalu lama menunggu?”
“ Di sana waktu bukanlah sebuah rentang yang membutuhkan penantian panjang..”
Gadis kecil tersenyum dengan seluruh hatinya , mencium pipi perempuan itu lalu meneruskan bacaannya tentang membuat rumah boneka bersama Ayah...
Sumber Foto Hujan
6 comments
is this real?
ini, istimewa..
I hope this is real Even if it doesn’t one, for a good time sakes, i hope it was real hehehe…
gambarnya bagus…
izin di coppas ya mba…
terima kasih…
Ini gambar juga boleh minjem. Silah kan Mbak Vivi 🙂
bagus,.. suka cerpen yang ini 😀
Hehehe..Cerpen lebay, Amel. Tapi senang terima pujiannya. Thanks ya