eviindrawanto.com – “Dafo itu nama tempat atau nama patungnya” Tanya saya pada guide saat menerangkan sejarah destinasi yang akan dikunjungi berikutnya : Patung Budha Raksasa Leshan. Ia menjawab bahwa Dafo adalah sebutan lain dari karya Biksu Haitong bersama ribuan pekerja selama 90 tahun berjibaku mengukir batu di tebing curam Leshan – Chengu – China. Sejak Desember 1996 tempat ini terdaftar sebagai salah situs warisan dunia UNESCO.
Video Leshan Giant BudhaÂ
Bus melaju kencang. Saya tenggelam di banyak lamunan kala memandang jalan mulus dan lebar yang mengalir sepanjang kota Mao Xian menuju Leshan. Sawah menghijau, sungai lebar, pegunungan di kejauhan, kota kecil dengan pedestrian yang rapi, taman dengan para manula asyik bermain Machiok atau olah raga Taichi. Tak bisa dipungkiri bahwa bentang alam China sama cantiknya dengan Indonesia. Yang membedakan hanya pengelolaannya. Pariwisata di sana terkelola dengan baik sementara di sini bikin kita urut dada. Itu yang menjadikan perjalanan selama 2 jam sampai di Leshan Giant Budha scenic area tak terasa. Tahu-tahu bus berhenti tak jauh dari pohon besar yang dibawahnya berjejer tenda penjual makanan dan sovenir. Di belakang mengalir Sungai Minjiang berair coklat. Tanpa membuang waktu kami pun bergegas menuju dermaga –salah satu kerugian berwisata menggunakan paket tour tak ada waktu untuk eksplorasi–, naik perahu motor, dan berlayar menuju spot terbaik untuk melihat Patung Budha Raksasa Leshan.
Matahari memantul dengan manis dari air Minjiang. Angin menyapa lembut. Di sepanjang tepinya terlihat kesibukan dari beberapa dock kapal motor. Gedung-gedung pencakar langit yang mencuat dari bentang sungai yang lebar menandakan bahwa kita sedang berada dalam kota industri. Namun dari dalam perahu hanya suasana liburan yang terasa. Perahu motor dengan turis berpelampung oranye di atasnya bergerak khidmat menuju Patung Budha Raksasa Leshan. Perahu-perahu ini diatur jadwal pelayarannya. Selain demi kenyamanan pengunjung juga agar tidak terlalu berdesakan di lokasi.
Sejarah Patung Budha Raksasa Leshan
Dafo mulai dibangun tahun 713 dan selesai pada tahun 803. Sebagai batu besar berukir terbesar di dunia, selama 1200 tarikh, Giant Buddha sudah tampil dalam berbagai fitur seperti puisi, lagu dan cerita. Ia duduk khidmat di cekungan tebing yang curam. Tersenyum manis ke arah gunung suci Mei Shan, di bawah kakinya bertemu 3 aliran sungai yaitu Minjiang, Qingyi dan Sungai Dadu. The Leshan Giant Buddha yang berpostur simetris ini merupakan simbolisasi dari Maitreya (Bodhisattva yang direpresentasikan oleh seorang biarawan gemuk, dengan dada dan perut buncit yang terbuka dengan senyum lebar di wajahnya.
Tersebut lah seorang biksu bernama Hai Tong. Gagasan utamanya dalam memulai proyek mengukir tebing untuk menjaga keselamatan rakyat yang mencari nafkah di sekitar pertemuan tiga sungai. Mereka sudah lama menderita oleh gelora tumbukan airnya. Banyak perahu yang tenggelam. Mereka percaya penyebab kecelakaan adalah penuggu (roh) air. Jadi Hai Tong memutuskan mengukir patung di tebing dengan harapan Sang Budha bisa mengontrol ke tenangan sang Peri Air. Batu-batu jatuh ke dalam sungai selama membuat ukiran ternyata memang terbukti bisa mengurangi kecepatan laju air. Setelah 20 tahun mengumpulkan sedekah Hai Tong cukup punya uang untuk memulai rencananya. Untuk menambah dana bahkan Hai Tong mencongkel bola matanya sendiri di hadapan para pejabat daerah untuk diganti sejumlah uang untuk membiayai proyek tersebut. Setelah Hai Tong wafat proyek patung Budha Raksasa diteruskan oleh para muridnya dan baru selesai 90 tahun kemudian.
Monumen Ketataatan dan Iman
Memandang ke arah Patung Budha Raksasa Leshan berarti memandang kepada ketaatan, iman, konsistensi, semangat pantang menyerah serta ketajaman berpikir para arsitek China kuno. Di sebelah kanan Sang Budha di buat cerukan bagi jalan lewat umat yang akan beribadah. Jalan itu kini dilengkapi tangga dengan rel untuk memudahkan turis turun ke bawah, ke teras tepat di bawah kaki Budha. Saya kira cukup melelahkan juga melihat dengan cara seperti itu. Namun itu memungkinkan kita melihat janggut dan telinga Sang Budha yang tegak lurus dari bawah.
Tangga turun menuju teras bawah
@eviindrawanto
The only thing you need for a travel is curiosity.
40 comments
Foto pertama dan terakhir, sangat menakjubkan. menatapnya lama, sampai nyaris lupa baca tulisannya, hahaa…
Hahaha terima kasih Mak Fardelyn …
Sungai, Orang-orang dan Big Budha what a picture Mba, kerenn banget perjalanannya 😀
Big Budhanya emang membuka mata banget, Mas Salman. Betapa ketekunan hasilnya begitu agung 🙂
Wow.. Bagus foto dan ceritanya Bu Evi.. TFS yah..
Terima kasih juga, Mbak Yeye 🙂
Jadi ingat Buddha Bamiyan di Afganistan, soalnya sama-sama pengukiran tebing begitu, Mbak 🙂
Idenya sama kali ya Mas Gara?
Ngebayangin gimana naiknya keatas lagi pasti sesuatu yah capeknya hahaha
Memang Mbak Vika, ngebayangin naik saja sudah bikin sesak napas hehehe..
hampir komplen gara gara salah baca
kirain judulnya budha lesehan tapi gambarnya lagi duduk di kursi gitu
suka takjub sama peninggalan jadul. kebayang waktu bikinnya kaya apa ga pake alat berat
Untung gak salah ya Mas..Tanpa alat-alat berat, kayaknya yang mengujudkan itu cuma keimanan deh Mas..Sorry bila aku sok tahu 🙂
Asli, jadi pengen lihat langsung ke sana
Monggo Mbak Nani 🙂
Luar biasa. Jalan dibuat sedemikian rupa…
Jadi ingat naik Borobudur saja melelahkan sekali… LOL.
Curam banget dan tinggi pulak Mbak Zy…Menuntut kesungguhan untuk turun naik Dafo ini..
Terima kasih Uni Evi berbagi warisan UNESCO, berbagi pembelajaran kepatuhan dan ketaatan. Apresiasi untuk penjadwalan perahu demi kenyamanan, keamanan pengunjung maupun situs, moga bisa kita tiru untuk obyek wisata kita.
Penasaran nih Uni kuat ya nyampai puncak dengan tangga securam itu, siip. Salam
Hahaha..Untungnya saya tidak menempuh jalan terjal itu untuk melihat Giant Budha, Mbak Prih. Cuku dari atas deck kapal…
Aaaaaak pingin kesiniiii
Aaaak mari kita jalan 🙂
Tuhan maha mendengar 🙂 eeeh berselang beberapa bulan, tahu-tahu aku udah jalan aja gitu sama Bu Evi 🙂 (walau bukan jalan ke China hehehe)
truly fascinating ya mbaaak…memang kalau UNESCO World Heritage memang selalu punya nilai ekstra..aku belum pernah di China nih…moga2 kesampaian 🙂
Emang harus memenuhi beberapa syarat ya Mbak sebelum ditetapkan sebagai situs warisan dunia. Ah semoga kian banyak property wisata Indonesia yang akan memenuhi syarat…Biar ekonomi bangsa kian tergeret ke atas 🙂
uwaaaa…keren banget,baca sambil lihat fotonya berasa lagi disana,g kebang pas turun tangga heheeh
Aku mah juga gak kebayang kalau disuruh turun naik ditangga securan itu Mbak Hana 🙂
Cerita dan fotonya mantap, mbak, jadi ikutan larut..
Makasih Jeng Lis 🙂
Sekian lama Mba buat bikinnya? Wow….
Pengen deh ke sana. Mudah2an nanti ada rejeki dan bisa ajak mama ke sana.
Iya hampir seratus tahun, Mas Ryan. Gak kebayang berapa banyak batu yang dirontokan ke sungai. Detailnya ukiran di kepalanya sungguh mempesona. Semoga Mas Ryan gak lama lagi bisa bawa mama ke sini. Amin 🙂
Amin Mba… makasih ya doanya.
Wow mengagumkan sekali. Sungguh karya persembahan yang abadi.
Begitu lah Pak Alris. Monumen kekerasan hati anak manusia 🙂
kerenn, pernah liat scene seperti ini di suatu film… jd pingen kesini 😀
Ayo niatin main-main ke China, Mas Allan..Banyak banget temoat bersejarah di sana 🙂
Wah mengagumkan ya Mbak. Aku belum sampai ke sini nih . .
Bikin takjub banget Mas Krish 🙂
*masukin bucket list buat kapan-kapan*
Kalau Mas Arief mah aku percaya bentar lagi juga bakal sampai di Leshan 🙂
Waaah, udah lama banget pengen kesini belom kesampean juga… soalnya kalo udah masuk China kayaknya bakal muterin disana terus, karena terlalu banyak spot luarbiasanya… 😀
Iya Mbak Riyanti..Sudah negara raksasa banget, alam cantik, budaya indah yang beragam..Satu tahun pun kayaknya belum bisa keluar dari sana hehehe..